Galau

Jangan lupa tinggalkan jejak

Sudah hampir empat belas tahun berlalu, tapi aku masih belum bisa merelakan kepergian mu, aku merindukanmu, aku masih berharap jika kamu hanya pergi sebentar, dan suatu saat akan kembali, mendengar suaramu menyapaku, senyuman cantikmu dan pelukan hangat mu.

Tapi kenyataannya, hingga saat ini kamu tak jua kembali, aku merindukanmu, benar-benar merindukanmu, sampai rasanya aku ingin menyusul mu.

Tapi jika aku menyusul mu, bagaimana dengan sesuatu yang kamu tinggalkan? Buah cinta kita, putri cantik kita, yang senyumannya sangat mirip dengan mu.

Terkadang, aku berandai-andai, seandainya dulu aku tak membiarkanmu untuk mengandungnya, mungkin hingga saat ini, kamu masih berada di sampingku.

Ah..., Rindu ini membuatku sesak, rasanya sulit hanya sekedar bernapas, apa yang harus aku lakukan?

Sebagian orang yang mengenalku mengatakan agar aku mencari penggantimu, tapi hatiku sudah mati, terkubur bersama jasadmu di bawah sana.

Sering kali aku mencuri waktu, menghampiri tempat peristirahatan mu, hanya untuk berbagi cerita, tentang keseharian ku, berharap agar kamu bisa mendengarnya.

Aku sudah pernah merasakan kehilangan, tapi saat kehilanganmu, rasanya gairah hidupku juga telah hilang, andai tak ada buah cinta kita dan sahabat baik mu, mungkin aku telah menemanimu di alam sana.

Setiap aku datang ke tempatmu, tak terasa air mataku luruh, hingga detik ini aku tak bisa melupakanmu, aku merindukanmu, andai bisa aku ingin kamu kembali, aku ingin memelukku, dan membisikan kata cintaku padamu, sebanyak yang kamu mau.

Dering telpon berbunyi, aku melihat siapa gerangan yang menghubungiku, tertera nama bunda dari putri kita, dia sahabatmu, dia penyemangatku, aku menjulukinya malaikat tanpa sayap.

"Kamu lagi dimana? Kenapa nggak pulang-pulang?" Aku bisa mendengar nada kekhawatiran dari dia.

"Aku lagi pergi sebentar bund, Ada apa?" tanyaku. Aku melihat jam di ponselku, pukul setengah enam sore, aku melihat langit, yang mulai berwarna oranye, selalu seperti ini, saat aku mengunjungi kamu, waktu seolah cepat berlalu.

"Mil, kenapa kamu seolah menghindari aku? Apa kamu tidak setuju aku menikah? Kalau iya, aku akan batalkan saja, ya!"

Aku tau dia tengah gusar, besok malaikatku akan menikah ulang dengan suaminya, yang belasan tahun terpisah karena suatu hal, lelaki itu teman baikku saat SMA.

"Aku nggak menghindar bund, aku lagi sibuk, kamu tau bukan, aku harus menjalani dua pekerjaan sekaligus," Aku berbohong, aku tak mau dia tau, jika aku masih hampir setiap Minggu mengunjungi mendiang sahabatnya, bisa-bisa dia menangis terus-menerus, akan sulit bagiku untuk menenangkannya.

"Bohong, barusan aku telpon Andre, tapi kamu nggak di kantor, jadi dimana kamu sekarang?" Aku lupa tidak memberitahu sahabatku sekaligus yang membantuku mengelola perusahaan peninggalan papi ku.

"Aku lagi cari angin di taman dekat kantor, sebentar lagi aku akan ke sana," Aku berbohong pada dia, aku harap dia percaya dan jangan banyak bertanya.

"Jam berapa kamu pulang? Aku mau tunggu kamu,"

"Entahlah, tergantung kondisi jalan, bunda tau bukan, Jalanan Jakarta tak bisa diprediksi,"

"Kalau gitu aku tunggu hingga kamu pulang,"

Dia mengakhiri panggilannya, mungkin kesal, beberapa hari ini, aku sengaja menghindarinya.

Bagaimana tidak, aku membohonginya, tentang kehamilannya, demi membantu sahabatku untuk kembali menikah dengannya.

Aku meminta salah satu asistenku yang tengah hamil muda, meminjam perutnya untuk aku USG, seolah dia tengah hamil.

Hidup seatap bersama, selama belasan tahun, membuatnya tau betul berbagai ekspresi ku, salah satunya saat aku sedih, karena merindukan sahabatnya, atau saat aku berbohong, soal aku yang kembali mengunjungi club' malam, demi membuktikan milikku masih bisa tegak atau tidak, dia benar-benar tau.

Aku melihat bunga Lili, yang aku letakan di atas pusara istriku, aku selalu membawanya, setiap aku datang, walau aku tau, itu hal yang sia-sia, karena mendiang istriku tak mungkin bisa mencium wanginya atau menikmati indahnya.

