Sosok Hitam [Sebelas]

"Jadi lo tahu dari mana kalau gue lagi sedih?"

"Dari awal saya ketemu kamu, muka kamu udah kelihatan sedih," balas Bara. "Suram. Persis kayak langit sore waktu itu."

Sore itu Bara mengajak Kamalla ke suatu tempat. Sebuah taman yang terletak di pinggiran kota. Keduanya duduk di salah satu bangku taman yang menghadap langsung ke arah danau.

"Mas, kopinya," ujar seorang laki-laki paruh baya dengan dua buah es kopi di kedua tangannya.

"Terima kasih Pak," kata Bara seraya menyambut kedua minuman yang di letakkan dalam wadah gelas plastik itu. "Yang satu sesuai request tanpa gula 'kan Pak?"

"Lah 'kan gulanya udah nyampur, Mas!?"

"Oh iya. Lupa saya, Pak."

Kamalla yang mendengar itu hanya tersenyum.

"Ramai nggak Pak hari ini?" tanya Bara basa-basi kemudian meletakkan dua buah gelas itu ke atas bangku taman.

"Ya namanya juga jualan Mas, ada pasang surutnya lah."

Bara mengangguk paham kemudian merogoh saku celananya.

"Saya bayar duluan. Berapa Pak?"

"Biasa. Sepuluh ribu, Mas."

"Kembalinya buat Bapak," ujar Bara sambil menyodorkan selembar uang lima puluh ribu.

"Serius ini Mas?"

"Ya udah kembali empat lima," sahut Bara.

"Tekor dong saya."

"Ya makanya Bapak ambil semua," lanjut Bara sambil tersenyum.

"Wah makasih banyak ya Mas," ujar laki-laki tua penjual minuman asongan itu dengan senyum sumringah. "Saya doakan semoga Mas sama Mba berjodoh."

Kamalla dengan cepat menggelengkan kepalanya ketika mendengan ucapan laki-laki itu. Sementara Bara hanya terkekeh geli.

Setelah penjual itu berlalu, Bara kembali duduk di samping Kamalla yang tampak sedang merenung memandangi air danau.

"Jangan dimasukin ke hati, Bapak itu cuma spontan aja ngomong begitu," ujar Bara kemudian menyedot es kopi miliknya.

"Gue cuma masih kepikiran."

"Apa?"

"Dari mana lo tahu kalau gue lagi sedih hari ini?"

"Oh itu," Bara diam sejenak. "Insting."

Kamalla memandang laki-laki di hadapannya dengan tatapan menelisik. "Lo nguntit gue ya?"

"Buat apa?"

Gadis itu diam sambil menerawang.

"Karena saya suka sama kamu?" tanya Bara lagi. "Saya nggak segila itu. Lagian kita baru kenal, masa iya saya langsung naksir orang secepat itu."

"Ya terus lo tahu dari mana? Datang-datang bawa cokelat segala."

"Kalau saya niat mau nguntit kamu, udah dari awal saya lakuin."

Kamalla tak mendebat lagi. Dia hanya diam sambil menyesap es kopi miliknya.

"Saya cuma khawatir sama kamu," lanjut Bara. Nyaris membuat gadis di sebelahnya tersedak. "Justru tujuan saya nemuin kamu, ada yang mau saya kasih tahu. Sebenarnya bukan saya yang nguntit kamu, tapi dia."

"Dia? Maksud lo dia siapa?" tanya Kamalla bingung.

"Ini kamu pura-pura nggak tahu atau beneran nggak tahu?"

"Gue nggak tahu," kata Kamalla. "Siapa yang nguntit gue?"

Bara menyesap es kopinya sampai setengah dari gelas itu. Kedua manik matanya menatap wajah Kamalla dengan serius.

"Ada sesuatu yang terus ngikutin kamu," kata Bara. "Sosok yang jahat."

Mendengar kalimat itu, Kamalla menelan ludahnya lamat-lamat.

"Tapi kamu nggak perlu takut," lanjut Bara seraya memandang ruang kosong di belakang gadis itu. "Meski auranya jahat, kayaknya dia nggak akan nyakitin kamu."

