Terror [Tiga]

Malam telah melepas layar. Hujan yang disertai kilat sudah berhenti sejak satu jam yang lalu, hanya menyisakan beberapa genangan air di atas aspal. Saat ini waktu sudah hampir menunjukkan pukul tujuh, namun tamu yang dinantikan Kamalla belum ada yang menampakkan batang hidungnya.

Malam itu Ibu yang dibantu oleh Kamalla dan Monika sedang sibuk menata makanan di atas meja. Sampai pada akhirnya terdengar suara ketukan pintu dari arah luar.

Tok! Tok! Tok!

"Permisi," suara teriakan Kia terdengar jelas di telinga Kamalla. "Malla."

Kamalla menghentikan kesibukannya dan bergegas menuju sumber suara tanpa menghiraukan dua orang yang ada di dekatnya. Monika dan Rukmi saling melempar pandangan, kemudian kembali melanjutkan kegiatannya.

Alih-alih menjamu Kia, justru Kamalla tak menemukan seorangpun di luar sana. Dia menautkan kedua alisnya kemudian kembali berjalan ke arah dapur, membiarkan posisi pintu dalam keadaan setengah terbuka. Namun belum begitu jauh kakinya melangkah, suara ketukan pintu itu kembali terdengar diiringi dengan suara khas Kia. Sama seperti sebelumnya.

Gadis itu memutar kedua bola matanya. Pasti tadi Kia bersembunyi, benak Kamalla. Saat Kamalla memutar kembali tubuhnya ke arah pintu, jantungnya nyaris copot karena mendapati sosok kepala perempuan menyeringai dari celah pintu.

"Nungguin gue ya?" sosok itu kemudian membuka pintu dan menunjukkan tubuhnya masih dengan cengiran khasnya barusan.

"Ih Kiaaaa!"

"Apa? Kanapa?" tanya Kia dengan polosnya.

"Untung bukan Ibu gue yang bukain pintu. Bikin kaget aja!"

Kia hanya terkekeh geli melihat raut wajah Kamalla yang masih diselimuti ketakutan.

"Muka lo pucat La," ujar Kia, masih dengan tawanya. Sejurus kemudian Kamalla melayangkan cubitan ke arah pinggul gadis di hadapannya, namun serangan itu berhasil dihalau.

"Eh Nak Kia sudah datang. Ayo masuk, itu temannya sudah nunggu loh," ujar Ibu Kamalla. Seketika Kia berhenti tertawa dan lanjut menyalami Rukmi. "Kamu ini La, bukannya disuruh masuk temannya."

"Biarin aja Bu dia di luar, biar ditemanin demit pohon jambu!" seru Kamalla.

"Hush! Kamu ini," Rukmi menepis udara di hadapannya. "Ayo Nak Kia, makanannya sudah siap semua."

Rukmi kembali berjalan ke arah dapur.

"Jenny udah datang La?" tanya Kia sambil meletakkan tas selempangnya ke atas kursi kayu jati di ruang tamu. "Dia bawa mobil?"

Kamalla hanya menggelengkan kepalanya. Sejak kapan Jenny punya mobil pribadi.

"Terus?"

"Monik."

"Hah!?"

"Iya Monik! Biasa aja dong mangapnya."

"Sorry, ini gue shock parah sih. Setelah sekian lama, akhirnya kalian damai. Benar 'kan apa kata gue, dia sekarang udah jinak."

Kamalla menaikkan kedua bahunya. "Tadi dia ngasih gue tumpangan pas hujan, gue jadi nggak enak kalau nggak ngajak dia ke acara gue malam ini."

Kia hanya ber-oh panjang sambil menganggukan kepala.

"Ya semoga aja dia benaran tulus nolong gue," ujar Kamalla akhirnnya. Meskipun jauh di lubuk hatinya tersimpan keraguan mengingat kejadian siang tadi di koridor sekolah.

****************

Beberapa kilo meter dari kediaman Kamalla, seorang pemuda berstelan kaos hitam dan dibalut jaket berwarna abu-abu tengah mengendarai Kawasaki biru miliknya dengan kecepatan tiga puluh meter per-jam.

"Lo udah gila ya?" tanya Radhit pada gadis yang tengah duduk di bagian belakang motornya.

"Lo yang udah gila, Dhit. Harusnya dari awal gue jujur ke Malla tentang ini."

"Terus mau lo apa Jen?"

