Suara pintu terbuka, perempuan bertubuh mungil itu masuk. Dari tempatnya dia duduk, Emil bisa melihat jalannya yang sempoyongan.
Bukannya menyalakan lampu kamar, perempuan itu, langsung masuk ke toilet. Terdengar suara orang sedang muntah-muntah dari dalam sana.
Emil mengepalkan tangannya kuat, sialan dia kecolongan, sepertinya kekasihnya minta diberi hukuman.
Ruangan menjadi terang, dan setelahnya bisa dia tebak, perempuan itu terkejut dengan keberadaannya.
"Kamu kok bisa ada di sini?"
Emil memindai penampilan kekasihnya, dia berdecak kesal. "Dari mana kamu?" tanyanya menyelidik.
Bella terlihat gugup, dia juga menutupi dadanya dengan scarf yang dibawanya. "Em ... Dari rumah teman."
Emil bangkit dari duduknya, dan menghampiri perempuan yang tingginya hanya sebatas dadanya. Dia mengendus sekitar leher dan bahu, "Kamu minum?"
"Cuman sedikit ..." Bella menunduk, dan memainkan scarf miliknya, dia bagai anak yang tertangkap basah melanggar aturan.
Emil mundur selangkah, "Siapa nama teman kamu? Di mana alamat rumahnya?"
Bola mata itu bergerak kesana-kemari, terlihat jelas kegugupan dari anak sulung Kamila. "Aku nggak tau alamatnya."
Emil berdecak, niat hati ingin memperbaiki mood karena kabar dari Kamila, dengan cara menemui wanitanya, dia justru mendapati kelakuan di belakangnya.
Tak ingin menyakiti perempuan itu, Emil memilih beranjak, dia mengambil kemeja dan celananya.
Namun tangannya ditahan. "Koko mau kemana?"
Mata sipit itu melirik tangan yang menahannya. "Bukan urusan kamu, dan silahkan urus diri kamu sendiri."
Bella merengkuh tubuhnya, "Maafin aku, aku janji nggak akan mengulanginya." Dia terisak, lalu menceritakan tentang kepergiannya bersama teman-teman barunya, ke tempat hiburan malam, dalam rangka merayakan ulang tahun salah satu temannya. "Jangan marah Koh! Aku mohon."
Emil butuh pelampiasan rasa kesalnya, dia melepaskan pelukan itu, lalu beranjak menuju kamar mandi untuk mengganti bajunya, tak mungkin dia keluar hanya menggunakan kaus tanpa lengan dan celana pendek setengah paha.
Gedoran di pintu, dan rengekan kekasihnya, tak membuat hatinya luluh. Hingga dirinya keluar Bella masih bertahan di depan pintu, dengan tatapan memohon dan pipi yang basah.
"Maafkan aku, aku janji nggak akan mengulanginya lagi."
Emil memang laki-laki yang baik, ramah, serta sopan pada siapa saja, dia juga lembut dan royal pada orang terdekatnya. Tapi mereka tidak tau, bagaimana sikapnya jika dia telah dibohongi. Emil tipe lelaki yang tidak mudah luluh hanya dengan tangisan.
Tak peduli tangisan kekasihnya, Emil melewati begitu saja, dia hendak mengambil ponsel dan tas berisi laptop. Lalu dia pergi begitu saja, tanpa berucap sepatah katapun.
***
Rencana akhir pekan yang seharusnya dia habiskan bersama kekasihnya, pada akhirnya dia memilih mengajak anak-anaknya menuju rumah mereka. Dia sengaja memblokir nomor kekasihnya, agar tak mengganggunya.
Emil memang jatuh cinta pada Bella, dia tergila-gila pada perempuan mungil itu. Tapi sebagai lelaki, dia cukup tersinggung dengan ketidakjujurannya Bella, ditambah lagi, soal rencana perjodohan yang dilakukan oleh Kamila untuk putrinya.
"Nuha perhatikan, Papi sering melamun. Apa papi kangen bunda?" Mereka sedang duduk salah satu batu besar di tepi lembah tak jauh dari rumah.
"Hem ... Bagaimana dengan putri papi? Apa Nuha merindukan bunda?" Tanyanya balik, seraya mengelus lembut, rambut panjang remaja di sebelahnya.
"Liburan semester depan, bisakah kita ke tempat bunda?"
Ah ... Emil lupa mengurus paspor, sepertinya dia harus segera mengurus dan juga membuat visa untuk ketiga remaja itu. "Papi akan segera urus semuanya."
Nuha bersorak, dan berteriak memberitahu kedua kakaknya, tentang rencana liburan semester depan.
Si kembar yang sedang berenang, melakukan hal sama seperti si bungsu.
Udara sejuk, dan suasana tenang, membuat Emil melupakan kekesalannya pada kekasihnya. Dia larut dalam kebahagiaan bersama anak-anaknya.
Minggu siang, mereka kembali ke ibu kota, Emil mengemudikan mobilnya, di sisinya ada Si sulung Arash, dan di jok belakang Nuha bersisian dengan Asher.
