Saya Mau Pulang [Enam Belas]

"Mas Hanza, Tante, saya dan Kamalla pamit ya," ujar Bara setelah selesai memanaskan mesin motornya pagi itu. "Kapan-kapan kita boleh main ke sini lagi 'kan?"

"Nggak," ujar Hanza yang sontak membuat tiga pasang mata di hadapannya serempak menoleh ke arahnya. "Lo makannya banyak."

Mereka akhirnya tertawa mendengar ucapan Hanza barusan.

"Mas Hanza bisa bercanda juga ternyata," ujar Bara terkekeh.

"Kenapa Nak Kamalla?" tanya Ibu Hanza ketika menyadari gadis di hadapannya tampak gusar. "Apa ada yang mengganjal pikiranmu?"

"Sebenarnya, masih ada hal lain yang mau saya tanyakan."

"Oh ya? Apa itu?"

"Selain Ibu, Almarhum Pak Dirga, dan Mas Hanza, apa ada lagi yang tinggal di rumah lama Ibu?"

Wajah wanita itu mendadak muram mengingat kejadian masa lalu. Melihat hal itu, Hanza mengajak Bara untuk melipir sejenak ke luar gerbang meninggalkan Kamalla dan sang Ibu berdua di teras.

"Seharusnya ada empat orang yang tinggal di sana," Ibu Hanza duduk di kursi teras. "Tapi Ibu yang waktu itu sedang hamil muda adiknya Hanza, mengalami pendarahan hebat dan terpaksa kehilangan calon anak kedua kami."

Dengan rasa iba, Kamalla menggenggam jemari wanita itu dengan lembut. Terlihat jelas gurat ketidak ikhlasan dan kesedihan dari wajah wanita itu.

"Kalau saja kami nggak menempati rumah itu, mungkin adiknya Hanza sudah sebesar kamu," lanjut Ibu Hanza. "Mungkin Bapak juga masih sehat sampai sekarang."

"Maaf Bu, kalau sekiranya pertanyaan saya kali ini agak lancang. Tapi apa hubunganya dengan rumah itu?"

"Rumah itu sudah lama kosong sebelum kami menempatinya," ulas Ibu Hanza. "Mengandalkan uang pesangon Bapak dan sisa tabungan, kami membeli rumah itu dengan harga yang cukup murah waktu Hanza baru berusia dua tahun."

Wanita itu mengarahkan pandangannya pada Hanza yang sedang asik mengobrol dengan Bara.

"Pada awalnya semua baik-baik saja. Sampai di bulan ke enam sejak kami tinggal di sana, keanehan mulai berdatangan," lanjutnya. "Hanza jadi sering sakit-sakitan, Ibu dan Pak Dirga juga sering mendapat teror dari makhluk tak kasat mata."

"Jadi alasan Ibu sekeluarga memutuskan buat pindah bukan karena tuntutan pekerjaan dari Pak Dirga?"

...****************...

"Gimana?" tanya Bara.

"Sekarang nomornya malah nggak aktif."

Bara dan Kamalla beristirahat di sebuah kedai kopi setelah menempuh setengah dari perjalanan pulang. Meminum segelas es teh manis rasanya cukup untuk menghilangkan dahaga lantaran terik siang itu.

"Gue takut terjadi sesuatu sama Ibu gue," ujar Kamalla sambil meletakkan handphonenya di atas meja. "Ibu nggak pernah mendadak pergi sendirian kayak gini."

"Emangnya ada apa sih?"

Kamalla menyedot es teh manis miliknya seolah hanya dengan cara itu dia bisa sejenak menenangkan pikirannya.

"Malam sebelum lo jemput gue, hantu Pak Tua itu datang ke rumah gue," ulas Kamalla. "Tapi kali ini lebih seram dari sebelumnya."

"Maksudnya?"

"Dia kayak mau coba bunuh gue pakai pisaunya itu, mukanya marah banget."

"Hantu mana bisa bunuh orang," balas Bara. "Buktinya kamu baik-baik aja 'kan?"

"Iya, karena dia menghilang pas sosok hitam yang selalu ngikutin gue itu tiba-tiba muncul. Setelah itu gue nggak ingat apa-apa lagi."

"Jadi kamu khawatir kalau hantu Pak Tua itu ganggu Ibu kamu juga?"

Kamalla mengangguk mantap.

"Tapi apa alasan hantu Pak Tua itu gangguin kamu dan Tante?" tanya Bara.

"Oh iya, gue belum cerita," ujar Kamalla.

Berbekal informasi yang Kamalla terima dari Ibu Hanza, gadis itu mulai bercerita tentang keluarga Pak Dirga. Dari awal keluarga Pak Dirga menempati rumah itu, alasan kepindahannya ke Semarang, bahkan terkait foto-foto yang sengaja ditinggalkan di rumah itu.

"Jadi kenapa hantu Pak Tua itu datang ke rumah kamu, karena foto yang kamu ambil tempo hari?"

"Kemungkinan sih karena itu, mungkin dia nggak suka barangnya diambil."

"Tapi apa hubungannya?"

"Katanya Ibu Hanza pernah menemui orang pintar, hantu dan sebangsa jin itu suka menempati lukisan atau sejenisnya."

Bara mengangguk paham. "Terus apa kamu mau bakar foto itu?"

"Kita kembalikan. Atau kalau perlu, kita cari tahu soal hantu Pak Tua itu."

...****************...

