Mas Bengkel [Lima]

Langit gelap siang itu masih setia dengan gemuruh dan sambaran petir yang saling bersahutan. Derasnya hujan seolah berlomba dengan air mata Kamalla yang tak bisa berhenti meski sudah dia paksa.

"Ayo Kamalla jangan nangis," berkali-kali Kamalla mengucapkan kata itu dengan suara bergetar. Namun sekeras apapun usahanya justru semakin membuatnya lemah dan tak bisa menahan dirinya untuk terus menangis.

Radhit, Kia, kenapa? Harusnya kalian jujur. Gue Ikhlas kok. Dalam benaknya mengatakan itu, namun hal itu berbanding terbalik dengan keadaannya saat ini. Hari itu benar-benar seperti mimpi buruk baginya. Dua orang yang sangat dia percaya tega melakukan ini semua. Hatinya benar-benar hancur sekarang.

Di tengah keterpurukannya, Kamalla masih melajukan motor yang dia kendarai. Entah kemana tujuannya, Kamalla hanya mengikuti lajur jalan yang dia lalui. Sampai pada akhirnya dia terjatuh ketika melintasi jalan menurun. Kamalla lantas bangkit dan kembali mengendarai motor dengan sisa tenaga yang dia punya.

Tak jauh dari sana Kamalla melihat sebuah bangunan semi permanen di tepi jalan lengkap dengan bangku kayu panjang di bagian depan. Bangunan itu merupakan bekas warung yang sudah lama ditinggalkan oleh pemiliknya. Dia menghentikan laju motornya kemudian duduk di bangku kayu itu.

...****************...

"Lo aja yang urus, Bro. Gue mau hitung stock oli dulu, mumpung sepi," ujar seorang laki-laki berperawakan kurus sambil meletakkan segelas teh hangat dan kotak P3K di atas etalase.

"Kenapa harus gue?"

"Kan lo yang nyuruh dia kesini. Kalau mau nolong, jangan nanggung-nanggung," katanya lagi. "Nih lo kasih."

Laki-laki yang barusan disapa Bro itu mendengus kesal kemudian bangkit dari duduknya.

"Iya bentar, gue cuci tangan dulu," ujarnya lalu berjalan menuju keran air yang terpasang di dinding depan bengkel.

Laki-laki berstelan kaos lengan buntung yang menunjukkan otot lengannya itu memutar tuas keran kemudian mulai membasuh telapak tangan dan jari-jarinya yang dipenuhi oli. Sesekali dia melirik gadis kuyup yang masih duduk di kursi antrian. Setelah selesai dengan kegiatannya membersihkan tangan--yang sebenarnya hanya formalitas--laki-laki itu menghampiri gadis itu dengan kotak P3K dan teh hangat.

"Minum dulu, biar nggak masuk angin."

Kamalla yang semula tertunduk langsung mengalihkan pandangannya ke arah laki-laki itu. Tangannya yang masih gemetar karena dingin perlahan meraih gelas bening berisikan teh hangat. Dengan cekatan laki-laki berkulit sawo matang itu sibuk menyiapkan perban yang ditujukan untuk mengobati luka di lutut Kamalla.

"Kenapa natap saya begitu?" laki-laki itu menghentikan kegiatannya kemudian melirik tangannya yang memang belum bersih sempurna. "Saya udah cuci tangan."

Kamalla menggelengkan kepalanya kemudian menyesap teh hangat sambil sesekali melirik laki-laki di hadapannya.

"Sedikit oli nggak bikin luka Mbak infeksi kok. Tenang aja," ujarnya ketika perban selesai dipasang. "Kalau pun infeksi, tinggal amputasi."

Kamalla menatapnya dengan tajam.

Laki-laki itu balas menatap Kamalla dengan geli.

"Bercanda Mbak," katanya lagi sambil menutup kotak kecil itu. "Makanya kalau belum lancar bawa motor, jangan lah. Bahaya. Masih untung nggak nabrak orang."