"Gue mau lo jujur soal semuanya. Gue nggak bisa terus-terusan dihantui rasa bersalah."

"Nggak. Waktunya nggak tepat."

Radhit perlahan menurunkan laju motor dan memarkirkannya tepat dibelakang mobil milik Monika. Tanpa aba-aba, Jenny turun dari boncengan.

"Terus harus sampai kapan gue pura-pura. Dia sahabat gue, Dhit. Teman sebangku gue," ujar Jenny sedikit berbisik. Jemarinya meremas pegangan paper bag berisikan tart yang sedari tadi dia tenteng.

Radhit melepas helm full facenya kemudian menghela napas panjang.

"Gue belum bisa Jen."

"Oke. Pilihannya cuma satu, lo sendiri yang jujur atau gue?"

Radhit hanya diam. Dia benar-benar bingung sekarang.

"Jen, masuk!" teriak Kia dari ambang pintu.

Sebelum mengikuti panggilan itu, Jenny sempat menatap tajam ke arah Radhit. Beberapa detik kemudian laki-laki itu mengekor sambil melirik mobil berwarna silver yang tak asing baginya.

Saat sampai ke dalam rumah, Jenny tampak tak percaya dengan apa yang dia lihat saat itu. Namun tak kalah terkejutnya dengan Jenny, Radhit tidak bisa berkata-kata ketika melihat Monika menjadi bagian dari acara malam itu. Monika hanya tersenyum menyambut kedatangan dua tamu terakhir itu.

"Karena semuanya sudah kumpul, yuk kita makan dulu. Maaf ya makanannya nggak ada yang wah."

"Nggak apa-apa Bu, yang paling penting niatnya bisa syukuran buat ulang tahun Kamalla," ujar Monika.

Jenny spontan memutar kedua bola matanya ketika mendengar ucapan Monika barusan.

"Iya betul, apalagi tadi masaknya dibantu Nak Monik dan Kamalla. Pasti rasanya lebih enak."

"Gue curiga dia naruh sesuatu di makanan ini," ujar Jenny berbisik pada Kia.

Kia yang tak sadar akan ucapan Jenny, justru sudah melahap potongan ayam goreng dari piringnya. Jenny kembali memutar kedua bola matanya.

Sepuluh menit pertama tak ada satu katapun yang keluar dari mulut mereka. Sesekali hanya terdengar suara piring yang beradu dengan sendok. Merasakan hal yang aneh, Rukmi mengambil dua buah perkedel kemudian meletakkannya di atas piring Radhit.

"Nak Radhit, perkedelnya mau?" tanya Ibu pada memecah keheningan. Radhit hanya mengangguk tanda setuju.

Sementara itu baru beberapa suapan, Kamalla merasakan mual dan pusing. Jenny yang sedari tadi menyadari gelagat aneh dari sahabatnya tidak bisa menahan dirinya lagi untuk bertanya. "La, lo nggak apa-apa?"

Semua yang ada di sana sontak menghentikan kegiatannya dan menoleh ke arah Kamalla.

Kamalla menggelengkan kepalanya pelan. Wajahnya kini pucat pasi. Beberapa bulir peluh keluar dari dahi dan mengalir sampai dagunya.

"Kamu kenapa Nak?" tanya Ibu panik lalu menghampiri kursi tempat Kamalla duduk, disusul Radhit dan Jenny. Ibu mengusap peluh yang keluar dari dahi anak semata wayangnya itu. Sementara Jenny melempar tatapan tajam ke arah Monika.

****************

"Lo masih pucat banget La," ujar Jenny sambil membereskan sisa makan di meja.

Acara makan malam itu selesai dengan terpaksa, mengingat kondisi Kamalla pada saat itu. Bahkan tart yang sudah dibawa oleh Jenny masih tersimpan rapih di dalam papper bag.

Monika, Kia dan Radhit berpamitan setengah jam yang lalu. Rencana awal Jenny untuk pulang bersama Radhit urung karena ingin menginap dan menemani Kamalla malam itu.

"Kayaknya ini efek kena hujan sore tadi deh Jen," kata Kamalla seraya meletakkan piring terakhir ke dalam sink.

Jenny mengangguk pelan.

"Sebaiknya kalian istirahat di kamar, biar Ibu yang melanjutkan," kata Ibu Kamalla.

