Musuh Dalam Selimut [Empat]

Seorang wanita muda tampak setengah berlari membelah rimbunnya hutan dalam gelapnya malam. Kedua pasang kakinya yang hanya beralaskan sandal jepit berwarna orange itu terus melangkah menyusuri jalan setapak yang nyaris berlumpur. Bahkan derasnya hujan dan ganasnya suara petir dari langit malam tak membuatnya berhenti melangkah.

Sesekali wanita itu mengalihkan pandangannya pada sesuatu yang terbalut kain jarik yang sedari tadi ia jaga dalam dekapannya. Langkahnya berhenti ketika mendapati pondokan yang terbuat dari bambu di tepi jalan sana. Kini dia menyandarkan tubuhnya di dalam bilik bambu itu dengan napas yang masih memburu. Sampai pada akhirnya kedua mata sayunya terpejam karena tak bisa lagi menahan rasa kantuk.

Esok paginya wanita itu terbangun lantaran mendengar suara jejak kaki yang perlahan namun pasti mendekat ke arah pondokan tempat dia berlindung semalaman. Napasnya kembali memburu, kedua manik matanya bergerak dengan cepat. Bersamaan dengan itu, degub jantungnya mulai tak beraturan ketika langkah kaki itu semakin mendekat.

"La! Kamalla!"

Gadis yang barusan dipanggil itu terbangun dari tidurnya. Napasnya tersengal dan anak rambutnya sudah dibasahi oleh peluh.

"Lo baik-baik aja 'kan?" tanya Jenny. Kamalla hanya diam sambil mengatur ritme pernapasannya.

"Nggak apa-apa, Jen. Gue cuma mimpi barusan."

"Ooh. Betewe, gua pamit pulang ya."

"Buru-buru banget. Sarapan dulu lah."

"Tuh lo liat udah jam berapa!?" Jenny menunjuk sebuah jam kecil di atas meja nakas dengan dagunya.

"Jam sebelas, Jen?"

"Jam sebelas, Jen?" ujar Jenny mengulang pertanyaan Kamalla dengan nada mengejek. "Tidur udah kayak mayat aja lo."

"Hehe. Ya maaf," Kamalla terkekeh sambil memijat tengkuknya perlahan. "Abis semalam badan gue rasanya sakit semua. Tapi sekarang udah mendingan."

"Ya udah kalau gitu sekarang lo sarapan, mandi, terus gantian jagain warung."

"Loh, Ibu gue kemana Jen?"

"Ke agen katanya, belanja perlengkapan warung."

Kamalla menganggukkan kepalanya. "Jadi ngerepotin lo 'kan. Sorry ya, Jen."

"Santai aja ah," ujar Jenny sambil menepis udara kemudian mulai mengemasi barang bawaannya. "Lagian Ibu lo belum lama kok perginya. Sekitar sejam yang lalu."

"Thanks ya, Jen."

"Iyeee. Kayak sama siapa aja sih."

Kamalla tersenyum kemudian bangkit dari dipan. Rambut hitamnya dia ikat seadanya.

"Oh iya. Cowok yang tinggal di seberang rumah lo siapa sih?" tanya Jenny membuat Kamalla menghentikan kegiatannya sekejap.

"Siapa?"

"Malah nanya balik. Ya nggak tahu lah gue," ujar Jenny sambil mengenakan tas selempang hitam miliknya. "Kayaknya lebih dari tiga kali dia bolak-balik kesini, nanyain lo terus. Gue bilang lo masih tidur."

Kamalla mengulum bibirnya. Dia tahu betul bahwa rumah di seberang sana sudah lama tak berpenghuni, namun kadang terlihat seorang laki-laki paruh baya yang rutin seminggu sekali membersihkan pekarangan rumah itu. Tentu saja Kamalla tak lantas memberitahukan hal itu ke sahabatnya.

"Siapa sih La?"

"Ciri-cirinya gimana?"

"Gue nggak begitu merhatiin sih. Yang jelas masih muda, badannya tinggi berisi, kulitnya sawo matang, lumayan cakep sih."

"Oh itu..."

"Siapa La?" tanya Jenny lagi sambil mengekori Kamalla yang keluar dari kamar.

