Dijadikan Taruhan [Tujuh Belas]

Pagi harinya Kamalla terbangun dari tidur setelah memimpikan hal yang sama seperti beberapa waktu lalu. Layaknya sebuah cerita, kali ini mimpi itu memiliki kelanjutan. Meskipun wajah dari orang dalam mimpi itu terlihat samar, namun Kamalla masih ingat dengan jelas wanita yang terbangun dari pondokan di tengah hutan itu bertemu dengan seorang pria berperawakan tegap. Wanita yang masih mendekap sesuatu yang terbungkus kain jarik itu menerima sebuah kotak kayu jati yang diberikan oleh pria yang datang menemuinya.

"Mimpi itu lagi," gumam Kamalla seraya menyeka peluh yang mengalir di dahinya. Sambil mengatur ritme pernapasannya, Kamalla bangkit dari kasur kemudian bergegas untuk mandi.

Setelah gadis itu keluar dari kamar, dia mendapati pintu rumah sudah dalam keadaan terbuka lebar.

"Sudah bangun Nak?" panggil seorang wanita dari ambang pintu. "Cepat mandi, lalu habiskan sarapanmu."

Menyadari sang Ibu telah kembali, Kamalla bergegas menemuinya dan berhambur ke pelukan sang Ibu.

"Ibu kok pergi nggak bilang-bilang Malla?"

"Iya, Ibu ada keperluan yang harus Ibu selesaikan."

Kamalla melepas pelukannya dan hanya tersenyum kepada Ibunya tanpa mendebat. Dia khawatir Ibunya akan curiga jika terlalu banyak pertanyaan yang dia lontarkan.

"Ibu sakit ya?" tanya Kamalla ketika menyadari sang Ibu tampak tak seperti biasanya. Matanya sembab dan rambutnya dibiarkan terurai berantakan.

"Ibu cuma sedikit lelah aja," jawab Rukmi. "Sudah sana kamu mandi, nanti terlambat ke sekolah."

Gadis itu mengangguk patuh dan kembali ke dalam rumah untuk mandi.

Sebetulnya hari ini Kamalla tidak begitu perduli jika dia terlambat datang sekolah, karena hari ini merupakan final dari kompetisi futsal antar sekolah yang sempat disinggung oleh Radhit. Dia sama sekali sudah tidak perduli akan hal itu. Baginya saat ini yang lebih penting adalah soal sang Ibu dan rahasia yang disembunyikannya.

Mandi dan mengenakan seragam sudah selesai, kali ini Kamalla disibukkan dengan mencuci piring sisa sarapannya. Meskipun kedua tangannya sibuk membilas piring yang sebetulnya sudah bersih itu, pikirannya melayang mengingat mimpi tadi. Mimpi yang muncul untuk kedua kalinya itu dia yakini bukan sekedar bunga tidur biasa, melainkan sebuah petunjuk baru. Namun gadis itu masih belum bisa menebak siapa orang dalam mimpi itu dan apa arti dari itu semua.

Gadis itu meletakkan piring pada tumpukkan rak, kemudian berjalan dengan malas untuk mengambil tasnya yang masih menunggunya di kamar. Namun langkahnya terhenti ketika mendapati pintu kamar sang Ibu yang setengah terbuka. Kedua manik matanya dia sapu ke arah luar rumah. Sayup-sayup dia mendengar suara sang Ibu tengah melayani pembeli di luar sana. Tanpa sadar langkah kakinya menuntun dia sampai masuk ke dalam kamar itu.

"Belum berangkat?" tanya sang Ibu ketika Kamalla sudah berada diluar kamar itu.

"Baru selesai sarapan Bu, ini mau berangkat."

"Kunci motornya di teras ya, Nak."

"Aku hari ini naik angkot aja Bu kayaknya, soalnya ada tugas kelompok sore ini," jawab Kamalla dusta.

...****************...

Setelah diselingi setengah jam waktu istirahat, babak kedua dari pertandingan final futsal SMA Pelita Bangsa melawan SMA Tunas Merdeka 1 akhirnya di mulai. Sorak penonton dari luar jaring lapangan itu saling bersahutan memanggil nama jagoan masing-masing.

Sorak-sorai bergemuruh ketika Radhit dari tuan rumah berhasil menjebol gawang lawan membuat skor timnya unggul tiga poin. Di sela riuh penonton, Kamalla tengah berusaha merangsek keluar kerumunan siswa dan siswi itu. Sementara ponselnya terus saja berdering.

"Halo Bara?" gadis itu menutup sebelah telinganya ketika berhasil keluar dari kerumunan.

"Malla, sebaiknya kamu berhenti nyari tahu soal hantu Pak Tua itu."

"Nggak kedengaran!" Kamalla terus jalan menjauh dari area futsal itu sampai tiba di lorong toilet siswi.

"Lagi di mana sih?"

"Di sekolah. Tadi lo ngomong apa?"

"Hantu Pak Tua itu, bukan hantu Pak Tua."

"Hah? Maksudnya?"

"Pokoknya kamu berhenti cari tahu soal hantu Pak Tua itu."

"Oke oke, gue juga belum mau berurusan sama hantu itu," Kamalla menyapu pandangannya ke setiap sudut sekolah yang tampak lengang. "Soalnya gue punya petunjuk baru, pasti ini berkaitan sama keberadaan Ayah gue."

"Petunjuk apa?"

