“Pak Asrul?”
Vyora dan Asrul menoleh ke sumber suara itu secara bersamaan. Suara bariton yang khas itu ternyata milik Arga yang sudah berdiri di samping Vyora. Yang membuat wanita itu terkejut adalah sikap Asrul yang sangat hangat kepada Arga, berbeda seratus delapan puluh derajat kepadanya.
Dosen paruh baya itu membenarkan kacamatanya dan menyalami Arga dengan sopan, “Kolonel Arga kan? Sudah lama tidak bertemu ya.”
Kolonel? Vyora memandangi Asrul dan Arga bergantian seolah meminta penjelasan. Namun suaminya itu hanya menoleh kepadanya sekilas dan kembali mengalihkan perhatiannya pada dosen itu tanpa mau memberikan penjelasan kepada istrinya yang sedang bingung.
“Iya sudah lama,” balas Arga ramah.
Keramahan Arga membuat Vyora melebarkan matanya. Benarkah pria di samping nya ini adalah pria yang sama dengan suami diktatornya? Bahkan pria itu juga tersenyum kepada Asrul, sangat berbeda dengan sifat Arga kepadanya.
“Jadi kolonel ada urusan apa di sini?” tanya dosen itu ramah.
Arga menunjuk Vyora dengan dagunya, “Saya mengantarkan dia ke sini untuk mengurus tugasnya yang bermasalah,” jawabnya yang membuat Asrul terkejut.
Pria itu menatap Arga dan Vyora bergantian, “Memangnya ini siapanya kolonel? Keluarga kah? Atau siapa?”
“Dia is-”
“Saya adik istrinya mas Arga pak,” potong Vyora.
Lihatlah bagaimana pria itu menatap tajam Vyora. Benar-benar berbeda bukan dengan cara Arga bersikap di depan Asrul? Namun biarlah, Vyora tak peduli karena saat ini yang terpenting baginya adalah nilai yang sedang ia perjuangkan bagaimana pun caranya bahkan jika harus berbohong sekalipun.
Mendengarkan fakta yang mengejutkan itu membuat Asrul mengangguk pelan. Ia menatap Vyora dengan teduh seraya tersenyum, “Namamu tadi Vyora ya. Alettha Vyora Nazellya, betul?”
“Betul pak,” sahut Vyora bersemangat.
Pria itu terlihat mengotak atik ponsel nya sebelum kembali menatap Vyora, “Ya sudah, tugas kamu sudah bapak nilai A jadi kamu tidak perlu mengulang ya, dan semester depan juga kamu nggak perlu mengulang matkul,” jelasnya membuat senyuman terbit di wajah Vyora.
Dosen itu kembali menatap Arga dan tersenyum, “Kalau gitu saya permisi dulu ya kolonel karena masih ada urusan. Titip salam kepada istri dan anak kolonel yang baru lahir. Kemarin Zaka yang mengatakan kepada saya.”
Arga hanya menanggapinya dengan senyuman. Ia menatap kepergian dosen itu sebelum berjalan kembali menuju mobil. Vyora pun hanya dapat mengikuti suaminya seperti anak bebek.
Rasa penasaran yang sementara hilang, tiba-tiba kembali dan membuat nya tertarik untuk bertanya. Setelah kembali masuk ke dalam mobil ia pun segera mengeluarkan isi hatinya, “Mas kenal sama Pak Asrul?” tanyanya to the point.
Pria itu mengangguk, “Anaknya anak buah saya.”
Wanita itu mengangguk paham. Vyora jadi memahami alasan perubahan sikap dosennya tadi. Ia yang selalu berpikiran negatif pun langsung menyimpulkan bahwa pria itu bersikap baik padanya agar Arga juga bersikap baik pada anak dosen itu. Siapa namanya tadi? Zaka? Pasti dosen itu ingin pangkat anaknya naik dengan mudah.
“Mas hati-hati ya sama anaknya. Kalau tiba-tiba dia minta naik pangkat jangan dikasih.”
Arga mengangkat tangan kirinya, “Stop! Saya nggak suka membicarakan orang lain. Lagi pula harusnya kamu berterima kasih karena anak pak Asrul bekerja di divisi yang sama dengan saya jadi beliau membatalkan tugas tambahan kamu."
Benar. Se menyebalkan apapun sikap Arga kepadanya, Vyora memang tetap harus berterima kasih hari ini. Ia pun menganggukkan kepalanya beberapa kali seraya mengucapkan, “Terimakasih… terimakasih kepada kolonel Arga yang terhormat.”
Seulas senyum yang sangat tipis menghiasi wajah Arga sebelum pria itu tersadar dan mendatarkan kembali wajahnya. Pria itu berdehem dan melajukan mobilnya dengan cepat.
...-+++-...
"Ngapain ke sini?” tanya Vyora ketika mobil yang mereka tumpangi berhenti di depan pedagang kaki lima.
Namun tak ada jawaban, Arga langsung turun dari mobil tanpa menjawab pertanyaan Vyora yang membuat wanita itu mendengus kesal. Masih saja suaminya bersikap menjengkelkan. Dengan rasa kesal, Vyora pun turun dari mobil. Ia mengikuti langkah Arga dan duduk di salah satu bangku kursi itu.
Pria itu memesan dua porsi bubur ayam dan es teh, membuat Vyora kembali bersuara, “Aku nggak suka bubur ayam jadi mas aja.”
“Siapa bilang saya pesan untuk kamu? Itu untuk saya dua-duanya," elaknya yang tak ingin malu.
Pernyataan Arga membuat Vyora tercengang. Ia mengedip beberapa kali sebelum mengambil ponselnya dan mengangkat panggilan yang masuk. Kali ini dengan gerakan cepat ia menarik ikon telepon hijau dan mendekatkan benda pipih itu ke telinga sebelum Arga menghentikannya.
