Sebuah Pesan [Dua Puluh]

"Wah Tante ternyata bisa bawa motor juga?" seru Bara ketika Rukmi memarkirkan motornya si sebelah teras.

"Namanya juga orangtua tunggal, jadi harus serba bisa."

"Biar saya bantu Tante," Bara mengangkat belanjaan Rukmi sebelum wanita itu menolak.

"Ini Ibu belikan camilan pasar buat Nak Bara," wanita paruh baya itu meletakkan sekantung camilan di atas meja teras.

"Wah jadi ngerepotin, Tante."

"Buat Malla nggak ada Bu?" sungut Kamalla.

"Iri aja nih, Tante 'kan belinya buat saya, bukan buat kamu," ujar Bara setelah meletakkan dua kantung belanjaan di atas kursi kosong.

"Buat Kamalla juga, Ibu beli banyak kok. Ada kue cucur kesukaan kamu," ujar sang Ibu sambil tersenyum. "Nak Bara suka kue cucur?"

"Kue cucur?" Bara mengerutkan dahinya.

"Gaya banget sih lo, nggak tahu ke cucur."

"Emang nggak tahu. Tapi lucu juga namanya, kayak nama penyanyi dangdut. Cucur Cahyati."

Kamalla dan Ibunya tertawa mendengar itu.

"Nak Bara tahu juga penyanyi itu? Itu 'kan sudah lama banget."

"Tahu lah Tante, bos saya sering mutar lagunya kalau di bengkel," Bara mengunyah sepotong kue cucur itu. "Wah enak juga ternyata."

"Dihabiskan kalau begitu. Kapan waktu, biar Ibu yang buatin untuk Nak Bara," wanita paruh baya itu mengambil kantong belanjanya. "Ibu mau masak dulu ya."

"Tumben belanjanya banyak banget Bu?" tanya Kamalla.

"Iya, kamu sendiri yang bilang kalau Nak Hanza dan Bu Indah akan datang siang ini. Masih mudah sudah pikun," wanita itu menghentikan langkahnya di ambang pintu. "Omong-omong, kamu tahu nomor telepon Nak Hanza dari mana?"

Kamalla terdiam lalu melirik Bara yang tengah asik melahap kue cucur ke empat. "Dari...."

"Twitter," timpal Bara. "Twitter, please do your magic! Nanti pasti akan ketemu orang yang kita cari."

"Oh ya? Ibu baru tahu ada hal semacam itu."

Bara menjelaskan panjang lebar terkait aplikasi yang sekarang telah berganti nama itu. Sementara Kamalla hanya terkekeh geli melihat tingkah konyol Bara yang menjelaskan apa-apa saja yang ada di sana. Meskipun penjelasannya terkesan dilebih-lebihkan, namun hal itu berhasil mengalihkan Ibu untuk tidak bertanya terkait alasan Kamalla mencari keluarga Pak Dirga.

...****************...

"Ini lihat," Kamalla menyerahkan selembar foto kepada Bara setelah memastikan sang Ibu yang mulai sibuk di dapur. Potret ketika dirinya masih bayi itu mulai diperhatikan oleh Bara.

"Apa petunjuknya?"

"Pertama, gue dapat foto ini dari kotak yang disimpan sama Ibu. Dan kotak itu persis kayak yang ada di mimpi gue kemarin."

"Mimpi yang sama?"

Kamalla mengangguk. "Kedua, kain jarik itu."

"Kain jarik yang di foto waktu itu?"

"Iya, dan yang ketiga, tulisan dibalik foto itu."

Bara mulai membalik secarik foto itu. Dibalik foto itu terdapat sebuah pesan singkat.

Buah hati pertamaku, Agni Kamalla Rembayang.

Kelak kau akan tumbuh menjadi anak yang cantik dan pemberani layaknya namamu. Terima kasih sudah memilih Ayah dan Ibu sebagai orangtuamu. Kami sangat mencitaimu.

Ruyuk Tepus, Agustus, 2006.

"Ruyuk Tepus?" gumam Bara.

"Kalau gue lihat dari maps, itu nama sebuah desa yang ada di selatan provinsi kita. Apa mungkin Ibu gue sebenarnya berasal dari daerah sana?"

"Bisa jadi. Karena dilihat dari nama tempatnya aja pakai bahasa Sunda," Bara menyerahkan foto itu. "Terus tulisan ini siapa yang buat?"

"Yang jelas, ini bukan tulisan Ibu. Bisa jadi ini tulisan Ayah."

"Perjalanan baru lagi nih?" Bara menaikkan alisnya.

"Tapi gue nggak mau jauh-jauh kesana, ternyata nggak dapat hasil apa-apa."

"Apa salahnya dicoba," Bara meyakinkan gadis itu. "Atau kamu mau mastiin ke Tante dan izin buat ke sana?"

"Ibu nggak mungkin ngasih izin. Soal foto ini aja, Ibu nggak pernah cerita."

"Ya udah," Bara bangkit dari duduknya. "Kamu pikirin dulu baiknya gimana, nanti kabarin saya. Saya harus ke bengkel sekarang, takut si bos nyariin."

"Bu, Bara mau pamit," panggil Kamalla.

"Iya Nak, bilang hati-hati ya. Ibu lagi repot di dapur," teriak sang Ibu dari arah dapur.

"Bara pamit ya Tante."

"Iya Nak Bara. Hati-hati."

Bara sudah mulai menyalakan mesin motornya. Namun tatapannya bingung ketika melihat Kamalla yang tampak gusar.

"Jangan dipikirin sekarang, 'kan nggak harus buru-buru juga ke sana," ujar Bara.

"Bukan soal itu."

"Terus soal apa?"