Kamalla hanya terdiam. Dia teringat pesan Radhit agar tidak perlu mengendarai motor sendiri karena berbahaya. Tanpa dia sadari, airmata itu menetes lagi.

"Lah malah nangis. Ini lukanya nggak seberapa, besok juga sembuh kok. Tenang, nggak bakalan diamputasi."

Alih-alih menenangkan, Kamalla justru menangis sejadi-jadinya yang akhirnya membuat laki-laki di hadapannya panik.

"Wah lo apain anak orang Bro?" tanya rekan laki-laki itu yang muncul tiba-tiba lantaran mendengar tangisan Kamalla.

Laki-laki di hadapan Kamalla itu menggeleng cepat. "Gue cuma amputasi kok!"

"Haah!?" rekannya itu terbelalak.

"Eh! Ngobatin!"

Kamalla masih terisak. Rasa sakit di kakinya tidak sebanding dengan luka hatinya.

...****************...

"Mbak udah Mbak," ujar seorang laki-laki berambut ikal dengan potongan cepak itu sambil terus melajukan motor. Sementara Kamalla yang duduk di boncengan masih tidak bisa menghentikan tangisnya. "Malu Mbak dilihatin orang."

Hujan sudah lama reda sore itu, namun tangisan Kamalla malah sebaliknya. Alhasil rekan dari laki-kali itu memintanya untuk mengantarkan Kamalla pulang. Meskipun pada awalnya penuh dengan penolakan, laki-laki itu akhirnya turut juga karena tidak tega melihat kondisi gadis yang baru ditemuinya itu.

"Kalau Mbak nangis terus, 'kan saya yang nggak enak. Dikira saya kejam sama pacarnya."

Mendengar ucapan itu, Kamalla perlahan mulai mengontrol tangisannya. Kamalla tidak banyak bersuara, kecuali ketika dia menunjukkan arah jalan.

"Kiri kiri!" ujar Kamalla tiba-tiba.

"Dikira angkot kali," gerutu laki-laki itu sambil menghentikan laju motor tepat di depan rumah Kamalla.

"Rumah saya di sebelah kiri."

"Oh."

Kamalla mengambil alih motor setelah laki-laki itu turun.

"Makasih ya Mas."

Laki-laki itu tak menggubris kata-kata Kamalla, dia malah sibuk mencari sesuatu di saku celana dan jaket jeansnya.

"Apa?" tanya Kamalla.

"Hape saya ketinggalan."

"Mau saya anterin ke bengkel lagi?"

"Kalau begitu nggak selesai-selesai dong Mbak."

"Terus gimana?"

"Pinjam hape Mbak buat telpon ke sana, boleh?"

Kamalla menghela nafas sejenak. "Iya boleh."

"Nggak usah kalau nggak ikhlas."

"Mas 'kan tahu saya habis kehujanan. Saya cuma nggak yakin kalau hape saya masih nyala," ujar Kamalla sambil mengeluarkan handphone dari saku celananya. "Masih nyala ternyata."

"Kamalla, mana belanjaan Ibu, Nak?" ujar Rukmi sambil menghampiri kedua remaja itu. "Loh kok basah-basahan begini? Ini kaki kamu kenapa Nak? Ini siapa?"

"Bu, nanyanya satu-satu," kata Kamalla. "Tadi habis nganter Jenny, Kamalla kehujanan, jatuh, terus ditolongin sama dia."

"Haduh kamu tuh hati-hati harusnya," ujar Rukmi cemas. "Untung ada kamu, Nak. Siapa nama kamu?"

"Saya Bara, Tante," laki-laki bernama Bara itu menyalami Ibu Kamalla setelah sebelumnya mengelap telapak tangannya.

"Makasih ya Nak. Untung ada Nak Bara, kalau nggak gimana nasib Kamalla!?"

"Cuma jatuh biasa kok Bu." ujar Kamalla.

"Maklum ya Nak Bara, namanya juga anak semata wayang. Jadi Ibu suka berlebihan khawatirnya," kata Rukmi sambil terkekeh.

