Liburan sekolah telah usai, ketiga remaja di bawah asuhan Emiliano telah kembali. Artinya waktu kebersamaannya dengan sang kekasih juga berakhir.
Kesibukan Emil sebagai ayah dari ketiga remaja, pekerjaannya di rumah sakit dan mengawasi perusahaan warisan mendiang papinya, membuatnya nyaris tak bisa bertemu Bella. Hanya komunikasi via ponsel yang bisa mereka lakukan untuk sekedar tanya kabar, ataupun melepas rindu. Termasuk saat akhir pekan, waktu sepenuhnya hanya untuk ketiga remaja itu.
Meski tak dipungkiri, Emil sangat merindukan kekasihnya. Tanggung jawabnya yang besar, membuatnya kesulitan meluangkan waktu untuk wanita itu.
Pagi itu, usai mengantarkan anak-anak ke sekolah, Emil mengemudikan mobilnya, ke arah apartemen kekasihnya. Sudah dua pekan lamanya keduanya sama sekali tak bertemu.
Masih ada waktu sekitar satu setengah jam, dari jadwal harian nya, dia meminta perawat yang biasa menjadi asistennya, untuk tak menghubunginya selama jeda waktu.
Dia ingin melepaskan rindu, pada wanita yang membuatnya kembali merasakan cinta.
Sepanjang jalan, dia menggigit bibirnya, untuk menahan senyumannya. Emil bagai anak baru gede, yang baru merasakan jatuh cinta.
Perasaan menggebu-gebu, rasa rindu membara. Ah ... Sulit sekali menggambarkan perasaannya saat ini. Yang jelas, harinya menjadi lebih bersemangat, sejak menjalin hubungan dengan wanita bernama Bella Sophia.
Meski rasanya dia bersalah, karena tak bisa menemui wanita itu tiap harinya. Tapi sejauh ini, Bella mengerti kesibukannya, bahkan sering memberikan suntikan semangat dengan pesan-pesan yang dikirimkan padanya.
Bagaimana Emil tak semakin cinta pada wanita mungil itu? Perhatian yang mendetail dari Bella, pengertiannya, dan hasratnya yang terpuaskan, jika mereka bertemu. Semua yang Emil butuhkan, dia dapatkan dari wanita itu.
Mungkin Bella tidak sadar, jika sebenarnya, Emiliano sepenuhnya sudah benar-benar takluk pada anak sulung dari Kamila.
Turun dari mobil, usai memarkirkan mobilnya, Emil melangkah menuju elevator, sambil bersenandung. Senyuman bahkan tak luntur dari wajahnya.
Sekilas dia melirik satu buket bunga mawar merah, dan kotak makanan yang dia beli sebelum sampai tempat ini.
Sampai di unit apartemen tempat tinggal kekasihnya, seperti biasa, dia memencet bel terlebih dahulu. Emil hanya ingin melihat wanita itu membukakan pintu, sambil menyambutnya dengan senyuman.
"Loh koh!" Bella terlihat terkejut dengan kedatangannya yang tiba-tiba, Emil sengaja tak memberitahunya.
"Boleh aku masuk?" Emil tersenyum, seraya menunjuk ke belakang tubuh kekasihnya, dengan dagunya.
Bella membuka pintu lebih lebar, "Silahkan masuk!" Lalu dia berbalik, menuju dapur mini. Bella sedang menyeduh susu. "Tumben? Apa lagi nggak sibuk? Eh ... Koko mau minum apa? Kopi atau teh? Atau mau susu juga?" Tawarnya.
Bukannya menjawab, Emil justru menyodorkan kotak makanan, dan buket bunga yang dia bawa, "Buat kamu!" Emil tau jika wanita yang masih mengenakan piyama, sangat menyukai bunga berwarna merah.
Bella menerimanya, dia menghirup aromanya, dan bergumam 'terima kasih'. Dia mengambil vas kaca, yang sengaja dia beli untuk menaruh bunga segar. Emil rutin membawakannya.
Emil mencuci tangannya di wastafel, dan mengeringkannya. Lalu merengkuh tubuh wanitanya, yang tengah sibuk menata bunga untuk ditempatkan di vas. "Aku kangen banget tau." Dia mulai mengendus pundak dan leher milik kekasihnya.
Bella tersenyum, "Apalagi aku." Dia menaruh tangkai bunga, lalu berbalik membalas pelukan lelaki tampan itu. Keduanya berciuman sejenak, Bella yang memutusnya terlebih dahulu, "Sarapan dulu yuk! Aku laper." ujarnya, masih dalam pelukan kekasihnya.
"Tapi aku kangen banget, bolehkah kita melakukannya terlebih dahulu?" Pria berkemeja biru muda itu, memasang wajah penuh harap.
Bella mengangguk, dia pun sama, merindukan lelaki yang tengah memeluknya.
Mendapatkan lampu hijau, Emil tak membuang banyak waktu, dia melepaskan pelukannya dan mulai membuka sendiri kancing kemejanya. Setelah ini, dia harus menjalani aktifitas padat, dan bertemu banyak orang.
