Terkuak [Tujuh]

"Harus banget malam ini ya La?" tanya Jenny sambil merapihkan baju milik Kamalla yang barusan dia kenakan. "Lo 'kan masih sakit."

"Ssst! Kalau Ibu gue dengar, bisa batal rencana kita," balas Kamalla dengan sedikit berbisik. Usai meletakkan satu buah senter di atas meja riasnya, Kamalla menyalakan layar handphonenya dan membuka daftar panggilan. Diantara puluhan panggilan tak terjawab dari Radhit, Kamalla menemukan satu histori panggilan keluar dari nomor yang belum dia simpan kemudian dia menelepon nomor tersebut.

"Biarin aja. Biar lo dimarahin, terus kita nggak jadi ke rumah kosong itu," gerutu Jenny. "Lagian gue 'kan udah bilang cuma sebentar aja jenguk lo. Eh malah diajak uji nyali."

"Katanya kalau ada apa-apa, lo siap bantuin gue."

"Tapi bukan soal ginian juga, La!"

"Jadi mau bantuin gue atau nggak nih?"

"Ck! Iya iya!"

"Nah ini namanya sahabat gue," Kamalla memeluk Jenny gemas, sementara Jenny menggerakkan tubuhnya dengan sebal. "Kok teleponnya nggak diangkat-angkat ya?"

"Emang lo mau ajak siapa lagi sih?"

"Bara."

"Lo yakin La? Lo 'kan baru kenal dia. Kalau kita malah di apa-apain nanti di rumah kosong itu gimana?" tanya Jenny. "Kenapa nggak lo ajak Radhit aja?"

"Orang pengecut kayak Radhit nggak mungkin berani ke sana," ujar Kamalla dengan nafas yang mendadak memburu. "Lagian kalau Bara itu orang jahat, gue mungkin gak ada di sini. Bisa jadi pas pertama ketemu, gue disekap entah dimana."

"Tunggu deh La," Jenny menyentuh kedua pundak Kamalla dan menggiringnya untuk duduk di tepi dipan. Sambil menatap tiap jengkal wajah sahabatnya itu, Jenny kembali bertanya. "Lo sama Radhit baik-baik aja 'kan?"

Kamalla hanya diam dan tak berani menatap wajah sahabatnya itu. Air mata yang sedari tadi dia tahan akhirnya jatuh juga. "Gue lihat Kia sama Radhit."

Jenny lantas memeluk Kamalla sambil mengusap punggungnya.

"Lo udah tahu soal Radhit, La?"

Mendengar petanyaan yang terlontar dari Jenny, Kamalla melepas pelukannya dan menatap Jenny dengan raut wajah kecewa.

"Jadi lo udah tahu soal ini?" tanya Kamalla. "Kenapa lo nggak pernah bilang ke gue Jen?"

"Gue cuma nyari waktu yang pas buat ngasih tahu lo, La. Gue nggak mau persahabatan kita bertiga jadi hancur."

"Gue udah tahu semuanya dan sekarang udah benar-benar hancur. Bahkan lo yang harusnya bisa gue percaya justru ikut merahasiakan ini."

Jenny menggigit bibir bawahnya dengan gusar. "Gue bisa jelasin semuanya, La."

"Halo," ujar Kamalla memecah percakapan ketika telepon itu akhirnya berhasil tersambung. "Ini.. Mas Bara?"

"Iya. Siapa nih?"

"Kamalla," jawabnya sambil menyeka air mata di pipinya. "Mas bisa bantuin saya?"

...****************...

Waktu sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Sejak percakapan melalui telepon itu, tak ada sepatah katapun dari Jenny maupun Kamalla. Jenny merasa tak enak hati, sementara Kamalla masih belum percaya dengan apa yang dia alami. Kamalla memutuskan untuk bersandar di kursi rotan teras sambil menunggu kedatangan Bara, sementara kedua pandangannya tak lepas dari rumah kosong itu.

"Ayo masuk Nak. Sudah malam," ujar Ibu Kamalla yang baru saja selesai menutup warung. "Kamu 'kan baru mendingan. Kasihan juga Nak Jenny sendirian di dalam."

"Iya Bu, nanti aku masuk."

"Ya sudah, nanti jangan lupa kunci pintunya ya. Ibu mau istirahat."

Setelah sang Ibu masuk, hawa dingin mendadak menyelimuti udara di sekeliling Kamalla. Gadis yang duduk sendirian di teras itu mulai gusar ketika ekor matanya menangkap sesuatu yang gelap pekat dan besar berada tepat mengisi kursi rotan di sebelah kanannya. Gadis itu hanya bisa mematung. Tak ada keberanian sedikitpun dari Kamalla untuk menoleh. Meski demikian, dari ujung matanya nampak jelas bahwa sosok hitam itu sedang berdiri di atas kursi. Kamalla menelan salivanya dengan berat, tubuhnya terasa kaku sementara dadanya mulai berdegup tak beraturan.

"La," sapa Jenny tiba-tiba. Membuat Kamalla terperajat sekaligus lega. Melihat itu, Jenny menjadi bingung. "Lo kenapa?"

