Cokelat Untuk Kamalla [Sepuluh]

Sore itu usai pelajaran sekolah, Kamalla tengah sibuk mencari cara untuk dapat mengeluarkan motornya dari aula parkir. Sekuat tenaga gadis itu menggeser motornya, sampai tiba-tiba sosok laki-laki yang belakangan ini tengah berkecamuk dalam pikirannya muncul tanpa permisi lantas membantu mengeluarkan motornya.

"Makasih," ujar Kamalla dingin kemudian mulai menstarter motornya.

"Kamu kenapa sih? Chat aku nggak dibalas, telepon aku juga nggak pernah diangat?" tanya laki-laki itu. Kali ini dia berdiri menghadang tepat di depan motor. "Aku ada salah? Apa kamu beneran ngambek karena aku sibuk latihan buat kompetisi? Kasih tahu aku, La. Aku nggak ngerti kalau kamu diam terus."

"Udah ngomongnya?" tanya Kamalla akhirnya.

"Kamu kenapa sayang?" Radhit bertanya balik. Sontak gadis di hadapannya memasang tampang jijik.

"Jangan panggil aku dengan sebutan itu lagi."

"Kenapa? Aku nggak tahu salah aku apa sampai kamu jadi kayak gini? Apa karena Monik?"

Kamalla diam lalu melempar tatapan bengis pada laki-laki di hadapannya. "Berhenti menyalahkan orang lain, Dhit. Harusnya kamu tanya sama diri kamu sendiri, kira-kira apa yang udah kamu lakuin?"

"Aku nggak ngelakuin apapun. Emang aku ngelakuin apa?"

"Kamu emang pantas disebut pengecut," ujar Kamalla. "Aku mau pulang. Tolong minggir!"

"Kamu kenapa sih La? Kamu ngelakuin ini kayak bukan sama pacar sendiri."

"Kita udah nggak ada hubungan apa-apa lagi," balas Kamalla. Suaranya mulai bergetar menahan tangis dan amarah. Enggan baginya untuk meneteskan airmata di hadapan laki-laki yang sudah menghianatinya.

"Kamu mutusin aku?" tanya Radhit memelas.

"Kamu yang mutusin aku duluan."

"Kapan? Nggak pernah sedikitpun ada niatan aku buat ninggalin kamu, La."

"Sejak kamu selingkuh sama Kia, itu artinya kamu yang milih buat putus dari aku!"

Radhit tak berkutik sekarang. Lidahnya mendadak kaku mendengar jawaban gadis itu.

"Udah jelas 'kan?" tanya Kamalla. "Selain pengecut untuk mengakui kesalahan, kamu juga brengsek. Kamu tahu Kia itu sahabat aku, Dhit. Kok tega sih!?"

"A-aku bisa jelasin semuanya--"

"Nggak perlu!" potong Kamalla. "Semuanya udah cukup jelas. Aku nggak akan nanya sejak kapan kamu nyurangin aku, kamu juga nggak perlu tahu aku tahu dari mana, dan yang jelas aku nggak mau lihat kamu lagi."

"La..." ucap Radhit lirih.

"Sekarang kamu minggir. Aku mau pulang."

Kali ini Radhit tak mendebatnya lagi. Perlahan dia menyingkir dari hadapan gadis itu dan membiarkannya pergi.

Kamalla melajukan motor maticnya meninggalkan Radhit dan beberapa pasang mata dari siswa yang sedari tadi ada di sana. Setelah jauh meninggalkan area sekolah, akhirnya tangis Kamalla yang semula ditahan pun pecah juga. Laki-laki yang selama ini dia kagumi sudah tak ada lagi, sahabat yang selalu ada untuknya pun sudah pergi. Kamalla tak henti menangis sepanjang jalan. Hanya dengan cara itu dia melepas semuanya, membiarkan rasa sakit hati dan kecewa terbang bersama airmata yang tersapu angin sore.

...****************...

Tepat pukul setengah lima sore, Kamalla tiba di rumah. Satu jam lebih lambat dari biasanya.