Tepat pukul sembilan malam, Kamalla tiba di rumahnya. Kamalla dan Bara dibuat heran lantaran seisi rumahnya begitu berantakan seperti kapal pecah. Buku-buku yang tadinya tersusun rapi di rak sudah berserakan, foto-foto yang terpajang di dinding jatuh dan menyisakan serpihan kaca di lantai, serta alat rumah tangga lainnya sudah tak beraturan lagi. Namun anehnya, tak ada satu barang pun yang hilang dari sana.

"Ibu?" panggil Kamalla. Ditemani oleh Bara, gadis itu berjalan menuju dapur. Namun yang dia panggil tak nampak sehelai rambut pun.

"Ibu belum pulang," ujar Kamalla lirih. Ditengah kebingungan dan kekhawatiran itu, Kamalla tersadar tentang tujuannya. "Foto itu."

Gadis itu merangsek masuk ke dalam kamarnya yang juga berantakan kemudian menarik setiap laci meja riasnya dengan tergesa-gesa dan tas selempang yang terakhir dia pakai waktu mengunjungi rumah kosong itu, namun hasilnya nihil.

"Gimana?" tanya Bara setelah gadis itu kembali ke hadapannya.

"Bantu gue cari, pasti ada di sekitar sini."

Seraya merapihkan barang yang berserakan, mereka mencari selembar foto yang Kamalla ambil dari rumah kosong itu. Setiap sudut dan tumpukan barang sudah mereka jelajahi, namun benda yang dicari tak juga mereka temukan. Disela kesibukan itu, tiba-tiba angin berhembus dengan sangat kencang dari arah luar. Membuat kertas-kertas dan apapun yang ringan di dalam sana terbang tak karuan. Sedetik itu juga lampu seisi rumah itu mendadak padam.

"Malla!" Bara menggenggam erat tangan gadis itu dan membiarkannya berada di balik punggungnya yang kokoh.

Sepasang remaja itu menyaksikan siluet hantu Pak Tua di ambang pintu. Sosok itu masih menenteng sebilah pisau, persis seperti yang Kamalla lihat kemarin malam.

"Jangan ganggu saya," suara parau dari hantu Pak Tua itu menggema seiring tiupan angin yang semakin tak karuan.

"Bapak yang ganggu kita!" pekik Kamalla.

"Saya mau pulang."

"Rumah Bapak di depan, Bapak tinggal nyebrang kalau mau pulang."

"Jangan ganggu saya!" teriak hantu Pak Tua itu. Kali ini dia melangkahkan kakinya dengan sedikit menyeret.

Bulu kuduk Kamalla dan Bara tiba-tiba meremang bersamaan dengan hawa yang begitu dingin dari balik tubuh mereka.

"Jangan ganggu saya!" pekik hantu Pak Tua itu lagi, diiringi dengan isakan tangis darinya. Sedetik kemudian sosok itu raib begitu saja seiring dengan redanya hembusan angin.

"Kamalla, kayaknya ada yang nggak beres," ujar Bara seraya menarik lengan gadis itu untuk keluar dari rumah.

Ketika mereka sampai di teras, mereka melihat sosok hitam besar tengah berdiri tepat di area tempat mereka berdiri tadi. Seketika itu juga pintu rumah tertutup dengan kencang.

"Kayaknya ini bukan lagi soal foto itu," kata Bara.

Mereka memandangi rumah kosong di seberang sana.

"Saya ngerasa kalau hantu Pak Tua itu nggak suka sama keberadaan sosok hitam yang ngikutin kamu," lanjut Bara. "Mungkin sosok hitam itu punya energi yang lebih kuat."

"Kalau hantu Pak Tua itu nggak suka sama sosok hitam itu, ngapain dia kesini?"

"Kamu dengar 'kan hantu Pak Tua itu tadi ngomong apa?"

"Mau pulang?"

"Iya, bisa jadi dia minta bantuan kita buat balikin roh penasarannya sebagaimana mestinya."

"Tapi kenapa dia gangguin keluarga Pak Dirga sampai Ibunya Mas Hanza keguguran?"

"Setiap orang itu punya respon tubuh yang beda-beda, mungkin keluarga Ibunya Mas Hanza nggak kuat sama energi dari makhluk itu."

"Terus gimana cara kita balikin roh Pak Tua itu supaya tenang?" tanya Kamalla.

"Roh yang penasaran itu biasanya karena meninggalnya nggak wajar," jelas Bara. "Pasti ada sesuatu yang terjadi sama Pak Tua."

"Maksud lo, Pak Tua itu dibunuh?"

"Ya. Terus mayatnya dibuang atau dikubur dengan nggak layak," jawab Bara. "Kalau kita mau menghentikan terornya, kita harus pulangin rohnya dengan cara makamin beliau dengan layak."

Kamalla terdiam sejenak. Tiba-tiba dia teringat sesuatu.

"Ngomong-ngomong soal pulang, beberapa hari lalu sosok hitam itu bilang gitu juga ke gue," kata Kamalla sambil mengingat. "Tapi lebih kayak ngajak sih, bukan minta pulang kayak hantu Pak Tua itu. Kira-kira ada apa ya?"

"Kita selesaikan soal hantu Pak Tua itu dulu, setelah itu cari tahu soal Ibumu, dan terakhir soal sosok hitam itu."

"Iya," jawab Kamalla. "Ngomong-ngomong lagi, ini kapan dilepas ya?"

Mendengar pertanyaan itu, Bara teringat sesuatu. Perlahan dia melirik ke arah bawah. Genggaman tangannya pada Kamalla ternyata masih belum dilepas sejak tadi.

"Pakai diingetin lagi," keluh Bara kemudian melepas genggamannya.

Bersambung...

Terpopuler

Comments

Diodi

Diodi

wkwkwk

2024-04-01

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!