"Pi, sebelum pulang, kita mampir ke rumah nonno dulu ya!" Seru Arash.
Emil melirik sekilas remaja di sebelahnya. "Memangnya ada apa di sana?"
"Katanya calon suaminya Tante Bella mau datang." Nuha menyahut dari belakang.
Andai pengendalian diri Emil tak baik di depan anak-anaknya, mungkin dia sudah mengerem mendadak mobilnya. Meski cengkraman di kemudinya tak bisa dia kendalikan. "Memangnya Tante Bella sudah kembali?"
"Belum sih, Mami bilang kalau Tante Bella masih sibuk di Milan, rencananya mereka akan bertunangan usai natal." Asher ikut bersuara.
"Begitu ya!" Dari balik kemudinya Emil menyeringai.
Setelah menempuh perjalanan selama lebih dari satu jam, mobil yang dikendarai Emil, baru tiba di rumah besar keluarga Blade.
Saat Emil dan anak-anaknya datang, Kamila sedang sibuk mengatur taman samping rumah.
Mereka menyalami ibu dua anak, yang masih terlihat cantik di usianya.
Kamila mengajak cucu-cucunya, melangkah menuju meja makan, di sana sudah tersedia berbagai kudapan.
"Emang yang datang banyak, Mi?" Tanya Emil heran, dia duduk bersebelahan dengan Asher.
"Keluarga besarnya Reno lah, Daddy bilang sekitar dua puluh orang gitu." Kamila mengambilkan cupcake dan menyuapkan pada cucu perempuannya.
"Abang Oli kemana, Mi?" Tanya Arash, sedari datang dia tak melihat keberadaan paman kecilnya.
"Lagi temani Daddy main golf, mungkin sebentar lagi pulang." sahut Kamila. "Apa kamu mau makan, Ash?"
"Nanti saja, bolehkah aku ke kamar? Aku mengantuk." ujar remaja bermata hitam legam itu.
"Boleh dong," kata Kamila dengan senyum tak luntur dari wajahnya. "Arash kalau mau ikutan juga boleh, tenang aja kamar kalian selalu siap." Dia meminta pelayan merapihkan dan menyiapkan kamar untuk cucu-cucunya setiap mendekati akhir pekan, berharap mereka menginap di sana.
Hanya tersisa Emil dan putrinya, serta Kamila. "Emang Bella udah ketemu, Mi? Kok tiba-tiba mau ada acara perkenalan keluarga segala." Emil heran, beberapa hari yang lalu, dia ingat meninggalkan perempuan itu, dalam keadaan menangis.
"Ya belum sih, Mami bilang aja, kalau Bella lagi sibuk di Milan. Dan mami yakin, sebelum natal, Bella pasti sudah pulang."
"Kalau Bella nggak mau dijodohin, gimana?"
Kamila melambaikan tangannya, "Ya pasti mau lah, Bella itu anak penurut banget, apapun yang mami bilang, semua dia turuti." dia membantah.
Emil tersenyum tipis, nyaris tak terlihat. "Ini cuma seandainya, kalau ternyata Bella sudah punya pacar yang dia cintai, apa mami akan tetap memaksakan kehendak?" Dia sengaja memancing.
"Nggak mungkin Bella kayak gitu, dia itu introvert, nggak gampang punya teman. Terus dia juga tipe orang yang susah jatuh cinta. Kamu tau bukan selama ini, Bella sulit move on dari mantan yang jahat itu?"
"Emang Tante Bella pernah pacaran, Mi?" Cetus Nuha tiba-tiba, "Umur berapa? Terus Nuha boleh pacarannya umur berapa?"
Dan sontak terdengar suara penolakan di sana. "Tidak boleh."
Bukan hanya Emil dan Kamila, yang menyahut secara bersamaan. Begitu juga Oliver dan Rudolf yang baru saja datang.
"Kenapa nggak boleh?" Mata remaja perempuan itu berkaca-kaca.
Kamila yang berada paling dekat, sontak merengkuh tubuh cucu perempuannya, "Nuha sayang, di luaran sana, banyak lelaki jahat, jadi Nuha tidak boleh sembarangan dekat dengan lelaki."
"Benar kata Mami, sebelum laki-laki itu mendekati kamu, dia harus menghadapi Nonno dulu." Rudolf melakukan hal yang sama dengan istrinya.
Emil menganga tak percaya, melihat kepedulian lelaki tua, terhadap putrinya, padahal dulu dia sangat membencinya. Lalu tatapannya bertemu dengan remaja bermata cokelat terang, dia menaikan sebelah alisnya, lalu memberikan tatapan curiga. Entah mengapa dia merasa harus waspada pada anak bungsu Kamila dan Rudolf.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 31 Episodes
Comments
❀ℕ𝕒𝕕𝕚𝕝𝕒 ℕ𝕚𝕤𝕒❀
lanjut kak
2024-10-18
1