"Sayang, besok sahabat kamu akan menikah lagi dengan suaminya, aku harap setelah ini, dia lebih bahagia, walau sejujurnya aku merasa kehilangan, aku harap kamu setuju dengan keputusanku, dan mengenai putri kita, kamu tenang aja, dia bilang akan tetap mengurusnya dengan baik,"

Sudut mataku mulai gatal, sepertinya air mataku akan kembali tumpah, "Putri kita diperlakukan sama dengan kedua putra kembarnya, kamu jangan khawatir, sahabat kamu benar-benar menjalani perannya dengan baik,"

Air mataku mulai mengalir, aku mulai terisak, dan suaraku mulai bergetar, "Aku berterima kasih, karena kamu memberikan putri dan sahabat kamu buat aku, sebagai teman hidupku yang terasa berat tanpa kehadiran kamu,"

Aku menyeka air mataku, dengan sapu tangan pemberian mu, ada inisial nama kamu dan aku di sana. Aku ingat kamu menyulamnya dengan tangan mu sendiri, sebelum kamu pergi, "Aku pulang dulu ya! lain kali aku akan kembali, mungkin dengan membawa putri kita,"

Aku mencium pusara yang tertulis namamu, seraya membisikkan ungkapan cintaku yang takan pernah ada habisnya untukmu.

***

Aku baru sampai rumah warisan papi, menjelang tengah malam, aku sengaja pulang sangat terlambat, berharap Hasya sudah tidur, tadi aku mampir dulu ke kantor menemui Andre, yang tengah disibukan dengan berkas di meja kerjanya.

Aku ingat dulu Andre, sempat memusuhiku, karena diantara kami berempat, hanya dia yang berada di jurusan IPS saat SMA, dia kesal karena aku tak mau diajak bersamanya.

Tapi sepeninggal Olsen yang dibawa ke Amerika oleh pamannya, kami kembali akrab dan menghabiskan waktu bersama, jika ada waktu luang.

Aku baru saja membuka pintu rumah, alangkah terkejutnya aku, mendapati wanita dengan gaun putih menatapku dengan tajam sambil berkacak pinggang.

"Kenapa baru pulang? Jam berapa ini? Bukankah aku sudah bilang untuk pulang cepat? Kamu sengaja menghindari aku? Aku buat salah apa sama kamu?!"

Aku mengorek telingaku dengan jariku. Astaga, hanya dia yang berani mengomeli ku, bahkan mendiang mami dan istriku saja tak pernah mengomel seperti itu.

"Emiliano, kamu nggak mau jawab pertanyaanku?"

"Ini aku mau jawab bund, kamu ngomong nggak mau berhenti," sahut ku, "Lagian kenapa kamu belum tidur, kamu besok harus didandani, supaya terlihat cantik didepan suami kamu,"

Dia berjalan ke arah dapur, tentu aku harus mengikutinya, kalau tidak, bisa-bisa dia mengomel hingga subuh.

Dia menyeduh wedang jahe untukku, hal yang rutin selalu dia lakukan, jika aku pulang terlambat, dia menyodorkan cangkir bening berisi cairan berwarna cokelat padaku.

Aku duduk di stoll, lalu meminum perlahan sembari menghirup aroma wangi jahe, rasanya enak sekali.

Dia duduk disebelah ku, aku bisa mendengar helaan nafasnya, "Kenapa bund?" tanyaku, aku sedikit khawatir, tentang kesehatannya.

"Aku mau batalin pernikahanku, aku kayak nggak yakin deh,"

Aku melebarkan mataku, aku menoleh menatapnya, "Kenapa? Apa alasannya? Jangan bercanda,"

"Tapi aku bimbang Mil, bagaimana dengan anak-anak? Aku takut Olsen menuntut ku untuk mengikutinya ke Amerika,"

Ah.... Aku lupa soal ini, aku menyetujui permintaan Olsen untuk membantunya kembali pada istrinya, tanpa membahas soal anak-anak.

"Kamu mau, jauh dari anak-anak?"

Aku menggeleng, Jelas itu tak mungkin, ketiga anak itu adalah penyemangatku. Bagaimana bisa aku dipisahkan dari mereka?

"Aku juga nggak mau pisah dari mereka, jadi kemanapun aku pergi, aku akan membawa mereka,"

Aku melotot lalu menggeleng, "Mana bisa begitu, mereka juga anakku ,"

Astaga kami bertengkar memperebutkan anak-anak, bagai mantan suami istri yang tengah bersengketa di pengadilan, memperebutkan hak asuhnya.

"Mil, kamu lupa, di akta kelahiran ketiga anak itu, aku adalah ibunya, aku ibu mereka secara hukum, bahkan aku kepala keluarga untuk mereka,"

Aku lupa soal itu, ya ampun, bahkan putri kandungku telah resmi jadi anak dari wanita di sebelahku, apa yang harus aku lakukan? Menuntut secara hukum, akan sangat sulit, dan harus melewati prosedur yang rumit.

Aku jadi dilema, aku memijat kepalaku yang mulai berdenyut, aku pusing, aku berusaha menenangkan diriku, "Kita bahas besok mbak, aku coba ngomong sama Olsen,"

"Oke," dia turun dari stoll, "Ingat ya Mil, anak-anak akan selalu bersamaku di manapun aku berada,"

Aku melihat kepergian wanita dengan gaun berwarna putih itu, menuju kamar yang bersebelahan dengan kamarku.

Aku menenggak sekaligus wedang jahe yang mulai dingin, sepertinya aku tak akan bisa tidur malam ini, aku harus menemui sahabatku.

Terpopuler

Comments

Umie Irbie

Umie Irbie

aaaahh,. kasian si emil 😫😩

2024-02-21

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!