"Gue juga lupa siapa." ujar Kamalla sambil nyengir kuda.

"Lo selingkuh dari Radhit ya? Ngaku lo." tanya Jenny sambil mencubit pelan pinggul sahabatnya itu.

"Emangnya gue ada tampang tukang selingkuh!?"

"Nggak sih. Tapi kalau boleh jujur, lo lebih cocok sama dia sih. Soalnya dia kelihatan kayak cowok baik-baik."

"Maksud lo Radhit nggak baik?"

"Iya baik, La. Baik." Jenny memutar kedua bola matanya. "Susah kalau udah bucin."

"Nggak apa-apa bucin sama orang yang tepat." ujar Kamalla sambil sedikit tertawa.

...****************...

"Pelan-pelan aja La, gue masih pengen hidup!" teriak Jenny yang saat itu berada di boncengan motor Kamalla.

"Ini udah pelan banget, Jen."

"Pelan buat pengemudi amatir kayak lo tetap aja bahaya."

"Meremehkan skill gue lo!?" ujar Kamalla. "Walaupun setiap hari gue diantar-jemput Radhit, gue nggak lupa cara bawa motor."

Sebetulnya Kamalla memang punya motor sendiri dan memang jarang digunakan. Biasanya hanya seminggu satu kali dia pakai untuk mengantar Ibunya berbelanja ke pasar, sisanya hanya terparkir di lorong sisi rumah.

"Pokoknya gue nggak mau mati konyol ya."

"Bawel!"

Siang hari yang tampak mendung itu Kamalla memutuskan untuk mengantar Jenny pulang demi membalas kebaikan sahabatnya yang rela menginap dan menunggu warung milik Ibunya pagi tadi.

Sepanjang perjalanan mereka asik mengobrol membahas kecurigaan Jenny akan Monika sampai tak sadar laju motor yang dikemudikan Kamalla berhenti tepat di depan rumah dua lantai dengan cat berwarna abu muda.

"Udah sampai dengan selamat ya Tuan Putri," ejek Kamalla pada sahabatnya itu. Jenny hanya tersenyum.

"Pokoknya kalau ada apa-apa sama lo. Bilang ke gue ya La," ujar Jenny kemudian turun dari boncengan. "Kalau sampai benar si monyet itu dalang dari semua ini dan bikin lo celaka, gue nggak akan diam aja."

Kamalla tersenyum sambil memegang lengan Jenny. "Thanks ya Jen. Gue beruntung banget punya sahabat kayak lo dan Kia."

Mendengar ucapan sahabatnya, rasa bersalah itu kembali menghantui isi hati Jenny.

"La," Jenny menggigit bibir bagian bawahnya karena merasa bimbang.

"Iya Jen?"

Jenny menghela napas panjang sambil terus memandangi wajah Kamalla. Dia tidak yakin apakah ini waktu yang tepat untuk mengungkapkan semuanya.

"Kakaaak!" teriakan bocah laki-laki terdengar dari ambang pintu seketika menghentikan gerak bibir Jenny. Bocah yang baru berusia genap enam tahun itu berlari kemudian memeluk pinggul Jenny.

"Tama!" sapa Kamalla dengan lembut kepada bocah laki-laki itu. Bukan membalas sapaan, adik bungsu dari Jenny itu justru menyembunyikan tubuhnya di belakang kakaknya.

"Dia siapa Kak?" dengan raut wajah ketakutan Tama bertanya pada Jenny kemudian mengarahkan pandangannya kepada perempuan yang masih duduk di jok motor itu.

"Ini Kak Kamalla, masa kamu lupa."

"Ih mentang-mentang Kakak jarang main kesini, sekarang udah lupa ya?"

Tama menggelengkan kepalanya dengan cepat kemudian menunjuk area kosong tepat di belakang motor Kamalla. "Itu siapa?"

Jenny dan Kamalla terdiam dan saling beradu pandang. Kemudian mereka menoleh ke arah yang ditunjuk oleh Tama.

"Gue pulang dulu ya Jen," ujar Kamalla mengalihkan suasana tegang itu seraya menstarter motor maticnya.

"Nggak mampir dulu?"