"Hari ini gue pulang cepat, mungkin sekitar jam sebelas siang," kata Kamalla. "Bisa ketemu di depan sekolah gue nggak?"

Jeda cukup lama, tak ada jawaban dari seberang telepon.

"Halo?" panggil Kamalla. "Maaf ya, gue lupa kalau lo kerja hari ini."

"Nggak, saya hari ini nggak masuk kerja."

"Lo sakit?"

"Bukan," ada jeda lama sampai akhirnya Bara melanjutkan ucapannya. "Saya malu kalau harus ketemu di sekolah kamu."

"Kenapa malu?"

"Ya malu, orang kayak saya gak cocok berada di tempat yang ramai sama orang berpendidikan. Minder saya."

"Gue kira, lo adalah orang paling percaya diri sedunia, ternyata masih punya kemaluan juga."

Bara tertawa terbahak-bahak di seberang sana. Sementara wajah Kamalla memerah lantaran baru menyadari ucapannya tadi.

"Jadi mau ketemu di mana?" gadis itu mendengus sebal.

"Ya udah saya ke sana, tapi saya tunggu di warkop dekat sekolah kamu ya," ucap Bara dengan sisa tawanya.

Tepat setelah Kamalla menutup sambungan telepon, sayup-sayup dia mendengar percakapan beberapa siswa dari balik dinding pembatas antara lorong toilet siswa dan siswi itu.

"Sesuai perjanjian, karena sekolah kita menang, lo harus ngajak balikan mantan lo yang kutu buku itu."

"Jelas lah!" sahut seorang siswa. Suara itu begitu melekat di telinga Kamalla. Gadis itu kenal betul siapa pemilik suara itu, Radhit. "Kalau gue berhasil bikin dia balik, lo semua mau kasih gue apa?"

Risih mendengar percakapan itu, Kamalla memutuskan untuk pergi dari sana. Emosi dan bencinya terhadap Radhit semakin tak terbendung.

...****************...

Gerbang sekolah sudah lama dibuka sejak pengumuman juara kompetisi futsal tahunan selesai diumumkan. Sebagian siswa--baik dari sekolah sebelah dan SMA Pelita Bangsa--sudah meninggalkan area sekolah, sementara beberapa siswa lain memilih untuk bersantai dan memperbincangkan pertandingan tadi di kantin sekolah.

Sementara itu, di bawah teduhnya gapura sekolah, Kamalla gusar menunggu kedatangan Bara. Sesekali dia menyapu pandangannya ke arah warkop seberang jalan, namun batang hidung laki-laki itu belum juga nampak. Sampai pada akhirnya deru gerombolan motor yang baru saja keluar dari arah sekolah melintas dan berhenti di hadapan Kamalla.

"Nunggu siapa?" tanya Radhit setelah membuka helm full facenya.

Kamalla tak menghiraukan sapaan itu. Bahkan dia tak sedikitpun menoleh kepada pemilik pertanyaan.

"La, aku sama Kia udah nggak ada hubungan apa-apa lagi," Radhit turun dari motornya. Sementara beberapa sahabatnya tampak menyaksikan adegan berikutnya sambil saling berbisik.

"Bagus."

"Berarti kita bisa balikan lagi 'kan?"

Kamalla menarik tangannya ketika laki-laki itu berusaha menyentuh.

"Apa nggak ada kesempatan buat aku La?" Radhit mulai mengiba. "Aku janji bakal berubah."

"Silahkan ubah diri kamu, tapi hubungan kita yang sekarang nggak akan bisa diubah lagi."

Teman satu tim futsal Radhit terlihat mengejek dan menahan tawa. Hal tersebut membuat wajah laki-laki di hadapan Kamalla menjadi memerah.

"Aku udah berusaha menang lomba buat kamu, biar kamu bangga punya pacar kayak aku."

Kamalla mulai mau muntah sekarang. Ditambah lagi laki-laki itu berani menyentuh lengan Kamalla.

"Jangan sentuh gue!" Kamalla menepis tangan Radhit.

"Oh gini sifat asli lo?" ujar Radhit. "Gayanya aja sok kalem, ternyata kasar juga. Wajar sih, namanya juga cewek kampung."

Wajah Kamalla merah padam ketika kawan-kawan Radhit menertawakannya. Dengan cepat gadis itu melayangkan tamparan keras di wajah Radhit. Laki-laki itu meringis sambil mengusap pipi kirinya.

"Aw!"

"Atit!"

Ejek dua orang kawan Radhit, Anton dan Dega.

"Kok lo nampar gue?" Radhit mendorong tubuh Kamalla sampai punggungnya beradu dengan kolom gapura.

"Radhit!" Jenny berlari ke arah kerumunan itu kemudian berdiri di hadapan Kamalla bak sebuah tameng.

"Apa? Ini bukan urusan lo ya Jen!"

"Urusan Kamalla, sama dengan urusan gue juga!"

"Minggir lo!" Radhit mendorong Jenny dengan satu tangannya. Setelah itu jarinya meremas rahang Kamalla. "Lo udah bikin gue malu di depan semua orang."

Tiba-tiba dari arah samping, sebuah tendangan cukup keras berhasil menghantam pinggul Radhit sampai dia tersungkur beberapa meter di atas konblok.

"Lo kalau nggak mau dipanggil banci, lawan gue!" bentak Bara penuh amarah.

Bersambung...

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!