“Sebut saja namanya Cinta. Dia amnesia, sementara alasan kami bersama karena saya yang menyebabkannya mengalami amnesia. Saya tak sengaja menabraknya ketika dia mendadak menyebrang jalan tujuan saya.” Karena telanjur muak, Hasan memutuskan untuk mempersingkat kebersamaan di sana.
Nama Cinta Hasan pilih untuk gadis amnesia yang bersamanya. Gadis amnesia yang memintanya menyerah. Calon pasangan yang rela dinikahkan paksa dengannya, daripada mereka merega.ng nyawa dengan sia-sia.
“Cinta ...?” batin si gadis amnesia yang masih duduk di sebelah Hasan.
Mereka sudah digiring ke rumah RT setempat. Hasan dan gadis amnesia yang akhirnya dipanggil Cinta, didudukkan di bangku kayu, dan siap dinikahkan.
Pernikahan pun terjadi meski Cinta belum mengetahui identitasnya. Sementara Hasan juga mengaku sebagai orang kampung yang kebetulan bekerja sebagai seorang sopir, di Jakarta.
“Aku terpaksa berbohong. Aku belum bisa mengungkap identitasku sekarang. Aku benar-benar belum siap dengan semua ini. Apalagi sekadar identitas gadis yang kunikahi saja, aku belum tahu. Aku tidak mau, hubungan kami membuat dampak fatal terhadap keluarga khususnya orang tuaku. Maaf banget yah, Ta. Namun perlu kamu tahu, nama mamaku juga Cinta. Aku memberimu nama itu karena kamu juga tak kalah istimewa dari mamaku!” batin Hasan.
“Andai ternyata saya sudah memiliki suami, ... bahkan saya sudah memiliki keluarga kecil, apakah kalian mau bertanggung jawab?” tanya Cinta yang kemudian menunduk pasrah. Tak beda dengan Hasan, Cinta juga merasa sangat terpukul. Sungguh bukan hanya fisiknya saja yang babak belur. Karena mentalnya juga. Cinta merasa sangat tertekan bahkan stres. “Lebih baik aku mati! Aku ingin mati saja daripada aku harus menjalani hidup apalagi pernikahan paksa seperti ini!” batin Cinta yang memang berniat untuk bunu h diri secepatnya.
Selembar uang dua puluh ribu yang Hasan temukan di kantong sisi celana kanan levis hitamnya, menjadi emas kawin pernikahan pak.sa Hasan dan Cinta. Sungguh kejadian yang sangat miris, tapi diam-diam, Cinta memiliki rencana untuk melaporkan apa yang mereka dapatkan, ke polisi.
“Iya ... ketimbang aku mengakhiri hidupku, lebih baik aku balas dendam. Aku harus memperjuangkan keadilan untuk diriku sendiri. Aku harus membuat mereka sadar, bahwa main hakim sendiri seperti sekarang ini tidak dibenarkan!” batin Cinta yang mendadak berubah pikiran.
“Kalian bilang, kalian tidak punya tujuan? Kalian bisa menempati salah satu kontrakan di sebelah,” ucap pak RT dan masih disaksikan oleh warga yang sempat merun.dung Hasan maupun Cinta.
“Tidak perlu Pak. Nanti kami cari tempat lain saja sambil cari kerjaan.” Tak ada kata terima kasih yang Cinta ucapkan. Karena pada kenyataannya, ia memang sangat marah.
Cinta segera memapah Hasan. Meski tubuh Hasan jauh lebih besar sekaligus lebih tinggi darinya. Juga, Cinta yang terluka tak kalah parah, Cinta berjuang untuk segera pergi dari sana. Agar ia bisa segera memperjuangkan keadilan untuknya dan Hasan.
“Kenapa kita enggak menerima tawaran mereka saja? Aku capek banget. Rasanya beneran sudah enggak sanggup. Beneran kayak mau mati. Sakit banget,” ucap Hasan.
Sekadar bersuara saja, Hasan hanya bisa menghasilkannya dengan suara yang sangat lirih. Hasan menangis karena rasa sakit luar biasa dari setiap luka-lukanya.
“Bertahanlah sebentar lagi. Bertahanlah karena aku akan melakukan apa yang aku bisa. Kita harus melaporkan ini ke polisi!” Cinta juga sudah nyaris pingsan.
“Kita enggak punya uang, sementara lapor ke polisi butuh uang!” balas Hasan.
“Aku pastikan, mereka tetap akan menangani kita. Bahkan meski kita tidak punya uang!” tegas Cinta yakin seyakin-yakinnya.
Cinta dan Hasan masih menelusuri jalan kompleks. Mereka nyaris menuju jalan raya. Hanya saja, seolah Tuhan sengaja makin menguji tekad mereka, hujan deras mendadak turun.
“Bertahan ... bertahan lah demi keadilan untuk kita. Agar aksi main hakim sendiri tidak terjadi lagi! Cukup kita saja yang merasakannya, jangan sampai yang lain!” isak Cinta yang sebenarnya juga sudah ingin menyerah.