Kalimat yang diucapkan Bara barusan tetap tak membuat tenang hati Kamalla. Biar bagaimanapun, sosok itu adalah sosok tak kasat mata yang mungkin saja suatu saat bisa menyakitinya.

"Kenapa lo bisa yakin kalau dia nggak akan nyakitin gue?" tanya Kamalla penasaran.

"Dia ada karena kiriman dari seseorang," kata Bara lagi. "Saya nggak tahu apa tujuannya, yang jelas dia cuma perantara dari orang itu."

"Tunggu deh. Gue nggak ngerti. Maksudnya gimana?" tanya Kamalla frustasi. "Tadi lo bilang khawatir sama gue, tapi lo juga bilang kalau sosok itu nggak akan nyakitin gue."

"Dia emang nggak akan nyakitin kamu, tapi yang bahaya adalah orang dibalik sosok itu. Karena sosok itu cuma boneka yang kapan aja tuannya mau, dia akan turutin," jelas Bara. "Tapi sejauh ini yang saya lihat, sosok itu nggak ada niat untuk nyakitin kamu."

Kamalla menghela nafasnya dengan frustasi. Satu hal yang terlintas di pikirannya saat ini, Monika.

"Ada yang mau gue tanya lagi," ujar Kamalla. "Gue nggak tahu dugaan gue selama ini benar atau salah. Tapi apa yang lo lihat ini sosoknya hitam dengan kedua mata merah?"

Bara mengangguk dengan mantap. Sementara Kamalla menyandarkan tubuhnya dengan lemas seraya memandang ke arah mentari yang perlahan tenggelam, menyisakan cahaya berwarna oranye di atas langit sore itu.

...****************...

Malam harinya, Kamalla gelisah tak bisa tidur. Sebesar apapun usahanya untuk memejamkan mata, dia tetap masih terjaga. Kedua sahabatnya, Monik, hubungannya dengan Radhit, dan terlebih lagi ucapan Bara sore itu, semuanya terus terlitas di pikirannya.

Usai bergumul dengan isi kepalanya, Kamalla memutuskan bangkit dari kasur. Dia duduk di tepi kasur lalu mengeluarkan selembar foto--yang dia ambil dari rumah kosong--dari laci meja riasnya. Kedua manik matanya terus memperhatikan kain gendongan bayi di foto itu. Sampai tiba-tiba udara dingin menyelimuti isi kamarnya.

Tatapan Kamalla yang semula lurus ke arah foto, kini bergerak ke kiri dan kanan dengan awas. Sejurus kemudian ekor matanya mendapati sosok hitam tengah berdiri di sebelah lemari pakaiannya. Bulu kuduk gadis itu meremang ketika sosok hitam di sudut ruang itu mengeluarkan suara geraman yang begitu berat dan mengerikan.

"GHRRRRMMMM!"

"Mau apa kamu?" tanya Kamalla dengan suara bergetar. Perlahan dia mulai memberanikan diri untuk menoleh ke arah sosok itu berada.

Untuk pertama kalinya Kamalla dapat melihat dengan jelas sosok hitam yang selama ini terus mengikutinya. Sosok itu berdiri di sudut kamar dengan tinggi nyaris menyentuh plafon. Seluruh tubuhnya dipenuhi bulu berwarna hitam pekat, mata merah menyala, lengkap dengan taring panjang.

Tubuh Kamalla seketika membeku. Tak ada sepatah kata yang bisa dia ucapkan karena mulutnya seolah terkunci seketika. Begitu juga dengan kedua matanya yang tak bisa dia lepaskan dari sosok hitam itu.

"Ibuuuu!" pekik Kamalla akhirnya, ketika menyaksikan sosok hitam itu menyeringai ke arahnya. Tubuh Kamalla yang semula kaku akhirnya berhasil dia gerakan. Tanpa menunggu waktu lama, gadis itu berhambur ke pintu kamarnya.

Sialnya, pintu itu mendadak jadi sulit sekali dibuka. Seolah ada sesuatu yang menahannya dari luar.