Emil menyisakan celana bokser yang menutupi asetnya, dia meraih tubuh wanitanya, dan membawanya ke ranjang.
Di sana dia mulai mencumbui kekasihnya, tak hanya itu, dia juga membisikkan kata-kata cinta, dan memuji kecantikan wanita pemilik mata cokelat yang kini memiliki sepenuh hatinya.
Saat hendak menuju aktifitas utama, dia bangkit dari atas tubuh Bella, dia merogoh kantong celananya. Terakhir bertemu, stok pengaman di unit apartemen kekasihnya, telah habis, untuk itu dia membawanya.
"Kenapa harus pakai pengaman? Bukankah lebih nikmat tanpanya? Atau aku bisa memakai kontrasepsi." Kata Bella, dia menatap kekasihnya yang sedang membuka kemasan pengaman.
"Kontrasepsi terlalu beresiko untuk kamu, yang belum pernah hamil. Aku nggak masalah jika harus memakai pengaman, yang penting kamu nyaman." Sebagai dokter kandungan, Emil jelas tau efek dari penggunaan kontrasepsi pada wanita.
Setelahnya Emil membungkam bibir kekasihnya, dia menyesapnya. Tangannya yang bebas, melesakan miliknya ke dalam titik terdalam, nan lembah di bawah sana.
Sudah berkali-kali melakukannya, tapi milik Bella selalu berhasil membuatnya merasakan kenikmatan luar biasa. Rasanya miliknya akan meleleh saking nikmatnya.
"Pekan depan, aku mau ajak kamu ke rumahku yang di Sukabumi. Aku ingin menghabiskan waktu hanya berdua dengan kamu." Emil menghentikan aktifitasnya sejenak, dia teringat rencananya. Lalu kembali bergerak, untuk menggapai puncak dunia.
Bella yang sudah tak berdaya, tanpa pikir panjang hanya mengangguk. Prianya membuatnya berkali-kali mendapatkan kenikmatan luar biasa.
Dalam sesi pertemuan mereka kali ini, Emil melakukannya sampai dua kali, andai tak ingat tanggung jawab pekerjaan, mungkin dia akan melanjutkannya. Dan karena perbuatannya itu, Bella tertidur kembali di hari yang masih pagi.
***
Emil bersenandung ria, dia bahkan bersiul-siul begitu keluar dari mobil, sesampainya di lobi rumah sakit.
"Tolong parkirkan mobilnya ya, Pak!" Dia meminta pada salah satu sekuriti, tak lupa memberikan uang jajan.
Di depan resepsionis, Ika telah menunggunya, "Cerah banget mukanya, dok! Lagi happy kayaknya." ujarnya seraya menyamai langkah duda tampan itu.
"Emang kelihatan, ya?" Ika menyahutnya dengan anggukan. "Udah kamu ajukan permohonan cuti saya untuk akhir pekan besok, kan?"
"Beres!" Ika menunjukan ibu jari dan telunjuknya yang membentuk huruf 'O'. "Emang dokter mau kemana sih? Tumben."
"Saya mau liburan, tanpa ada telepon masuk, karena saya ingin mematikan ponsel, selama dua hari."
"Mau liburan sama anak-anak ya, Dok?" Tanya Ika heran, sepanjang menjadi asisten dari dokter kandungan itu, Emil jarang mengajukan cuti.
"Nggak, saya mau liburan sama pacar." sahut Emil sambil bersiul.
"Dokter punya pacar? Wah ... Selamat ya dok!" Ika turut senang mendengar kabar baik itu.
"Terima kasih ya, Ka! Tapi tolong rahasiakan dulu."
Ika menunjukkan jempolnya, seraya membuka pintu ruang praktek bertuliskan
'dr. Emiliano Soetanto, Sp.OG'
***
Emil baru saja keluar dari ruang operasi, dia membawa gumpalan daging sebesar kepalan tangan, dan menunjukkannya pada wali pasien. Dia menjelaskan tentang tumor jinak, yang berhasil dia ambil dari rahim pasiennya.
Selesai memberi penjelasan, Emil berniat masuk kembali ke ruang operasi, tapi seseorang memanggilnya.
Emil menoleh, dan mendapati wanita berusia lima puluh tahun itu, menghampirinya. Sebagai wujud kesopanan, Emil melepas sarung tangan dan menyalami wanita berpakaian dress berwarna cokelat tua itu. "Kok nggak ngabarin aku, kalau mami mau ke sini?" tanyanya.
"Mami kabarin kok, tapi mungkin kamu lagi di dalam, jadi nggak dengar kalau mami telepon kamu."
"Mami tunggu sini sebentar ya! Aku mau ngecek pasien sekali lagi, sekalian ganti baju." Emil meminta izin sejenak.
Kamila setuju, dan mempersilahkan lelaki cindo yang sudah dia anggap sebagai anak sendiri, untuk kembali masuk ke dalam ruangan operasi.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 31 Episodes
Comments