Sebuah Petunjuk [Dua Belas]

Sore itu bell tanda pulang sekolah berbunyi. Seluruh siswa SMA Pelita Bangsa berhamburan meninggalkan kelas. Namun di kelas sebelas IPA satu, seorang gadis tampak masih mengepak buku pelajarannya kemudian dia masukkan ke dalam tas.

Sejak kejadian kemarin, baik Jenny maupun Kia tak ada yang menyapa Kamalla. Bahkan yang lebih parahnya, Jenny yang merupakan teman sebangku Kamalla, memutuskan bertukar tempat duduk. Jelas hal itu membuat hati Kamalla bersedih. Mungkin kesalahan yang dia perbuat bisa dibilang cukup fatal karena sudah mencederai sahabatnya sendiri, tapi baginya kesalahan itu bukan murni disengaja. Dia masih ingat dengan jelas bagaimana secara tiba-tiba tangannya dengan reflek mendorong Kia, dan juga soal tendangan bola itu.

"La.." panggil Kia yang saat itu masih berada di dalam kelas. Namun sebelum sempat Kamalla menyahut panggilan itu, teriakan Jenny dari sudut kelas berhasil menghentikannya.

"Ayo Ki," panggil Jenny. Kedua matanya melirik tajam ke arah Kamalla, kemudian pandangannya beralih kepada seorang gadis cantik yang berdiri di ambang pintu kelas.

"Malla!" sapa gadis cantik itu sambil berjalan menghampiri Kamalla yang sudah mengenakan tasnya.

"Mereka cocok jadi teman," sindir Jenny sambil menarik lengan Kia.

Kamalla hanya diam menatap kedua sahabatnya berlalu begitu saja.

"Lo udah terima tart mini dari gue belum?" tanya Monika.

"Udah. Thanks ya, Nik," kata Kamalla dengan senyum hambar. "Tapi lo ngapain tiba-tiba ngasih gue itu?"

"Lo 'kan udah berbaik hati ngundang gue makan malam waktu itu, masa gue nggak ngasih apa-apa buat yang lagi ulang tahun."

"Harusnya lo nggak perlu repot-repot, Nik."

"Nggak kok. Emang kebetulan kemarin nggak sengaja lewat aja ke toko kue langganan keluarga gue," ujar Monika seraya duduk di hadapan Kamalla. "Pas banget gue keinget lo, jadi gue mampir buat beli."

Kamalla hanya membalasnya dengan seulas senyum.

"Gue dengar lo putus sama Radhit," kata Monika. "Benar La?"

Kamalla hanya diam sambil menatap gadis di hadapannya.

"Gue sengaja kasih lo tart cokelat, katanya cokelat bisa naikin mood," lanjut Monika.

"Itu 'kan yang lo mau? Lihat gue putus sama Radhit." ujar Kamalla mengesampingkan masalah tart itu.

Monika tampak menghela napasnya.

"Jujur ya La. Selama ini gue berusaha buat ngejauhin lo dari Radhit, bukan karena gue ada niat jahat sama lo," ujar Monika. "Gue cuma nggak mau nasib lo sama kayak gue. Radhit itu cowok nggak benar."

"Terus maksud lo nerror gue dengan ngirim hal aneh itu apa?" tanya Kamalla akhirnya.

"Nerror?" Monika menautkan kedua alisnya bingung. "Maksud lo?"

"Lo 'kan yang ngirimin gue makhluk itu buat ganggu gue?"

"Gue benar-benar nggak ngerti maksud lo," ujar Monika frustasi. "Makhluk? Apa maksud lo?"

"Semenjak terakhir lo nemuin gue di koridor, gue ngerasa ada hal aneh yang terus nerror gue," jawab Kamalla. "Lo benar-benar nggak ngelakuin apapun ke gue?"

"Astaga Kamalla. Lo tuh terlalu berpikiran buruk soal gue terus. Nggak mungkin lah gue segila itu."

Jika bukan Monika pelakunya, lalu siapa dalang dibalik terror-terror ini? Benak Kamalla.

"Setahu gue, orang yang main-main sama hal kayak gitu taruhannya nyawa," jelas Monika. "Mana mungkin gue ngelakuin itu cuma buat dapatin Radhit."

