Emil mengganti celana panjangnya dengan celana pendek selutut, dan kaos tanpa lengan yang memperlihatkan ototnya.
Dia mendapati gadis berambut panjang itu, masih berbaring di ranjangnya, apa Bella tidak khawatir, jika dirinya khilaf lalu menyerangnya? Bagaimanapun, dia sudah belasan tahun tak menyentuh perempuan sejak ditinggal mati istrinya.
Apalagi mengetahui fakta jika gadis berusia kepala tiga itu, mengaku masih perawan, selama hampir tiga puluh tiga tahun hidupnya, dia belum pernah sekalipun berhubungan intim dengan gadis perawan.
"Lo ngapain masih disini sih?" tanyanya ketus.
Bella yang sedang berbaring sambil memainkan ponselnya, menghentikan kegiatannya, dia duduk dan menopang tubuhnya dengan kedua tangannya, "Kan aku udah bilang, mau numpang istirahat disini,"
Emil memutar bola matanya malas, "Bel, gue bisa beneran khilaf loh, jadi jangan mancing gue,"
Bella terkikik, "Ih..., takut." dia memasang wajah mengejek, "Dah lah koh, jadi orang jangan pelit, mending baring sini, dengerin curhatan aku," dia menepuk, sisi kasur yang kosong.
Bukannya menurut, Emil hanya mengambil ponsel dan dompetnya, lalu beranjak keluar dari kamarnya, lebih baik menghabiskan waktu bersama anak-anaknya.
Emil mengajak anak-anaknya menuju sungai yang letaknya sekitar tiga ratus meter dari rumahnya.
Sungai itu berada disekitar lembah yang memisahkan dua desa, tak lupa membawa camilan dan minuman untuk bekal.
Dari rumah penduduk, mereka menuruni perbukitan yang terdapat sawah yang berbentuk undakan, menyejukkan mata, indah sekali, apalagi padi yang masih hijau, bagai permadani.
Emil menggandeng tangan putrinya, meski terbiasa dengan tempat seperti ini, tetap saja dia khawatir Nuha terjatuh.
Beberapa penduduk yang berpapasan dengan mereka, menyapa Emil dengan ramah, dia dikenal penduduk sekitar sebagai orang yang murah senyum, apalagi penampilan fisiknya berbeda dengan penduduk lokal, sehingga dia terlihat menonjol dan mudah dikenali.
Mereka sampai di sungai dengan air yang jernih juga dingin, masih banyak bebatuan besar yang terdapat di sana, sekali lagi Emil mengatakan agar anak-anaknya berhati-hati.
"Pi, aku berenang ya!" seru Asher begitu juga dengan Arash.
Emil mengangguk, "Aku juga ya om," giliran Oliver mengikuti.
Emil terkekeh, calon-calon pewaris perusahan besar di masa depan, kini kegirangan melihat air sungai yang memanggil mereka untuk membenamkan diri.
"Aku juga ya pi," Nuha angkat bicara,
"Kan Nuha lagi mens, lain kali aja ya!" Emil mengelus puncak kepala putrinya, "Gimana kalau nonton aja sambil makan camilan,"
Gadis remaja itu mengerucutkan bibirnya, melihat putrinya, Emil menjadi gemas, ngambeknya mirip sekali dengan mendiang maminya.
"Koh, aku juga mau ikutan berenang," seru Bella yang mulai membuka celana jeansnya.
Terlalu fokus pada anak-anaknya, membuat dia lupa, ada gadis menyebalkan, yang sedari kemarin mengganggunya.
"Terserah," Emil menjawab tanpa melihat gadis itu.
Tapi setelahnya, pupil matanya melebar, melihat Bella dengan santainya hanya mengenakan celana amat sangat pendek dan bra berwarna hitam.
Apa gadis itu gila? Ini bukan di Bali atau Eropa, yang dengan bebas memakai baju terbuka seperti itu.
Emil melepas kaos tanpa lengan miliknya, "Bel, pake kaos gue," dia menyodorkannya pada gadis itu.
Bella mengernyit, "Koh, aku mau berenang, kenapa disuruh pakai baju?"
"Pake Bella atau nggak usah berenang." mata sipit Emil menatap tajam gadis itu, seolah tak ingin dibantah.
Dengan wajah cemberut, Bella menerima kaos berwarna hitam itu, lalu memakainya, dia juga menggerutu kesal.
Biasanya Emil ikut berenang, tapi karena putrinya tak bisa ikut serta, dia memilih menemani Nuha.
Emil tersenyum kecil melihat polah ketiga remaja yang tengah asik bermain air, tapi kehadiran Bella justru melunturkan senyumnya.
"Tante Bella masih kayak anak-anak ya, pi?" ujar Nuha sembari memakan keripik kentang.
