19 - Worst Man

“You’re the worst one that I ever seen.”

Apa Arga marah mendapatkan penilaian seperti itu? Mungkin sedikit tetapi ia menyembunyikannya dalam wajah datarnya. Ia menghela napas dan memejamkan matanya, “Kamu tau? Saya sangat lelah Vyora.”

“Terus?”

“Jadi jangan bertingkah dan membuat saya semakin lelah.”

Vyora membuang wajahnya dan tersenyum kecut. Menurutnya yang bertingkah dan membuat ulah dari tadi adalah Arga, tetapi mengapa jadi dirinya yang seolah-olah terus membuat pria itu susah? Padahal kan Arga yang terus membuatnya kesal.

“Mas tau nggak kalau mas lagi nyindir diri mas sendiri. Dari tadi perasaan mas yang ganggu aku mulu dan sekarang mas udah bikin aku kehilangan proyek tau nggak.”

Kening Arga mengernyit, “Maksud kamu?”

Wanita itu menghembuskan napasnya, “Mas tau nggak kalau aku lagi bahas proyek besar dari Max tadi, tapi mas ngerampas hp aku gitu aja dan matiin panggilan penting itu. Sadar nggak kalau apa yang mas lakuin itu salah?”

Kali ini Arga terdiam. Pria itu tak dapat lagi membalas perkataan istrinya. Apa sikapnya memang telah keterlaluan dengan Vyora? Apa wanita itu mengatakan yang sebenarnya? Apa, apa dan apa. Semua pertanyaan mulai muncul memenuhi pikirannya yang membuatnya mulai merasa bersalah.

“Mas bisa pergi nggak? Aku pengen sendiri.”

Suara Vyora membuyarkan lamunan Arga. Pria itu menatap kedua netra istrinya dan mengambil ponsel yang ada dalam sakunya, mengembalikannya pada sang empu, “Maaf saya nggak tau.”

Vyora tertegun mendengar ucapan Arga. Ia tak menyangka jika pria dengan rasa gengsi tinggi itu akhirnya mau melawan egonya dan meminta maaf. Ya meskipun ia tak tau permintaan maaf yang Arga lontarkan merupakan permintaan maaf yang tulus atau bukan, tetap saja ia merasa tak percaya.

Tanpa sadar tangan Vyora terulur untuk menyentuh dahi Arga. Tak ada sengatan suhu yang tidak normal, pria itu jelas baik-baik saja dan sadar dengan perkataannya.

“Kamu ngapain sih?”

“Mas beneran minta maaf?” pertanyaan polos Vyora muncul tanpa menurunkan tangannya dari dahi Arga.

Sejenak keduanya saling menautkan pandangan dalam jarak yang cukup dekat hingga wanita itu tersadar dan menjauhkan tubuhnya. Entah mengapa ia merasa aneh dengan situasi yang sedang terjadi antara dirinya dan suaminya. Sungguh aneh hingga ia tak dapat mendeskripsikannya dengan kata-kata.

Bukan hanya Vyora yang merasa aneh, namun pria yang telah mengalahkan banyak penjahat itu juga merasa hal yang serupa. Ia benar-benar tak mengerti apa yang sedang terjadi dengan dirinya ketika menghadapi istrinya saat ini. Rasanya seperti ada sengatan listrik yang menjalar ke sekujur tubuhnya dengan intensitas yang sangat kecil tetapi tetap membuatnya merasakan sengatan itu.

Sepertinya ia memang sudah gila. Menghadapi wanita muda yang penuh dengan intrik memang lebih sulit daripada melawan puluhan penjahat sendirian. Ia pun segera beranjak meninggalkan istrinya karena tak ingin semakin masuk ke dalam kegilaan ini.

Namun langkah Arga tiba-tiba terhenti ketika ia mengingat sesuatu. Ia pun kembali menatap wanita itu, “Buat Giselle, kamu boleh melakukan apa yang kamu mau. Buna atau panggilan apapun saya tak masalah karena pada kenyataannya kamu tetap bukan ibu kandungnya.”