Setelah menuruti perintah Ibu, Kamalla dan Jenny masuk ke dalam kamar. Sekarang mereka sudah berbaring di atas kasur dengan motif sprei berwarna biru langit. Hampir setengah jam Jenny terlihat terjaga, kedua matanya menatap lurus ke arah plafon sesekali dia melirik gadis di sebelahnya. Kamalla terlihat sudah tertidur dengan posisi memunggungi Jenny.

Suasana malam itu begitu hening. Sampai tiba-tiba suara ketukan terdengar dari arah jendela yang posisinya tepat di samping Jenny. Gadis itu tahu betul kalau di luar sana merupakan lahan luas berisikan tanaman singkong entah milik siapa. Orang jahil mana yang malam-malam begini berada di tempat seperti itu.

Tek! Tek! Tek!

Jenny yang mendengar suara itu berusaha tenang dan memejamkan matanya.

Tek! Tek! Tek!

Suara kuku yang mengetuk kaca itu terdengar lagi.

"Malla," panggil Jenny setengah berbisik. "Lo udah tidur?"

"Diam aja Jen."

Jenny menghela napas lega ketika menyadari sahabatnya itu ternyata masih terjaga.

"Lo dengar juga?" tanya Jenny memastikan. Manik matanya melirik ke arah tirai yang menutupi jendela kaca di sampingnya. Namun suara ketukan itu tidak terdengar lagi.

Kamalla menggerakkan tubuhnya dan berbaring menghadap plafon juga. Gadis itu menghela napas panjang.

"Gue ngerasa ada yang aneh deh, Jen."

Jenny menolehkan pandangannya ke arah Kamalla. "Aneh gimana La?"

"Mulai dari kucing hitam yang aneh pas gue dijemput Monik sore tadi, ketukan pintu sebelum Kia datang, ketukan barusan," Kamalla terdiam sejenak lalu menoleh ke arah Jenny. "Pas di meja makan tadi, gue nggak tau apa yang gue rasain, Jen."

Kini Jenny bangkit dari posisinya kemudian bersandar pada kepala dipan kayu. "Maksud lo gimana La? Gue nggak ngerti."

"Gue ngeliat bayangan hitam di belakang Monik pas acara makan tadi. Tapi cuma sekelebatan aja. Seumur hidup, gue nggak pernah ngalamin hal kayak gini."

Jenny menautkan kedua alis tebalnya. "Nggak mungkin 'kan kalau semua ini ulah Monik?"

"Gue nggak tahu Jen. Tapi gue emang ngerasa ada yang beda dari Monik."

"Masa iya sih Monik? Gue tahu dia rada gila soal Radhit, tapi kayaknya nggak mungkin seorang Monika main-main sama hal kayak gini."

"Iya juga sih Jen."

"Tapi tunggu deh," Jenny menatap ke arah Kamalla dengan ekspresi menelisik. "Pas jam istirahat tadi siang, lo ngomongin apa sama dia di koridor kelas?"

"Dia cuma minta gue supaya ninggalin Radhit."

"Dia ngasih lo sesuatu nggak? Makanan atau apapun kayak yang dibilang Kia?"

Kamalla menggelengkan kepalanya dengan mantap. Tapi sejurus kemudian kedua manik matanya menoleh ke arah lain. Dia ingat sesuatu.

"Tapi mungkin nggak sih!?" gumam Kamalla.

"Apa La?"

"Lo sadar nggak Jen, selama ini gua nggak pernah bersentuhan fisik sama Monik!? Sekalipun dia lagi ngelabrak gue. Mungkin lihat gue aja jijik."

Jenny mengangguk beberapa kali tanda setuju. "Terus?"

"Siang itu dia pegang pundak gue. Agak lama."

"Wah gila sih kalau emang benar dia ngelakuin ini. Nekad namanya!" seru Jenny kesal.

"Tapi gue masih nggak yakin, Jen."

"Tadinya gue juga nggak yakin, La. Si monyet itu yang ngelakuin ini."

Sekarang Kamalla duduk di atas kasur miliknya. Dia memandang wajah kesal sahabatnya.

"Lo pernah dengar pelet atau santet yang dikirim lewat perantara liur atau rambut dari korbannya?" tanya Jenny.

"Gue pernah baca soal itu. Tapi gue nggak sepenuhnya percaya sih."

"Berkaca dari apa yang lo alamin, harusnya lo percaya!"

Kamalla menatap wajah Jenny yang sudah tak terkontrol emosi. Pikirannya menerawang jauh dan berusaha meyakinkan diri bahwa Monika tidak mungkin segila itu.

Bersambung...

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!