"Maafin gue ya udah nuduh lo yang nggak-nggak, Nik." ujar Kamalla akhirnya. Meski belum sepenuhnya percaya, Kamalla juga belum punya cukup bukti yang dapat memberatkan Monika.

...****************...

Sesampainya di rumah, Kamalla tak mendapati sang Ibu berada di sana. Dia hanya menemukan secarik kertas di atas meja makan yang betuliskan pesan singkat dari sang Ibu untuknya. Isi dari pesan itu mengatakan bahwa Ibu hanya pergi untuk beberapa waktu karena ada keperluan yang harus dia selesaikan.

Pesan itu jelas membuat pertanyaan besar di benak Kamalla, karena tidak biasanya Ibu pergi dengan hanya meninggalkan sepucuk pesan singkat. Lagi pula keperluan apa yang sedang atau akan diselesaikan oleh Ibu?

"Apa benar dugaan gue selama ini kalau ada yang dirahasiakan dari Ibu ya?" gumam Kamalla yang saat itu tengah menikmati udara sore di teras rumahnya. Di tengah rasa bingung yang masih menyelimutinya, tiba-tiba kedua mata gadis itu dialihkan oleh sosok pria--kisaran usia di atas lima puluh tahun--tengah mengunci gerbang rumah Pak Dirga dari arah luar. Pria itu merupakan orang yang rutin membersihkan area pekarangan rumah kosong itu.

"Pak, tunggu!" teriak Kamalla seraya bergegas mengenakan sandal jepit miliknya. Gadis itu kemudian berjalan cepat menghampiri pria yang sama sekali tidak menghiraukan panggilannya.

Pria itu terus melangkahkan kedua kakinya meninggalkan rumah Pak Dirga serta Kamalla. Hal itu jelas membuat Kamalla bingung.

"Kok diam aja sih?" gumam Kamalla.

Gadis itu hanya mematung beberapa saat sambil memperhatikan setiap jengkal dari tubuh pria yang semakin jauh meninggalkannya. Kaki pria itu masih menapak. Dapat disimpulkan bahwa dia itu bukan hantu. Tanpa pikir panjang lagi, Kamalla memutuskan untuk membuntuti pria itu.

Kamalla yang saat itu masih mengenakan seragam sekolah, mengekor di belakang pria tua itu dengan jarak sekitar lima meter. Setelah keluar dari lingkungan area rumahnya, langkah Kamalla dituntun menyusuri beberapa gang sempit. Setelah gang ke tiga, pria tua itu masuk ke dalam sebuah rumah yang tampak sederhana dengan dipan anyaman bambu di terasnya.

"Cari siapa Neng?" sapa seorang wanita kepada Kamalla yang saat itu tengah berdiri di depan rumah itu. Satu tangan wanita itu menenteng sebuah kantong belanja berwarna hitam.

Setelah menjelaskan tujuannya, Kamalla dipersilahkan duduk di bale bambu itu lengkap dengan secangkir air putih di atasnya.

"Jadi tadi kamu ngikutin Bapak saya sampai sini?"

"Iya Bu. Abisnya Bapak diam aja pas saya panggil. Maaf ya."

"Nggak apa-apa Neng," ujar wanita yang terlihat seusia Ibu Kamalla itu. "Pendengaran Bapak memang sudah terganggu, namanya juga sudah umur."

Kamalla mengangguk sambil tersenyum.

"Jadi Neng Kamalla ini yang tinggal di depan rumah Pak Dirga?" tanya wanita yang terakhir diketahui bernama Marni itu.

"Iya Bu."

"Memangnya orangtua Neng nggak tahu soal Pak Dirga?"

"Kita nggak punya kotaknya sama sekali. Ibu saya cuma bilang kalau keluarga Pak Dirga itu banyak berbuat baik buat keluarga saya," ujar Kamalla. "Makanya saya mau cari tahu keberadaan keluarga Pak Dirga, sekedar bersilaturahmi aja."

"Oh begitu."

"Kalau Ibu punya nomor telepon Pak Dirga, apa saya boleh minta Bu?"