Hati Arga bergemuruh di balik wajah datarnya. Ia menghakimi mulutnya sendiri yang tidak bisa mengeluarkan pernyataan yang sesuai dengan isi kepalanya. Ia tak bermaksud mengatakan hal itu kepada Vyora. Ia sungguh tak berniat melukai perasaan wanita itu lagi, “Maksud saya…”

“Aku tau kok. Ibu kandung Giselle tetep Mbak Meysa, begitupun istri kamu. Aku paham banget sama posisiku disini. Tapi makasih karena udah ngizinin aku ngelakuin apapun yang aku mau sama Giselle meskipun aku bukan ibu kandung nya.”

“Mas boleh pergi sekarang,” tegas Vyora.

Wanita itu menatap bulan yang baru muncul seiring kepergian Arga. Ia bergulat dengan hatinya. Rasanya seperti ia tengah terjatuh dari tebing yang begitu tinggi setelah bersusah payah mencapai puncak. Perkataan Arga sekali lagi melukai hati kecilnya.

Mbak Meysa bisa liat dari atas sana apa yang terjadi sama aku kan. Kalo iya berarti Mbak Meysa bisa tau kan apa yang suami kamu lakuin ke aku. Sebenernya kenapa harus aku mbak yang gantiin kamu?? Mbak mau aku kayak gimana sebenernya??

Tanpa sadar cairan yang berusaha Vyora tahan mati-matian keluar tanpa ia perintah. Hatinya semakin sesak seiring dengan semakin banyak air yang menetes dari kelopak matanya. Berulang kali ia memukul dadanya untuk menetralisir rasa sesaknya, tetapi semakin ia pukul semakin sesak dan menyakitkan.

Vyora bukanlah wanita lemah, ia juga bukan wanita yang mudah menangis seperti ini. Namun entahlah sepertinya tingkat sensitivitasnya meningkat saat ini hingga ia sulit untuk mengontrol emosinya. Pada akhirnya, ia pun menyerah. Ia menekuk lututnya dan menenggelamkan kepalanya di sana seraya menangis sejadi-jadinya sampai hatinya tenang.

Tangisan itu sampai pada kedua netra Arga. Sebelumnya ia sama sekali tak peduli dengan apa yang wanita itu lakukan, baik sedih maupun bahagia. Namun mengapa sekarang seolah hatinya juga tertusuk pisau tajam yang membuatnya sakit? Apa ia mulai memiliki rasa untuk Vyora?

Arga menggeleng. Kembali ia menyangkal bahwa ia tak mungkin memiliki perasaan pada Vyora. Cintanya hanyalah untuk Meysa sampai kapanpun. Ia hanya merasa bersalah karena ucapannya pada wanita itu yang membuatnya sampai menangis.

Drrtt…drrtt…

Dering ponsel tiba-tiba mengalihkan atensi Arga. Ia pun segera menerima panggilan itu dan menjauh dari kamar, meninggalkan istri dan anaknya. Memberikan waktu bagi Vyora agar lebih tenang.

...-+++-...

Sinar surya yang mulai meninggi menemani seorang wanita yang masih tertidur pulas di tempatnya. Di sampingnya pula terlihat seorang bayi yang masih terbaring menatap langit-langit kamar dengan mata berbinar seraya menggerak-gerakkan kakinya gemas.

Vyora, wanita itu sontak membuka matanya kala telinganya mendengar suara tangisan. Ia segera menggendong Giselle dan menenangkan bayi itu, mengabaikan rasa pusing yang menyelimuti kepalanya.

“Ssttt kenapa sayang… buna di sini,” ujar Vyora menimang bayi itu.

Cukup lama wanita itu menenangkan Giselle hingga menghentikan tangisannya. Setelah bayi itu kembali tenang, Vyora kembali menidurkan Giselle dan memanggil Ina untuk menemani bayi itu selama dirinya membersihkan diri.

Ketiduran ketika menangis memang menimbulkan efek yang sangat mengganggu setelah bangun. Itulah yang dirasakan Vyora saat ini. Hal terakhir yang ia ingat adalah ia menangis di balkon semalam. Namun bagaimana ia bisa bangun di atas kasur? Ia terus memikirkan hal itu selama ia bersiap.

Ketika keluar dari kamar mandi, tiba-tiba langkah Vyora terhenti ketika netranya menangkap sosok yang sedang tidur di samping putri kecilnya. Arga, pria itu terlihat sangat lelap dengan pakaian sama seperti yang pria itu kenakan tadi malam. Tadi malam sepertinya…

Apa Mas Arga yang pindahin gue?

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!