"Buuu! Ibuuuu!" teriak gadis itu lagi sambil terus berusaha membuka pintu kamarnya. Sesekali dia menoleh ke arah sosok hitam itu.

"Pulang," ujar sosok itu dengan suara berat. "Pulang."

Kamalla semakin panik ketika sosok itu perlahan mengulurkan tangan dengan jemari yang dipenuhi kuku panjang itu ke arahnya.

"Pulang!" ujar sosok itu lagi. Kali ini dengan suara yang cukup nyaring. Sementara kedua tanganya masih mengarah ke arah Kamalla seolah ingin meraihnya.

CTEK!

Pintu kamar akhirnya berhasil terbuka. Kamalla yang mendapati sang Ibu di luar sana, langsung berhambur ke pelukannya.

"Ada apa Nak?" tanya sang Ibu tak kalah panik. Sambil terus mendekap Kamalla, wanita itu menyapu pandangan ke seluruh kamar anaknya. Namun sosok itu sudah lenyap tanpa jejak.

Wanita itu memapah Kamalla yang masih gemetar untuk duduk di sofa ruang tamu.

"Minum dulu," ujar Rukmi seraya mengulurkan segelas air putih. "Kamu mimpi buruk?"

Usai menenggak segelas air sampai tandas, Kamalla menatap Ibunya. "Malla lihat sesuatu di pojok kamar."

"Ibu nggak lihat apa-apa barusan. Mungkin efek karena kamu masih belum sembuh total," ujar sang Ibu berusaha menenangkan.

"Tapi aku ngelihat dengan jelas, ada makhluk aneh di kamar ku," bantah Kamalla.

Wanita paruh baya itu hanya tersenyum sambil mengelus puncak kepala anaknya. "Gimana kalau malam ini kamu tidur sama Ibu? Biar Ibu jagain kamu."

Kamalla mengangguk tanda setuju. Sementara itu, senyum Rukmi perlahan berganti dengan raut bingung ketika mendapati selembar foto yang tergeletak di meja.

"Kamu dapat foto ini dari mana?" tanya Rukmi lalu mengambil selembar foto itu.

Gadis itu diam memutar otak. Jika dia jujur kepada Ibunya terkait foto itu, pasti Ibunya akan marah.

"Nggak sengaja nemu waktu aku beresin rak buku," ujarnya dusta. Jelas hal itu tidak masuk akal.

"Oh mungkin Ibu lupa kalau Pak Dirga pernah ngasih foto ini," ujar Rukmi, membuat Kamalla bisa bernapas lega. Rukmi masih memperhatikan setiap detail dari foto itu. "Sebelum foto ini diambil, kamu nangis terus. Mungkin bingung kali ya karena banyak orang."

"Sedekat apa Ibu sama keluarga Pak Dirga?" tanya Kamalla tiba-tiba.

"Keluarga Pak Dirga itu keluarga yang baik. Sejak Ayahmu pergi, mereka banyak membantu Ibu," jawab sang Ibu. "Mungkin karena kasihan melihat Ibu cuma tinggal berdua sama kamu."

"Berarti mereka kenal Ayah?"

Sang Ibu terdiam sejenak. "Ya, kenal."

Kamalla mengangguk pelan kemudian menatap sang Ibu. "Bu."

"Ya?"

"Selain istri dan anak Pak Dirga, apa ada lagi yang tinggal di sana?"

"Seingat Ibu, mereka cuma tinggal bertiga di rumah itu," ujar Rukmi. Melihat raut wajah Kamalla yang tampak keheranan, wanita paruh baya itu kembali bertanya. "Memangnya kenapa?"

"Ah nggak, Bu. Kamalla cuma tanya aja."

"Ya sudah. Ayo tidur, Nak."

Kamalla hanya mengangguk lalu mengekor di belakang sang Ibu ke kamarnya. Dalam benak gadis itu masih ada pertanyaan besar terkait hantu Pak Tua yang tempo hari dia temui. Apakah ada hubungannya sosok Pak Tua itu dengan keluarga Pak Dirga? Terlebih lagi, Kamalla baru tahu ternyata Pak Dirga mengenal Ayah.

Bersambung...

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!