Kamalla menoleh ke arah kursi rotan yang nampak kosong itu kemudian menggenggam erat tangan sahabatnya. "Gue nggak apa-apa."

"Tapi tangan lo dingin banget, La," ujar Jenny. "Mau gue buatin teh anget?"

"Nggak Jen, nggak usah."

Jenny menggangguk masih dengan ekspresi kebingungan. Gadis itu kini duduk tepat di kursi tempat sosok hitam itu tadi berada.

"Maafin gue ya La," kata Jenny sambil meremas pelan genggaman sahabatnya. "Harusnya dari awal gue kasih tahu lo, tapi ternyata gue sama pengecutnya kayak Radhit."

"Gue yang seharusnya minta maaf, Jen. Nggak seharusnya gue marah sama lo."

"Wajar kok kalau lo kecewa sama gue. Maafin gue ya."

Kamalla tersenyum, menampilkan lesung pipit miliknya. Gadis itu menyodorkan jari kelingkingnya yang kemudian disambut oleh Jenny. "Baikan ya?"

"Baikan," kata Jenny membalas senyum Kamalla. "Tapi La, soal Kia..."

Belum sempat melanjutkan kata-katanya, tiba-tiba deru motor XSR terdengar di luar rumah. Cahaya dari lampu motor yang tadinya menyilaukan itu akhirnya redup diiringi dengan sosok laki-laki berjaket army hitam yang berjalan ke arah teras rumah Kamalla.

"Sorry Mba, saya telat. Tadi ada pelanggan dadakan."

"Iya nggak apa-apa, Mas," jawab Kamalla kemudian bangkit dari kursi rotan itu. "Jen, ini Mas Bara yang kemarin nolongin gue. Mas, ini Jenny teman saya."

Jenny tak menjawab ucapan Kamalla. Gadis itu masih terpaku memandang tiap jengkal dari wajah laki-laki yang baru dia temui itu.

"Jen!" seru Kamalla sambil menyenggol sahabatnya. Kali ini Jenny mengerjapkan kedua matanya seolah habis terbius sesuatu.

"Kenapa Mba? Saya ganteng ya?"

Jenny memutar kedua bola matannya.

"Waktu pertama kali ketemu Mba Kamalla juga, dia natap saya terus," ujar Bara menampilkan senyum manis penuh percaya diri. "Terlalu memukau ya?"

"Hih!" seru Kamalla sebal. "Bawa nggak senternya?"

"Oh iya, sebentar ya."

Laki-laki itu berlalu menuju motor miliknya.

"Narsis amat. Tapi untuk ukuran Mas-Mas bengkel, dia emang ganteng sih, La," ujar Jenny sedikit berbisik. "Tapi kok gue kayak nggak asing deh sama mukanya."

"Iya. Ibu gue juga bilang begitu," sahut Kamalla mengikuti intonasi Jenny.

"Ngomongin saya ya? Pakai bisik-bisik segala," ujar Bara tiba-tiba, kali ini lengkap dengan dua buah senter di tangannya. "Jadi dimana tikusnya?"

"Ssst!" kata Kamalla sambil menempelkan jari telunjuknya di bibir. "Kita bukan mau nyari tikus!"

"Loh tadi Mba bilang-"

"Kita mau uji nyali!" sahut Jenny sebal.

"Wow! Seru nih. Kemana?"

Jenny yang berharap penolakan dari Bara akhirnya kecewa ketika tahu bahwa laki-laki itu justru malah bersemangat.

"Ke sana," Kamalla menunjuk rumah kosong itu dengan dagunya.

"Rumah Pak Dirga?"

"Lo kenal sama pemilik rumah itu?" tanya Jenny keheranan. Raut wajah gadis di sampingnya tak kalah heran.

"Lumayan," ujar Bara berbohong. Padahal jelas-jelas tempo hari Rukmi yang menceritakan itu kepadanya. "Saya udah dianggap anak sendiri sama Pak Dirga."

Kamalla dan Jenny mulai mendekati Bara dengan rasa penasaran.

"Sekarang mereka ke mana?" tanya Kamalla.

"Pindah ke Serang."

"Terus?" tanya Jenny.

"Terus mereka hidup bahagia selama-lamanya," balas Bara.

"Serius Mas!"

"Ya mana saya tahu. Saya aja baru tahu ceritanya dari Ibunya Mba Kamalla."

Dengan jengkel Jenny merebut senter dari genggaman Bara kemudian melayangkan benda itu tepat di puncak kepala Bara.

TOK!

"Argh!" Bara meringis sambil mengusap puncak kepalanya. "KP3 nih!"

"Apa maksudnya?" tanya Kamalla.

"Kekerasan Pada Pandangan Pertama."

Jenny dan Kamalla kompak memutar kedua bola matanya. Sementara Bara hanya cengengesan.

"Jadi nggak uji nyalinya?" tanya Bara akhirnya.

"Sebentar, saya ambil senter dulu."

Kamalla masuk ke dalam rumah meninggalkan Bara dan Jenny di teras.

Bersambung...

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!