"Lain kali deh, soalnya sekalian mau ambil belanjaan Ibu. Ada yang ketinggalan di agen. Lagian udah mau hujan juga kayaknya, nanti takut kelamaan."

"Oke La. Hati-hati ya. Thank you udah nganterin gue. Sekali lagi happy birthday."

Kamalla tersenyum ke arah Jenny dan Tama yang masih bersembunyi. "Daaah Jen. Daaah Tama."

Usai berpamitan, Kamalla putar balik dan melajukan motornya.

...****************...

Dalam perjalanan menuju rumah, pikiran Kamalla terus dipenuhi tanda tanya. Entah kesalahan apa yang telah dia perbuat atau mungkin memang benar kejadian aneh yang dia alami dua hari belakangan ini ulah dari Monika. Pandangan Kamalla masih fokus dengan jalan, namun isi kepalanya terus menerka-nerka. Sampai pada akhirnya sebuah pertanyaan lain terlintas dipikirannya.

"Sosok apa yang sebenarnya mengganggu gue?" Kamalla bergumam.

"Kalau emang gue ada salah, gue minta maaf. Tolong masing-masing aja," gumam Kamalla sekali lagi. Berharap makhluk tak kasat mata yang mungkin masih menguntitnya itu dapat mendengar dan menuruti apa yang dia katakan.

Di tengah pikiran yang masih bingung itu Kamalla dikejutkan dengan penampakan lain. Perlahan dia menarik tuas rem dan melipir ke tepian jalan. Manik mata coklatnya menatap lurus ke seberang jalan. Tepat di ujung sana tampak seorang yang sangat dia kenal sedang bersiap mengeluarkan motornya dari barisan motor lain di depan sebuah toko boneka.

"Pantesan semalam Radhit nggak bawa apa-apa. Ternyata dia mau ngasih kejutannya hari ini," Kamalla tersenyum gemas melihat kekasihnya itu kemudian dia mengeluarkan ponsel dari saku jeansnya. Dengan senyuman jahil, Kamalla mulai menghubungi nomor telepon Radhit.

"Halo," sapa Kamalla.

"Halo sayang. Gimana badannya udah enakan?"

"Udah kok. Ini kamu lagi dimana?"

"Lagi... Di tempat kumpul biasa sama yang lain. Mau prepare latihan sore ini," ujar Radhit di seberang sana.

"Oh latihan futsal?" Kamalla mengulum bibirnya karena gemas. Berbohong untuk sebuah kejutan biasa dilakukan oleh orang-orang.

"I-iya. Soalnya 'kan nggak lama lagi kompetisi, jadi wajib latihan ekstra."

Senyuman Kamalla mendadak hilang berganti dengan raut wajah keheranan diiringi dengan deguban jantungnya yang mulai tak beraturan ketika sosok Kia muncul dari balik pintu kaca toko boneka itu. Kia tampak sumringah sambil berjalan mendekat ke arah Radhit, kedua lengannya tampak memeluk sebuah boneka beruang berukuran sedang.

Kamalla yang awalnya berusaha untuk berpikir positif malah dibuat heran ketika Radhit seolah memberikan isyarat kepada Kia dengan meletakkan jari telunjuknya di bibir.

"Kamalla?" tanya Kia pada Radhit nyaris tanpa suara. Radhit hanya mengangguk cepat.

"Sayang? Kok diam?"

Wajah Kamalla memerah dan napasnya hampir tak beraturan sama seperti denyut jantungnya.

"Ma-maaf, aku dipanggil Ibu," kata Kamalla bohong. "Kamu lanjut sama teman kamu buat latihan futsalnya."

Kamalla memutus saluran telepon itu dengan sepihak kemudian bersembunyi di balik pohon besar di tepi jalan. Dadanya kian sesak ketika dia menyaksikan Radhit mencubit pipi Kia dengan gemas.

Harusnya aku yang ada di sana Dhit. Benak Kamalla. Akhirnya air mata yang sedari tadi tertahan menetes juga. Langit yang sedari tadi berwarna kelabu perlahan mulai menurunkan tetesan hujan, seolah memang sudah menunggu momen itu.

Bersambung...

Terpopuler

Comments

Mata Peña_✒️

Mata Peña_✒️

jadi pasang 3?!..

2024-03-10

4

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!