Mendengar Cinta sampai tersedu-sedu. Tubuh Cinta sudah gemetaran hebat, demam, tapi masih berjuang memapah Hasan. Kenyataan tersebut membuat hati seorang Hasan tersentuh.
“Gadis ini ... hatinya mulia sekali. Sepertinya, sebenarnya dia juga bukan orang sembarangan,” pikir Hasan. Tiba-tiba saja, Hasan juga jadi merasa bersalah karena biar bagaimanapun, dia sudah berbohong mengenai identitasnya.
Kegigihan Cinta dalam memperjuangkan keadilan untuk mereka sambil terus memapah Hasan, menjadi kekuatan tersendiri untuk Hasan. Karena kenyataan tersebut juga, Hasan menguatkan diri. Malahan beberapa saat kemudian, justru Hasan yang menggendong Cinta.
Berjuang, berjuang, dan berjuang, akhirnya mereka sampai di teras sebuah kantor polisi. Teras yang di dalam ruangannya masih terbilang ramai. Hasan terbanting, begitu juga dengan Cinta yang digendong. Keduanya sama-sama nyaris sekarat. Kedua mata sayu mereka nyaris terpejam.
“T—olong!” Kata itu terus terlontar dari bibir Hasan maupun Cinta.
“Kami mohon, ... kami mohon tolong kami!”
Sampai akhirnya polisi keluar dari dalam kantor polisi, mereka berdatangan dan langsung memberikan pertolongan.
***
Keesokan harinya, Hasan dan Cinta akhirnya sama-sama siuman. Keduanya berada di sebuah ruang rawat yang sama. Keduanya ada di ranjang rawat yang bersebelahan.
Suasana masih gelap khas malam, ketika mereka melihatnya dari jendela yang tak tertutup gorden.
“Aku percaya, bahwa sebentar lagi, warga itu akan mendapatkan balasan setimpal. Harusnya mereka kapok dan tidak asal main hakim sendiri lagi,” ucap Cinta dengan suara masih lirih. Ia berangsur duduk.
Sedih dan kecewa masih Cinta rasa. Cinta masih kehilangan semangat hidup. Ia bahkan tak berniat memperjuangkan jati dirinya yang amnesia. “Karena jika aku memang masih memiliki keluarga. Jika mereka benar-benar peduli, ... mereka pasti akan mencariku. Sementara sejauh ini, aku sudah satu minggu lebih bersama Hasan,” batin Cinta.
Kendati hati dan mental Cinta sudah sangat rapuh, Cinta tidak menunjukkannya kepada Hasan. Karena ketika di hadapan Hasan, Cinta akan berusaha menjadi wanita tangguh. Sekadar menangis saja, Cinta tidak akan melakukannya.
“Nama mamaku Cinta. Aku sengaja memberimu nama itu karena aku yakin, kamu juga wanita luar biasa seperti mamaku,” ucap Hasan yang kemudian berterima kasih kepada Cinta.
“Terima kasih banyak karena sudah menjadi wanita tangguh yang istimewa. Ayo, kita lanjutkan perjuangan kita dalam memperjuangkan keadilan. Agar, ... agar orang-orang seperti mereka, tak lagi main hakim sendiri,” ucap Hasan kali ini terdengar manis bahkan di telinganya sendiri.
Cinta yang sudah berhasil duduk, menunduk loyo dan membiarkan air matanya jatuh. “Aku berhak menangis. Dan aku percaya, aku juga akan mendapatkan keadilan itu,” batinnya optimis.
Melihat Cinta justru menangis, hati Hasan seolah teriris. “Hei ...?” panggil Hasan lembut.
Dengan air mata berlinang membasahi pipi, Cinta menatap Hasan. Kenyataan yang justru membuat kesedihan seorang Cinta menular kepada Hasan. Kedua mata Hasan berembun dan perlahan benar-benar basah.
“Aku mohon jangan menangis. Sampai kapan pun. Apa pun yang terjadi, ... aku akan selalu bersamamu. Aku akan melakukan yang terbaik! Kita pasti bisa bahagia!” lembut Hasan lagi.
Sikap Hasan yang mendadak menjadi manis malah membuat dada Cinta sesak. Cinta merasa sangat nelangsa karena Cinta belum bisa percaya kepada laki-laki yang telah menjadi suaminya.
Selalu sama-sama. Hasan akan selalu melakukan yang terbaik. Bahkan Hasan akan membahagiakannya. Benarkah? Bukankah sekadar kenal saja, mereka belum? Mereka sungguh tak lebih dari orang asing yang dipaksa bersama dalam pernikahan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 72 Episodes
Comments
Kamiem sag
ikut baca
2025-04-03
0
Sarti Patimuan
Perjalanan hidup yang begitu berat buat mereka berdua
2024-03-07
0
we
dapat keadilan kah cinta
2024-03-02
0