"Assalamualaikum," usai mengucap salam, Kamalla langsung berhambur ke pelukan sang Ibu yang baru saja selesai melayani pembeli.

"Wa'alaikumssalam," jawab Rukmi. Wanita itu tampak keheranan dengan sikap anaknya sore itu. "Cantiknya Ibu kenapa?"

Kamalla menggeleng pelan. Sambil terisak, gadis itu mempererat pelukannya.

"Kalau nggak ada apa-apa, kenapa kamu nangis Nak?" tanya Rukmi dengan lembut seraya mengusap puncak kepala anak semata wayangnya. Sementara itu Kamalla masih tak mengeluarkan sepatah kata, dia hanya terisak dalam dekapan sang Ibu.

"Nggak apa-apa kalau kamu nggak mau cerita sama Ibu," lanjutnya. "Puaskan dulu tangismu, Nak."

"Ibu..." kata Kamalla lirih.

"Kamu habis dari mana sampai pulang telat begini?" tanya Rukmi lagi mengalihkan arah pembicaraan. "Handphone kamu juga nggak aktif, Ibu sampai telepon Nak Radhit. Tapi katanya kamu sudah pulang."

"Bu, Kamalla minta tolong untuk jangan sebut nama itu lagi," kata Kamalla sambil perlahan melepas pelukan dan memandang wajah Ibunya. "Aku udah nggak mau kenal orang itu lagi."

Rukmi tersenyum memandang Kamalla. Perlahan jari telunjuknya membelai rambut yang menutupi setengah wajah putrinya. "Nggak nyangka anak Ibu sudah besar. Tapi biarpun sudah besar, kamu harus bersikap dewasa. Marah itu boleh, tapi nggak boleh kalau kamu bilang nggak mau kenal sama Nak Radhit lagi."

Kamalla hanya mematung sambil meredakan sisa tangisnya.

"Biar bagaimanapun, Nak Radhit sudah banyak berbuat baik sama kamu, bahkan sama Ibu yang notabene bukan orangtua kandungnya."

"Sama seperti Ibu ke Ayah?" tanya Kamalla. Rukmi terdiam sejenak. "Ibu nggak benci sama Ayah?"

"Kalau marah, pasti. Tapi kalau benci bahkan nggak mau kenal lagi, ya nggak."

"Walaupun Ayah udah ninggalin kita?" cerca Kamalla.

Sang Ibu menggelengkan kepalanya. "Mana mungkin Ibu benci sama Ayah dari anak Ibu. Makanya kamu juga harus begitu ya."

"Iya Bu," ujar Kamalla. Walau bibirnya mengatakan itu, namun hatinya berkata sebaliknya.

"Nah begitu baru anak Ibu," lanjut Rukmi, masih dengan senyuman khasnya. "Sekarang kamu mandi, terus makan ya."

Kamalla mengangguk lalu duduk di kursi teras seraya melepas sepatunya.

"Oh iya," ujar Ibunya sambil mengingat sesuatu. "Tadi teman kamu yang tempo hari sempat ke sini, dia nyariin kamu ke sini."

"Siapa Bu?"

"Duh! Ibu lupa. Kalau Jenny dan Kia sih Ibu sudah tahu," ujarnya. "Yang tempo hari nganterin kamu pulang pakai mobil."

"Maksud Ibu Monik?"

"Nah Iya, Nak Monik!" seru Ibu. "Udah cantik, nggak sombong lagi. Biasanya anak orang kaya 'kan sombong."

"Ngapain dia ke sini Bu?"

"Ya nyariin kamu, masa nyariin Ibu. Kamunya malah belum pulang."

Kamalla menautkan kedua alisnya. Pikirannya menerawang, mengingat ucapan Jenny tempo hari. "Dia ngasih Ibu sesuatu nggak?"

"Kok kamu tahu? Tadi sih dia titip ini," jawab sang Ibu seraya mengeluarkan sebuah kotak yang terbungkus plastik transparan dari meja warung lalu mengulurkannya ke arah Kamalla. "Katanya buat kamu."

Kamalla langsung bangkit dari duduknya dan meraih benda itu. Perlahan dia membuka isi kotak itu yang ternyata berisikan tart mini bertoping cokelat keemasan.

