...***...
"Elora...!"
Suara seorang anak lelaki terus menggema di tengah rumah sederhana namun, terkesan asri dengan berbagai tanaman hias di luar maupun dalamnya. Anak lelaki itu mengejar seorang gadis kecil dan terus menyerukan namanya.
Sementara itu, Elora, gadis lima tahun yang di panggil namanya, menghentikan langkah lalu berbalik saat mendengar suara dentuman di balik punggung, dan betapa terkejutnya ia saat mata bulatnya menangkap sosok anak lelaki yang telah terbaring kaku tak jauh dari sana.
Sembari berlari kencang menghampiri anak lelaki tersebut, air mata Elora mengalir deras dan dengan penuh ketakutan langsung menggoyang tubuh sang anak lelaki.
"Kak Asta, kamu kenapa?" panggil Elora dengan pelafalan cadelnya, yang masih tetap berusaha tenang, namun dengan air mata yang terus membasahi pipi.
"Kak Asta ... tolong jangan belcanda," serunya lagi tanpa bisa berbuat banyak karena orang tua mereka sedang tidak berada di rumah.
Sambil menangis, bergetar, Elora pun mencoba merogoh ponsel yang di simpan di laci tas kecilnya.
"Dimana ponselnya ... ayah, ibu, Elola takut."
Masih terus mencari, tiba-tiba, Asta yang terbaring membuka matanya, dengan senyum jahil anak lelaki itu segera berteriak lantang.
"Kyaaaaa!!!"
"Brakkkk!!!" Satu pukulan mendarat.
"Aduh!!!" keluh Asta seketika. "Kenapa kamu memukul ku?" tutur nya yang ternyata hanya berpura-pura demi mengerjai gadis kecil didepannya yang justru mendapat serangan balik yang tak di duga-duga.
"Kenapa Kak Asta melakukan nya? Kenapa Kakak sepelti itu? Kak Asta membuat Elola takut. Hiks...!" Eno sang gadis kecil malah kembali terisak. Bibir mungilnya melengkung ke bawah dengan amat lucu. Kebiasaan nya setiap kali menangis.
Asta yang mesara bersalah hanya bisa mengusap lembut puncak kepala sang gadis kecil. "Maaf, Elora," ucapnya.
Dengan kelembutan, Asta membawa Elora dalam pelukan nya seraya mengelus lembut punggung gadis kecil itu, lalu mulai menenangkan nya.
Elora yang sudah mulai tenang, segera melepaskan diri. Ia menatap tajam wajah tampan Asta, anak lelaki tujuh tahun yang telah mengerjainya itu.
Lalu, sambil lirih Elora berbisik pelan di sela tangisnya, "Jangan belcanda sepelti itu lagi, ya? Elola takut, kalau Kak Asta pelgi," ucapnya polos.
"Baiklah Elora, Asta tidak akan tinggalkan Elora."
°
°
°
Tring...!!!
Sebuah tangan terulur ke nakas di samping tempat tidur. Berusaha meraih benda merah muda yang tiba-tiba berisik, Elora mencebik kesal karena mimpi indah nya baru saja di ganggu.
"Argghhh, berisik!" gumamnya masih berusaha memejamkan mata, menjaga agar rasa kantuk nya tidak segera menghilang. "Akh, menyebalkan!"
Karena tak kunjung diam, akhirnya dengan sangat terpaksa, gadis tersebut membuka mata lebar-lebar mencari di mana letak benda merah muda yang masih berisik tersebut.
"Huh, disana rupanya," gumamnya dengan raut wajah kesal. Ternyata jam weker yang ia cari hingga mengorbankan mimpi indah nan-singkat tersebut di letakkan di lantai, di samping ranjang.
"Pantasan. Ini pasti ulah bunda. Ck!"
Setelah mematikan alarm nya, Elora kembali membentangkan tubuhnya di ranjang. Mata nya menatap nana langit-langit kamar yang semakin lama terasa jauh di atas sana.
Mimpi yang baru saja hadir dalam tidurnya merupakan kenangan lama. Amat sangat lama. Saat Elora masih berusia lima tahun, dan anak lelaki kecil yang bersamanya berusia tujuh tahun. Kehangatan yang seharusnya terjalin hingga saat ini, malah sirna karena kejadian naas kala itu. Saat ini, mereka jauh. Walau masih seatap, namun semesta tak lagi sehangat dulu.
Ceklek...!!!
"Elora, cepat bangun!"