“Halo, ada apa?” tanya Vyora
Terdengar kehebohan di seberang sana, “Ih lo tadi dianter siapa Vy nemuin Pak Asrul? Kenapa lo akhirnya nggak usah ngerjain ulang tugas lo? lo nyogok Pak Asrul ya??” oceh Mina dari seberang sana.
“Iya nih siapa hayoo. Eh tapi kok gue kek kenal sama mukanya ya. Familiar tapi siapa ya? Itu bukan Max kan Vy???” sahut Caroline.
Dasar manusia tukang ghibah. Vyora hanya menggelengkan kepalanya mendengarkan ocehan kedua sahabatnya. Sekilas ia melirik Arga yang sedang menatapnya tajam dan kembali mengalihkan pandangannya ke sekitar.
“Nanti deh gue ceritain. Udah dulu ya,”
“Eh tunggu sebentar!” cegah Caroline saat Vyora hendak menutup teleponnya. “Lo nggak lupa kan nanti malem kita ada party di club nya Baskara. Nanti kita jemput di kos lo ya.”
Ah iya, party. Vyora sampai lupa dengan pesta itu. Namun bagaimana ia bisa datang dengan suami strict nya ini. Pun ia juga tak tinggal lagi di kos sekarang karena pernikahannya. Jarak kosnya pun jauh jadi tak memungkinkan untuknya menyelinap keluar dan sampai di kos tepat waktu.
Wanita itu mengetuk-ketukkan telunjuknya ke meja, “Nggak dulu deh, sampaiin aja salam gue buat Baskara. Selamat atas pembukaan clubnya, dan maaf gue gabisa dateng gitu. Besok deh gue ceritain semuanya ke kalian kenapa gue gabisa dateng. Dah dulu, bye!”
Arga memperhatikan Vyora sejak tadi. Ia memperhatikan bagaimana wanita itu berucap dan bertingkah. Wanita itu sungguh berbeda dengan mendiang istrinya. Padahal Meysa dan Vyora lahir dari rahim yang sama namun mengapa kedua wanita itu memiliki sifat yang berbeda?
Dari percakapan yang Arga dengarkan, istri barunya ini seperti nya lebih liar. Bahkan mungkin sangat liar dibandingkan mendiang istrinya yang tak pernah sekalipun menginjakkan kaki nya di tempat hiburan malam seperti yang Vyora bicarakan.
“Vyora,” panggil Arga membuat Vyora menatapnya. Bahkan tatapan wanita itu berbeda dari Meysa. Tatapan wanita itu terkesan lebih berani dibandingkan istrinya yang memiliki tatapan penurut.
Arga menghela napasnya, “Kamu… kenapa kamu itu sangat berani dengan saya?”
“Hah? Maksudnya?”
“Kita bahkan belum saling mengenal tapi kenapa kamu sangat berani kepada saya? Kenapa kamu selalu mendebat dan melakukan semua hal yang saya larang? Kamu nggak lupa saya siapa kan?”
Vyora mengangguk. Ia tau maksud dan arah pembicaraan ini. Ia pun menopang dagunya dengan kedua tangannya seraya menatap seluruh inci wajah Arga. Alis tebal, mata hitam pekat, hidung mancung bibir tipis dan rahang tegas. Padahal wajah pria itu sempurna untuk menjadi suaminya tetapi mengapa ia tak menyukai Arga ya?
Vyora kembali menegakkan tubuhnya, “Mas adalah suami almarhumah Mbak Meysa,” jawabnya.
Pria itu mengangguk membenarkan, “Lalu kenapa sikap kamu sangat berbeda dengan sikap Meysa?”
"Maksud mas?"
"Meysa tidak pernah sekalipun mendebat saya atau menaikkan nada bicara nya kepada saya. Dia juga selalu menuruti semua perintah saya, dia juga selalu menghargai semua peraturan yang saya buat untuk menjaganya dari dunia luar."
Lagi-lagi Meysa menjadi pembanding. Vyora sangat tak suka akan hal itu. Ia pun menghela napasnya tanpa mengalihkan tatapannya dari iris hitam Arga, “Mas emang orangnya kayak gini ya?”
“Kayak gini?”
“Iya. Mas itu orangnya pemaksa, kasar, melakukan semua yang mas mau, dan merasa bahwa mas superior. Maaf mas, kalau mas berharap aku akan bersikap seperti mbak Meysa yang akan diem aja nerima semua perlakuan itu, aku nggak bisa. Aku nggak sesabar Mbak Meysa dan aku bukan dia. Aku punya cara sendiri buat bersikap.”
Akhirnya sebuah jawaban keluar sendiri dari mulut Vyora. Sepertinya sikap superior Arga yang membuatnya tak suka dengan pria itu. Yang membuat jantungnya tak berdebar selama berdekatan dengan pria itu. Ia jadi ragu untuk mempertahankan pernikahan yang baru seumur jagung ini.
Arga terdiam mendengarkan penjelasan istri barunya. Wanita itu sangat lugas dalam berbicara dan ia tak menyukai hal itu. Ia tak menyukai kejujuran Vyora yang terlihat sangat tersiksa dalam kalimatnya. Sikap Vyora mendadak membuat napsu makannya hilang.
Vyora mengerutkan kening ketika melihat pria itu beranjak dari kursinya, “Nggak jadi sarapan bubur?” tanyanya menyadari bahwa kedua mangkok bubur Arga belum tersentuh sama sekali.
“Saya nggak laper,” singkat Arga dan berjalan menuju mobilnya meninggalkan Vyora.
“Emang aneh!”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 91 Episodes
Comments