"Pak Dirga sudah meninggal dunia satu tahun yang lalu, Neng," ujar wanita itu. Kamalla seketika terenyuh mendengar ucapan Bu Marni barusan. "Tunggu sebentar ya."

Wanita paruh baya itu masuk ke dalam rumah. Tak lama setelah itu dia kembali dengan secarik kertas di tangannya.

"Ini alamat tempat tinggal keluarga Pak Dirga dan nomor telepon anaknya, Nak Hanza," ujar Bu Marni sambil meletakkan secarik kertas itu di atas bale bambu. "Neng bisa hubungi Nak Hanza, karena sejauh ini cuma Nak Hanza yang rutin berkomunikasi dengan keluarga kami."

"Terima kasih banyak ya, Bu Marni."

"Sama-sama, Neng."

"Kalau begitu saya pamit pulang ya Bu."

"Nggak nunggu nanti aja? Ini sudah mau maghrib," tawar Bu Marni. "Pamali anak gadis keluyuran jam segini."

"Nggak apa-apa Bu, 'kan rumah saya nggak jauh dari sini."

"Ya sudah kalau begitu. Hati-hati, Neng."

Setelah berpamitan, Kamalla meninggalkan rumah itu dengan secarik kertas di tangannya. Senyumnya terpancar lantaran ada jalan untuknya agar dapat mengetahui informasi tentang keluarganya.

...****************...

Langit sudah begitu gelap dan kumandang adzan maghrib saling bersahutan ketika Kamalla kembali di teras rumahnya.

"Bara, lo besok kerja nggak?"

"Bengkel mana ada liburnya?" Bara bertanya balik dari seberang telepon.

"Yah," keluh Kamalla kecewa.

"Kalau buat kamu, bisa lah diatur."

Kamalla memutar bola matanya.

"Emang ada apa?"

"Besok gue ada rencana buat ke Semarang," ujar Kamalla seraya masuk ke dalam rumah dan menyalakan sakelar lampu ruang tamu. "Lo bisa temanin gue nggak?"

"Saya bisa izin sama si bos sih. Tapi kamu mau ngapain tiba-tiba ke Semarang?"

Kamalla tak merespon pertanyaan Bara barusan ketika mendengar sebuah besi saling beradu dari arah dapur. Suara itu terus terdengar dengan ritme yang stabil.

Tek!

Tek!

Tek!

"Halo?" panggil Bara ketika menyadari tak ada jawaban dari Kamalla.

"Besok gue jelasin. Jam tujuh pagi kita berangkat dari sini ya."

Setelah memutus percakapan telepon itu, Kamalla berjalan lurus dengan perlahan ke arah dapur yang saat itu masih temaram karena hanya mendapatkan pantulan cahaya dari ruang tamu.

"Ibu sudah pulang?" tanya Kamalla.

Tek!

Tek!

Tek!

Suara itu berhenti ketika Kamalla sampai di dapur. Tepat di depan sink, tampak sosok pria berpakaian serba putih sedang berdiri membelakangi Kamalla. Sontak hal itu membuat bulu kuduk Kamalla meremang sejadi-jadinya. Tanpa perlu melihat wajahnya, Kamalla tahu betul siapa sosok itu. Sosok itu merupakan sosok hantu Pak Tua yang tempo hari dia temui di rumah Pak Dirga.

"Jangan ganggu saya," ujar Kamalla dengan suara bergetar.

"Kalian datang ke rumah saya tanpa izin," ujar sosok itu dengan suaranya yang parau. "Saya merasa terganggu."

"Ma-maafkan saya dan teman-teman saya karena sudah lancang."

Tubuh Kamalla seketika bergetar ketika sosok Pak Tua itu membalikan tubuhnya yang tampak menakutkan. Sosok itu menatap nanar ke arah Kamalla dengan sebilah pisau di tangannya.

Kamalla menelan ludahnya sambil mundur perlahan. Namun semakin Kamalla mundur, hantu Pak Tua dengan leher penuh luka itu semakin mendekat. Kali ini pisau yang dia pegang diarahkan tepat menunjuk Kamalla.

Bersambung...

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!