Masa Lalu Ibu [Lima Belas]

Malam itu menjadi malam yang panjang dan penuh kekecewaan untuk Kamalla. Dalam hatinya masih belum sepenuhnya yakin bahwa laki-laki yang dia temui itu bukanlah Hanza. Larut dalam rasa kecewa membuat Kamalla tak menyadari bahwa makanan yang dia pesan di angkringan tepi jalan itu sudah menunggunya sejak tadi.

"Kalau nggak mau dimakan, buat saya aja ya," ejek Bara sambil menarik piring di hadapan Kamalla yang berisikan ayam goreng dan nasi putih itu. Sadar tak mendapat respon, laki-laki itu menyodorkan selembar kol segar ke bibir Kamalla.

"Makan sayur dulu biar nggak lesu," kata Bara. Namun gadis di hadapannya masih mematung, membuat Bara bingung harus berbuat apa lagi. "Apa kita ke sana lagi untuk mastiin kalau itu benar anak Pak Dirga?"

"Nggak usah. Besok pagi kita pulang aja."

"Gitu dong jawab," ujar Bara. "Kalau emang nggak mau ke sana lagi, sekarang makan dulu. Ntar nangis tuh nasinya."

"Bar, apa mungkin keluarga Pak Dirga udah pindah ya?" tanya Kamalla sembari melahap suapan pertamanya.

Bara menjawab dengan menaikkan kedua bahunya. "Udah coba hubungi nomor telepon yang ada di kertas itu?"

"Udah. Sebelum berangkat ke sini, gue udah berkali-kali hubungi tapi nggak pernah diangkat."

"Berarti kita ke sini modal nekad?"

"Maaf ya. Dari awal gue kenal lo, kayaknya gue ngerepotin lo terus."

"Ya nggak apa-apa sih," ujar Bara sambil tersenyum licik. "Asal ada bayaran yang setimpal aja."

"Maksud lo?"

"Traktir saya angkringan ini," jawab Bara seraya menaikkan kedua alisnya. Kamalla tertawa melihat tingkah laki-laki di hadapannya.

"Beres kalau soal itu."

"Saya cuma bercanda."

Mereka kembali melanjutkan makan setelah tawa selesai.

"Ngomong-ngomong malam ini kita mau menginap dimana?" tanya Kamalla.

"Kamu bisa saya sewakan penginapan dekat sini. Kalau saya sih gampang, bisa tidur dimana aja."

"Gue ada uang kok, semoga ada penginapan yang murah di sekitar sini."

"Kalian menginap di rumah saya aja," ujar seorang pria yang entah sejak kapan berdiri tepat di sebelah gerobak angkringan.

Kedua remaja yang sedang menikmati santap malam itu sontak saling bertukar pandang satu sama lain.

...****************...

"Untung aja kita belum sempat pulang," ujar Kamalla seraya turun dari boncengan motor Bara ketika tiba di depan rumah Hanza.

"Kalau bukan karena Ibu, saya nggak akan balik lagi untuk cari kalian," jawab Hanza setelah selesai memarkirkan motornya di tempat semula. "Motormu bisa taruh di sini."

Bara mengangguk patuh seraya mendorong motornya dan memarkirkan di samping motor Hanza.

"Biarpun tampang Mas sangar, tapi tetap patuh pada orangtua."

Kamalla yang mendengar ucapan Bara barusan langsung memberikan tatapan mengintimidasi ke arah Bara.

Untuk ukuran pria yang baru beranjak dewasa, Hanza memang terlihat berwibawa. Apalagi dengan dua alisnya yang tebal dan tatapan tajam, membuat siapapun orang yang berhadapan dengannya enggan untuk menyapa.

Tanpa memperdulikan ucapan Bara barusan, Hanza membuka pintu dan mempersilahkan mereka untuk masuk ke ruang tamu. Di sana tampak wanita paruh baya dengan tatanan rambut yang hanya digelung menggunakan jedai sudah menunggu kedatangan mereka.

"Ini Ibu saya," kata Hanza.

Wanita itu perlahan berjalan mendekati Kamalla dengan raut wajah yang begitu sendu. Kedua tangannya yang terlihat masih terawat itu menyentuh pipi gadis di hadapannya.

"Cantik sekali, kamu sudah besar rupanya," ujar wanita itu, kemudian dia memeluk Kamalla beberapa saat. "Bagaimana kabar Ibumu? Apa beliau sehat?"

Malam itu tak banyak informasi yang didapat oleh Kamalla terkait keluarganya mengingat waktu sudah semakin larut. Wanita itu hanya menceritakan alasan kepindahan mereka ke Semarang lantaran tuntutan pekerjaan dari Pak Dirga. Selain itu, alasan meninggalnya Pak Dirga disebabkan oleh penyakit jantung yang menyerangnya.

Pagi harinya, Kamalla sibuk membangunkan Bara yang masih terkapar di sofa ruang tamu. Namun laki-laki itu terus saja mengelak dan melanjutkan tidurnya.

"Udah biarin aja, mungkin dia lelah setelah perjalanan kemarin," ujar Hanza dari arah dapur dengan dua gelas teh panas di tangannya. "Ini buat kamu."