Emil memilih tak menanggapi, bukan karena putrinya, tapi objek yang dibicarakan, "Baru tadi pagi nggak ketemu bunda, Nuha udah kangen," cetus remaja itu, dengan wajah muram.
Emil merangkul putrinya, seraya mencium puncak kepalanya, "Kan ada papi, ada Abang, lagian bunda nggak lama kok,"
Nuha memeluk pinggang papinya, "Ayah bilang bisa dua Minggu lebih,"
Emil bingung mau menanggapi apa, dia memejamkan matanya, memikirkan kata yang tepat, agar putrinya tak bersedih, dia membuka matanya, "Kalau Nuha punya dedek bayi mau nggak?"
Remaja itu melepas pelukannya, dia menatap papinya, "Maksudnya?" tanyanya.
"Mungkin aja, sepulang Bunda dan ayah berpergian, Bunda hamil dan artinya Nuha bakal punya adik, bukankah Nuha ingin punya adik perempuan?"
Remaja itu mengangguk, lalu menunjukan senyum manisnya, Emil memeluk kembali putrinya, senyuman itu membuatnya teringat kembali dengan mendiang istrinya, dia benar-benar merindukan wanita itu.
***
Malam harinya, Emil dan anak-anaknya mengadakan acara barbeque di teras belakang rumah, Emil dan Asher berdiri di depan panggangan, Nuha dan Bella menyiapkan minuman, sedangkan Oliver dan Arash menusuk Sosis dan jagung yang dipetik di kebun.
"Pi, yang tadi siang itu mantan pacarnya Tante Bella ya?" tanya Asher, "Terus papi kok kenal?"
Emil berdehem, "Dia teman SMA papi sama ayah," jawabnya.
"Tante Bella sedih banget kayaknya,"
"Biar aja Ash! Itu urusan dia, kamu nggak usah ikutan pusing,"
Oliver memberikan sosis dan jagung yang telah ditusuk, "Om, kayaknya hapenya bunyi terus deh,"
"Ya udah, Oli gantiin om bantuin Asher,"
Emil masuk ke dalam rumah, dia mengambil ponsel yang di charge di dapur, dia melihat beberapa panggilan tak terjawab dari Billy.
Baru hendak menghubungi balik, Billy kembali menghubunginya.
"Halo Bil, ada apa?" tanya Emil, dia melepas kabel charger dan melangkah menuju pintu yang menghadap ke teras belakang rumahnya, mengawasi anak-anaknya.
"Sorry Mil, gue mau tanya, Lo tadi bareng Bella ya?"
Emil berdehem, sembari menatap gadis yang mengenakan sweater rajut berwarna cokelat muda.
"Kok bisa? Lo sama dia sekarang,"
"Iya, dia lagi barbeque an tuh, kenapa emang? Lo mau ngomong?"
"Nggak sih, terus terang, gue kaget waktu ketemu dia, setelah sekian lama, dia udah ada pasangan belum?"
Emil memijat pangkal hidungnya, "Nggak tau, gue nggak nanya, harusnya tadi pas di minimarket Lo tanya sendiri,"
"Ada sofi, nggak mungkin gue nanya gitu, bisa berabe urusannya,"
"Terus maksud Lo nanya gitu sama gue apa?"
"Gue minta nomor hapenya dong,"
"Buat apaan?"
"Pengen ngobrol aja, kan udah lama nggak ngobrol, ya nanyain kabar lah,"
"Gue nggak punya," Emil memang tidak memiliki nomor Bella, menurutnya tak penting, berhubungan dengan gadis menyebalkan itu.
"Masa nggak punya, Lo kan lagi bareng dia,"
"Gue kasih nomor Olsen atau Tante Kamila aja ya, terus Lo nanya ke mereka nomornya Bella,"
"Ya nggak mungkin lah, Lo tau sendiri mereka kayak apa sama gue, sejak kejadian itu,"
Emil melihat Bella menghampirinya, "Koh, piring buat naro sosis yang udah dibakar dimana?"
Emil menunjuk salah satu lemari di dapur, Bella berlalu masuk.
"Itu tadi Bella ya?"
"Lo mau ngomong?"
"Nggak usah, eh udah dulu ya, bini gue dateng,"
Belum sempat menjawab, panggilan sudah diakhiri oleh Billy.
"Telpon dari siapa koh?"
Emil sedikit terkejut, saat Bella tiba-tiba disebelahnya, "Ini si Billy, nanyain elo,"
Mata gadis itu berbinar, mendengar nama lelaki yang dicintainya, "Mana sini aku mau ngomong,"
Emil menggeleng, "Jangan nyari penyakit, dia udah punya bini," ucapnya sembari memasukan ponselnya ke saku celana training nya, melangkah menuju anak-anaknya berkumpul, meninggalkan Bella yang diam di pintu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 31 Episodes
Comments