Elora tersadar dari lamunannya saat tubuh sang bunda melengos masuk begitu saja ke dalam kamar. Tanpa permisi dan tanpa ketukan.
"Bunda! Kenapa masuk kamar ku seenaknya! Aku ini sudah gede loh, Bun. Aku juga punya privasi." Kesal sekaligus kaget, Elora memasang wajah cemberut alanya.
"Ckck, baru juga 16 tahun, El. Bunda cuma mau memastikan kalau kamu tidak tidur lagi," ucap Eunike sang bunda, sembari membuka gorden. "Cepat mandi Elora. Mau jam berapa kamu ke sekolah?"
"Masih pagi Bunda, masuknya kan tujuh lima belas," protes Elora, melihat jam yang masih menunjukkan pukul 06.40
"Iya, bunda tau, masalahnya kamu berangkat sekolah dengan siapa?" keluh Eunike, menarik napas lelah. "Bunda sudah terlambat. Kalau kamu tidak siap-siap, siapa yang akan mengantar mu nanti? Mbok Cum?"
"Ayah? pak Budi?" sahut Elora tak acuh.
"Ck, kamu ini anak siapa, sih? Ayahnya pergi saja tak tahu," decak Eunike. "Pagi tadi ayah kebandara karena urusan rumah sakit, pak Budi pun selepas mengantar ayah, langsung pamit pulang kampung, istrinya mau melahirkan."
"Hah? Istri pak Budi melahirkan lagi, Bun? Bukankah tahun kemarin baru lahiran juga? Cepat sekali," celetuk Elora, seraya tersenyum jenaka.
Eunike melebarkan matanya. "Heh, kamu ini, bukannya mandi malah mengurus istri pak Budi. Sekarang kamu pilih mandi atau bunda pukul?"
Eunike mengangkat kemoceng membuat sang putri segera melompat turun dari ranjang nya.
"Iya Bunda sebentar. Masa sudah umur begini masih di ancam dengan kemoceng, Bun?" goda Elora.
Eunike memutar bola matanya. "Sekali lagi kamu bicara, Bunda tinggal!" ancam nya mulai habis kesabaran.
Pasalnya tugas Eunike di rumah sakit sedang menumpuk. Belum lagi jadwal operasi pukul sembilan nanti, dan sang suami yang sudah berangkat lebih dulu membuat dirinya yang harus mengantar sang putri ke sekolah.
"Elora, tunggu apa lagi?" bentak Eunike hilang kesabaran sebab Elora masih berdiam di tempat. Sambil memainkan ponselnya
"Oke, kamu, bunda tinggal."
"Tidak apa, deh, Bun. Kan ada Kak Raja." Lagi-lagi Elora membantah.
Tanpa banya bicara, Eunike langsung beranjak menuju putrinya. Kesabaran nya sudah habis. Kemoceng di tangan nyaris melayang jika saja Elora tidak segera menutup pintu kamar mandi.
"Kamu kira Kakak mu akan masuk sekolah di jam ini? Jangan mengada-ada Elora. Kakak mu tidak pemalas seperti dirimu! Cepat mandi! Dalam waktu sepuluh menit kamu tidak siap, maka selamat tinggal!"
Tidak ada bantahan. Elora merinding mendengar ancaman bundanya sendiri. Dirinya bahkan masih sempat terkekeh sebelum melakukan ritual mandi.
Geli karena berhasil menggoda sang bunda, tiba-tiba tanpa sadar, nyeri di hatinya menyerang. Senyum yang tadi terpampang jelas, sirna seketika.
Kak Raja sudah berangkat lebih dulu.
Dia memang sudah tau Raja tidak mungkin menunggunya. Namun ... kenapa ia masih berharap?
Saat bunda tidak menyebutkan nama sang kakak dalam daftar kemungkinan orang yang mungkin mengantarnya, seharusnya Elora tau. Seharusnya ia sadar. Bahwa Raja bukan lagi orang yang sama.
Batin Elora terluka. Lelaki yang dulu selalu menunggunya, mengajaknya berangkat sekolah berangkat sekolah bersama bahkan mengomelinya jika terlambat, kini tidak lagi sama. Lelaki yang sama berartinya seperti kedua orang tuanya kini bagaikan orang asing yang nyaris tidak Elora kenal.
Tidak ada batasan, namun kenapa Elora merasa jurang di antara mereka semakin menganga? Kenapa rasanya ia tidak lagi mengenal sosok itu?
...***...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 86 Episodes
Comments