Setelah meletakkan satu gelas teh--yang dikhususkan untuk Bara--di atas meja, Hanza mengajak Kamalla untuk mengobrol di teras.

"Jadi apa yang buat kalian jauh-jauh datang ke sini?" tanya Hanza. "Pasti ada hal penting 'kan selain bersilaturahmi?"

"Saya cuma mau tahu soal keluarga saya, Mas."

Hanza hanya menautkan kedua alis tebalnya.

"Ibu nggak pernah cerita apapun soal keluarganya, terlebih lagi soal Ayah," lanjut Kamalla seraya menyesap teh miliknya kemudian menatap pria di sebelahnya. "Saya rasa cuma keluarga Mas Hanza yang mengenal keluarga saya cukup dekat."

"Ibu bilang, Bapak memboyong kami ke sini saat saya berusia genap lima tahun," ujar Hanza mengingat ucapan sang Ibu. "Jadi saya nggak inget apapun, Ibu pasti jauh lebih tahu."

"Hanza, suruh Nak Kamalla dan temannya sarapan dulu," panggil sang Ibu dari arah dapur.

...****************...

"Lain waktu, ajak Ibumu ke sini. Sudah lama sekali rasanya, pasti Ibumu masih secantik dulu," ujar wanita paruh baya itu setelah semuanya selesai menyantap sarapan pagi. "Atau sekalian pas kirim undangan pernikahan kalian?"

Kamalla dan Bara nyaris berbarengan tersedak air minum.

"Bu, sebetulnya ada yang mau Kamalla tanyakan," ujar Hanza tanpa basa-basi.

"Oh ya? Apa Nak?" tanya wanita itu kepada Kamalla.

"Soal Ayah saya," ujar Kamalla sedikit ragu. "Ayah saya orangnya gimana Bu?"

Wanita itu menyapu pandangannya ke arah Hanza, kemudian melempar senyuman kepada Kamalla.

"Ayah kamu itu pasti orang yang baik, itu terbukti dari aura yang kamu punya. Pasti nurun dari Ayahmu."

"Ibu pernah ketemu Ayah saya?" tanya Kamalla lagi karena merasa tak puas dengan jawaban yang barusan dia terima.

Wanita itu diam cukup lama, kemudian menghela napas panjang. Seperti ada keraguan dalam dirinya.

"Ibumu sama sekali nggak pernah cerita?"

Kamalla menggeleng pelan.

"Ibu akan cerita, tapi kamu harus janji satu hal. Karena apapun yang Ibumu lakukan, itu semua pasti untuk kebaikanmu," ujar Ibu Hanza seraya meremas tangan Kamalla dengan lembut. "Kamu janji ya harus tetap sayang sama Ibu kamu."

Kamalla kembali mengangguk, kali ini begitu mantap dari sebelumnya.

"Usia Hanza waktu itu mungkin sekitar tiga atau empat tahun waktu kamu dan Ibumu pertama kali menempati rumah itu," ujar Ibu Hanza. Suasana mendadak hening kala itu, semua yang berada di meja makan fokus menyimak ucapan dari wanita itu seolah-olah mereka ikut masuk kedalam kisah itu.

Wanita paruh baya itu mengatakan bahwa pada saat awal Kamalla dan Ibunya menempati rumah itu, ada seorang pria sebaya dengan Ibunya yang membantu. Bahkan pria muda itu rutin berkunjung di beberapa bulan awal kepindahan mereka.

"Ibu nggak tahu siapa pria muda itu, karena Ibumu sangat tertutup," lanjut wanita itu. "Tapi setelah pria itu lama nggak berkunjung, barulah Ibumu mulai membuka diri dengan keluarga kami. Meskipun masih ada batasan, karena keluarga kami juga nggak mau terlalu ikut campur urusan keluarga orang lain."

"Apa mungkin pria yang rutin berkunjung itu adalah Ayah saya?"

"Ibumu cuma bilang kalau pria itu adalah kerabatnya. Selebihnya, dia nggak bercerita lebih jauh kerabat dari mana."

Pikiran Kamalla mulai diliputi rasa khawatir. Apakah pria itu memang benar Ayah kandungnya dan sengaja meninggalkan mereka? Atau selama ini dia hanya anak dari hubungan gelap dari Ibu dan pria asing itu?

"Selama ini memangnya nggak pernah ada yang menyambangi kamu dan Ibumu?"

Kamalla menggeleng. "Kalau pun ada, mungkin Ibu nggak akan mempertemukan saya dan orang itu. Selama ini saya cuma berdua sama Ibu."

Meskipun tak banyak informasi yang Kamalla dapat soal Ayahnya, setidaknya sekarang dia semakin yakin bahwa ada sesuatu yang Ibunya sembunyikan darinya. Tugas Kamalla kali ini adalah mencari tahu siapa sosok pria yang membantu sang Ibu diawal kelahirannya. Terlebih lagi soal kepergian sang Ibu yang mendadak, Kamalla berpikir pasti ada hubungannya dengan semua ini.

Satu hal lagi, Kamalla masih penasaran perihal sosok Pak Tua yang tempo hari menerornya di rumah dan mengapa keluarga Pak Dirga membiarkan rumahnya itu kosong tak berpenghuni sampai saat ini.

Bersambung...

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!