"Nggak apa-apa kok Tante."

"Kamu cepat mandi Nak, nanti masuk angin. Biar Ibu yang taruh motornya."

"Biar saya aja Tante."

"Haduh nggak usah Nak Bara, jadi ngerepotin lagi."

"Nggak kok Tante. Kalau nolong 'kan nggak boleh setengah-setengah."

Rukmi kembali terkekeh mendengar ucapan pemuda itu.

...****************...

"Itu waktu Kamalla usianya sekitar tujuh bulan," ujar Rukmi sambil meletakkan semangkuk sup jagung dan teh hangat di atas meja ruang tamu. Bara yang saat itu sedang memandangi bingkai foto--Rukmi yang sedang menggendong Kamalla kecil di halaman rumah--yang terpasang di dinding itu hanya tersenyum melihat kedatangan Ibu Kamalla. "Tetangga depan rumah yang fotoin, katanya gemas lihat Kamalla. Tapi mereka sudah lama pindah."

"Oh jadi yang tinggal di sana udah beda orang."

Ibu Kamalla menggeleng pelan. "Yang Ibu tahu, Pak Dirga dan keluarganya pindah ke Serang. Rumahnya dibiarkan kosong, paling sesekali orang suruhannya datang buat bersih-bersih."

"Pantas kelihatan terawat, saya kira emang ada yang tinggal di sana."

"Ibu juga nggak tahu pasti alasan mereka pindah dan nggak menjual rumah itu."

"Mungkin rumahnya penuh kenangan, jadi sayang buat dijual."

"Bisa jadi," ujar Rukmi sambil tersenyum. "Ayo supnya dimakan, Nak Bara. Mumpung masih panas."

"Iya terima kasih Tante. Sampai lupa," ujar Bara kemudian duduk di hadapan meja tamu yang disusul oleh Ibu Kamalla. Perlahan dia menyeruput sesendok sup jagung yang masih mengepulkan asap itu.

"Kalau Ayah Kamalla kemana Tante?" pertanyaan yang sedari tadi terus terlintas di kepala Bara akhirnya berhasil dia lontarkan mengingat tidak ada satupun sosok laki-laki dewasa yang terpajang di deretan bingkai itu. Namun pertanyaan itu justru menjadi bumerang baginya ketika melihat ekspresi Rukmi berubah menjadi sendu.

"Belum pernah saya makan sup seenak ini," ujar Bara mengalihkan topik pembicaraan.

"Kamalla belum pernah melihat sosok Ayahnya," ujar Rukmi kemudian. "Sejak Kamalla berusia tujuh hari, Ayah Kamalla meninggalkan kami."

Bara mengangguk pelan. Dia mengunyah sup itu dengan perlahan, mendengar ucapan wanita itu membuat rasa dari sup mendadak hambar. Sebagai orang yang baru pertama bertemu, tidak seharusnya Bara menanyakan hal yang begitu sensitif.

"Tapi Tante hebat. Bisa mengurus Kamalla walaupun sendirian."

"Biasa aja Nak Bara. Membesarkan dan mendidik anak itu sudah kewajiban Ibu sebagai orangtua. Ibu cuma nggak mau nasib Kamalla sama seperti Ibunya, lulus SD aja nggak."

"Beruntung ya Kamalla terlahir dari seorang Ibu seperti Tante."

"Semua orang tua di dunia ini pasti melakukan hal yang sama," Rukmi menatap Bara. "Begitu juga dengan orangtua Nak Bara."

"Mungkin Tante."

"Mungkin? Memang orangtua Nak Bara kemana?"

Bara menggelengkan kepalanya. Pandangannya lurus ke arah sup hangat itu beberapa saat lalu tersenyum memandang Rukmi. "Saya numpang tinggal di bengkel tempat saya kerja."

"Orangtua kamu pasti bangga punya anak laki-laki sepertimu Nak," ujar Rukmi kemudian mengelus puncak kepala Bara.

Bersambung...

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!