"Ya sudah, mumpung nggak ada yang beli. Ibu mau hangatin sayur sup buat kamu dulu ya."

Kamalla tak menggubris ucapan Ibunya barusan. Dia hanya mematung sambil memperhatikan tart mungil itu. Pikirannya bimbang saat itu, entah apa yang harus dia lakukan. Ucapan Jenny terus membayanginya.

Pada akhirnya dengan perasaan berat, Kamalla memasukkan bingkisan itu ke dalam tempat sampah yang terletak di sudut teras rumahnya. Usai membuang bingkisan yang dia curigai itu, Kamalla meletakkan sepatunya dan berjalan ke dalam rumah.

...****************...

"Beli!"

"Iya sebentar," sahut Kamalla--yang pada sore itu masih mengenakan seragam sekolahnya--lalu berjalan menuju sumber suara. "Beli ap--"

Kamalla tak jadi melanjutkan ucapannya ketika mendapati Bara yang tengah berdiri di muka rumahnya. Laki-laki itu tersenyum manis ke arahnya.

"Mas Bara?"

"Mulai sekarang jangan panggil 'Mas' ya. Biar lebih akrab. Lagian kayaknya kita seumuran."

Kamalla masih tak bisa mencerna apa yang sedang terjadi. "Berarti bisa pakai 'Lo-Gue'"?

Bara menaikkan kedua alis tebalnya tanda setuju.

"Oke. Lo ngapain kesini?" tanya Kamalla tanpa basa-basi. "Perasaan gue nggak ngundang lo."

"Mampir," kata Bara sambil memamerkan deretan gigi putihnya.

"Dari bengkel lo ke rumah gue itu nggak bisa dibilang mampir ya. Itu namanya niat!"

"Emangnya saya nggak boleh jalan-jalan, terus mampir ke sini?"

Kamalla memutar bola matanya.

"Gue lagi nggak nerima tamu hari ini," kata Kamalla akhirnya.

Bara yang mendengar itu malah sibuk menyapu pandangannya ke sekeliling area rumah itu.

"Kenapa?" tanya Kamalla heran.

"Nggak ada tulisan 'Tidak Terima Tamu' tuh di sini," jawab Bara mengelak. "Kalau di warung Madura 'kan suka ada tulisan 'Tidak Terima Kasbon', nah kalau kamu lagi nggak terima tamu, harusnya ada tulisannya dong!?"

"Jangan pakai 'Aku-Kamu'!" seru Kamalla ketus.

"Iya deh, maaf Mbak."

"Jangan panggil gue, 'Mbak'!"

"Terus panggil apa dong? Sayang?" Bara kembali memamerkan senyumnya.

Tubuh Kamalla seketika merinding mendengar ucapan Bara barusan.

"Bercanda," ujar Bara kemudian sambil terkekeh geli. "Jangan dimasukin ke hati ya, nanti jadi sayang beneran."

Kamalla kembali memutar bola matanya.

"Udah cukup ya. Gue mual dengarnya," ujar Kamalla sebal. "Jadi lo mau apa ke sini?"

Bara tiba-tiba menundukkan kepalanya lalu mengulurkan sebatang cokelat yang sedari tadi dia sembunyikan dibalik punggungnya.

"Buat yang lagi sedih hatinya," ucap Bara masih dengan posisi kepala menunduk. Entah apa yang terjadi, mendadak dia kehilangan keberanian untuk menatap gadis di hadapannya. "Katanya cokelat bisa bikin mood naik lagi."

Melihat hal itu, Kamalla seolah terbius. Sebuah senyuman kecil berhasil terukir di wajahnya. Tanpa ragu dia meraih cokelat itu dari genggaman Bara.

"Makasih," ujar Kamalla. Mimik wajahnya kembali ditekuk ketika laki-laki di hadapannya mulai mendongak ke arahnya.

"Kalau mau senyum mah, senyum aja. Nggak usah ditahan, Mbak."

"Dibilang jangan panggil 'Mbak'!"

"Iya, Kamalla."

Bersambung...

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!