"Nanti aja deh. Gue mau bantuin Ibu di dapur, lagian lo juga udah mau berangkat kerja. Nanti lo dipecat lagi."

Bara akhirnya berlalu meninggalkan pertanyaan yang masih menggantung di kepala Kamalla. Ucapan Radhit kemarin ternyata masih membayangi gadis itu. Meskipun hubungan antara Bara dan Kamalla hanya sebatas teman, gadis itu hanya tidak ingin menambah masalah baru. Cukup soal Radhit dan Monika saja. Biarlah hubungannya dengan Bara tetap seperti ini.

...****************...

"Rasanya baru kemarin Nak Hanza lari-larian di pekarangan," Rukmi menatap pria di hadapannya dengan penuh kagum. "Sekarang sudah seganteng ini."

"Pusing kalau ingat itu Bu Rukmi," timpal Ibu Hanza. "Nyaris saja Hanza tertabrak motor tukang galon waktu dia lari ke tengah jalan."

Rukmi tertawa mengingat Hanza kecil. "Iya, demi menghindar dari Hanza, tukang galonnya sampai masuk selokan."

"Silahkan tehnya Bu, Mas Hanza," Kamalla meletakkan dua cangkir teh hangat di atas meja tamu kemudian memeluk nampan yang dia bawa.

"Silahkan Bu Indah, Nak Hanza jangan malu-malu. Anggap aja rumah sendiri," ujar Rukmi beramah-tamah.

Rukmi dan Bu Indah kini beralih membahas masa kecil Kamalla. Baru kali ini dia melihat sang Ibu bisa tertawa lepas ketika mengolok dirinya waktu kecil. Hal tersebut membuat Kamalla tersipu malu lantaran Hanza ikut tertawa mendengar celotehan dua wanita paruh baya itu.

"Hanza permisi ke depan sebentar ya, mau cari angin," ujar pria muda itu ketika Kamalla kembali ke dapur dengan nampannya.

"Iya Nak Hanza, pasti kamu capek ya habis menepuh perjalanan jauh."

Hanza menatap lurus rumah masa kecilnya ketika sampai di teras. Kedua tangannya dibiarkan menyilang di dada. Sesekali dia mengela napas panjang teringat akan Ayahnya.

"Maafin saya ya Mas karena udah lancang masuk rumah Mas Hanza tanpa izin," ujar Kamalla yang berhasil memecah lamunan pria itu.

"Justru saya yang harusnya berterima kasih," timpal Hanza. "Kalau bukan karena keberanian kamu, mungkin saya nggak akan pernah tahu misteri apa yang sebenarnya tersimpan di sana."

"Memangnya Ibu Mas Hanza nggak pernah cerita?"

"Ibu cuma bilang kalau rumah itu adalah sumber malapetaka bagi keluarga saya. Saya skeptis sebetulnya sama hal semacam itu," Hanza menoleh ke arah Kamalla. "Sampai kejadian setahun lalu berhasil bikin saya akhirnya tahu kenapa Ibu selalu bersikeras melarang saya untuk ke sini."

"Ada apa Mas?"

"Sebenarnya sudah berkali-kali saya memasarkan rumah itu, tapi anehnya selalu gagal."

"Selama ini saya nggak pernah lihat ada palang tanda di jual di rumah itu."

"Justru itu," timpal Hanza. "Menurut informasi yang saya terima dari Bu Marni, anak dari penjaga rumah itu, palang yang seharusnya terpasang di pagar itu selalu hilang setiap kali Pak Burhan kembali untuk membersihkan pekarangan."

"Mungkin ada orang iseng yang buang, Mas."

"Orang iseng atau niat? Tiga kali loh saya pasang palang tanda dijual, tapi selalu raib entah kemana."

Kamalla mengerutkan dahinya bingung. "Mas Hanza udah pernah coba post di aplikasi lelang atau sejenisnya?"

"Ya, tentu pernah," Hanza tersenyum. "Bahkan saya sempat buat janji bertemu dengan calon pembeli pertama, tapi orang itu mendadak membatalkan dengan alasan kecelakaan. Saya kira itu hanya kebetulan, nyatanya kejadian itu berulang ke calon pembeli kedua."

Terkahir Hanza menjelaskan bahwa satu tahun yang lalu dia pernah menginap di rumah itu tanpa sepengetahuan Bu Indah. Dia juga sudah mempersiapkan palang baru untuk dipasang. Namun suatu malam sebelum dia memasang palang, kejadian aneh terjadi. Palang kayu itu terbakar dengan sendiri sebelum akhirnya menghantam dahi pria itu. Kamalla dibuat bergidik ngeri mendengar penjelasan itu.

"Saya harap dengan penemuan jasad itu, semuanya bisa kembali normal," imbuh Hanza.

"Apa Mas Hanza dan Bu Indah akan balik ke sini?"

"Nggak. Kasihan Ibu kalau harus pindah-pindah, Ibu juga sudah mulai sakit-sakitan. Lagi pula, kami sudah betah di Semarang."

"Nak Hanza, Kamalla, ayo makan dulu Nak!" panggilan Ibu Kamalla berhasil memecah obrolan sore itu.

Hanza dan sang Ibu meninggalkan hotel tempat mereka menginap tiga hari terakhir ini. Keduanya kembali ke Semarang setelah menjalani proses penyelidikan awal dan dimintai keterangan oleh pihak berwajib terkait penemuan kerangka mayat di rumah lamanya. Tak banyak informasi yang dapat mereka berikan kecuali tentang pemilik rumah sebelum mereka. Itu pun hanya sebatas nama, karena mereka tidak mengetahui informasi lebih perihal sang penjual rumah itu. Selama proses penyelidikan, garis polisi di rumah itu masih belum bisa dilepas.

Bersambung...

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!