“Dengarkan baik-baik, saya tidak suka dibandingkan dengan siapapun!”
Vyora terkekeh mendengarnya. Apa pria itu tak memiliki kaca? Apa Arga tak sadar bahwa pria itu yang selalu membandingkannya dengan Meysa bahkan menyuruhnya melakukan seperti yang kakaknya lakukan. Namun sekarang mengapa pria itu langsung marah ketika ia membandingkannya dengan Maxime yang jelas-jelas lebih baik darinya? Sungguh pria menyebalkan!
“Kenapa kamu ketawa?” tanya Arga tak suka.
Vyora menggeleng, “Nggak aku cuma mikir aja apa aku harus beliin mas kaca yang gede ya biar mas bisa ngaca? Mas… mas tau konsep give and take nggak? Seharusnya mas sadar kalau mas yang selalu bandingin aku sama Mbak Meysa jadi harusnya mas juga bisa nerima kalau aku bandingin sama Max.”
“Berani membalas ucapan saya kamu!”
"Kenapa aku harus takut kalau apa yang aku ucapin bener?"
Arga hanya dapat menggelengkan kepalanya. Baru kali ini ada orang yang berani mendebat bahkan menyanggah ucapannya. Bahkan Meysa tak pernah sekali pun mendebat nya ketika ia nasehati. Mendiang istrinya itu akan selalu meminta maaf jika melakukan hal yang tak ia sukai. Namun Vyora, wanita yang baru dua hari menjadi istrinya berani sekali mendebatnya.
Tujuan Arga kembali adalah untuk mengambil ponselnya yang tertinggal. Karena itu ia segera mengambil benda pipih itu dan kembali ke kamar mandi. Ia sudah tak tertarik berdebat dengan istrinya. Begitu pun dengan Vyora yang langsung memejamkan matanya ketika suaminya pergi. Ia ingin segera tidur agar tak perlu melihat wajah pria itu lagi saat pria itu kembali.
...-+++-...
Tring…tring…
Suara alarm akhirnya berhasil membangunkan Vyora setelah percobaan yang ketiga kali. Wanita itu menggeliat sebelum membuka matanya. Namun ketika membuka matanya, ia tak dapat menemukan keberadaan dua orang yang harusnya ada di kasur yang sama dengannya. Entah kemana perginya pria dewasa dan bayi itu.
Dengan langkah gontai Vyora keluar dari kamar untuk mencari Giselle. Setelah menuruni tangga akhirnya ia dapat bernapas lega ketika melihat Giselle yang terlihat nyaman dalam gendongan Ina.
“Pagi bu,” sapa Ina yang ditanggapi oleh senyuman Vyora.
“Pagi bi,” balas Vyora seraya mengambil alih Giselle yang telah wangi. Ia mengedarkan pandangannya sebelum bertanya, “Mas Arga mana bi kok nggak keliatan?"
“Oh pak Arga kalau jam segini bisanya lagi joging bu. Sebentar lagi juga kembali.”
Tepat setelah Ina menyelesaikan kalimatnya, tiba-tiba pintu terbuka dan menampilkan sosok Arga yang begitu bersinar karena pantulan cahaya yang mengenai bulir keringat pria itu. Arga berjalan mendekati Vyora yang tengah duduk di meja makan seraya memangku Giselle.
“Abis joging mas?”
Pertanyaan Vyora hanya dibalas oleh anggukan singkat dari Arga. Pria itu sepertinya sedang tak berminat mengobrol. Ia segera mengambil beberapa sendok nasi goreng buatan Ina dan segera memakannya.
Well, Vyora tak keberatan jika ia hanya ditanggapi oleh gestur tubuh. Baginya yang terpenting adalah pria itu dapat tenang dan tak mengeluarkan ocehannya dengan suara bariton yang dapat mengguncangkan rumah ini. Pun karena ia juga sudah lapar, ia ingin cepat mengambil nasi.
Hampir saja tangannya bergerak untuk mengambil nasi, tiba-tiba deringan ponsel mengalihkan atensi Vyora. Ia segera mengambil ponsel itu dan membaca nama yang tertera pada layar benda pipih itu. Ia harus segera menerimanya tetapi tatapan Arga yang terlihat tak suka membuatnya terganggu.
Wanita itu memilih beranjak untuk mengangkat teleponnya. Namun suara Arga menghentikan langkahnya, “Mau kemana kamu?” tanya pria itu dengan tatapan dingin.
Sungguh Vyora sangat membenci tatapan itu. Dengan enggan ia pun menjawab, "Temen nelpon. Penting, jadi harus aku angkat."
“Tapi saya belum mengizinkan kamu menerima telepon itu.”
Huft! Vyora memutar bola matanya jengah. Sekali lagi pertanyaan muncul di otaknya, bagaimana Meysa bisa tahan dengan pria yang posesif dan semaunya ini? Apakah sekarang mengangkat telepon juga harus menunggu persetujuan dari Arga? Tak bisakah Vyora bertindak seperti apa yang ia mau? Ia sungguh tak suka dikekang seperti ini!
“Emangnya kalau mas nggak ngizinin aku harus nolak telepon ini gitu?” debat Vyora yang sudah sangat lelah dengan sifat Arga.
Dengan enteng Arga mengangguk “Sebagai istri, kamu memang harus selalu menunggu persetujuan saya. Ingat Vyora, berperilakulah seperti Meysa."
Perdebatan mereka tak luput dari perhatian Ina dan beberapa pelayan lainnya. Beberapa dari mereka langsung berbisik. Samar-samar Vyora mendengar bahwa beberapa pelayan itu juga ikut-ikutan membandingkannya dengan Meysa yang tak pernah mendebat Arga. Sungguh membuatnya semakin kesal.
Sekali lagi harus Vyora tegaskan bahwa ia bukanlah Meysa dan tak akan pernah menjadi Meysa. Ia tak akan pernah bisa berada di bawah kendali Arga yang diktator ini seperti kakaknya. Ia pun mengepalkan kedua jarinya dan menatap Arga tajam, "Denger ya mas, aku nggak pernah suka dikekang kayak gini. Kalau mas mau istri yang penurut dan selalu ngikutin apa mau mas, mas hidupin kembali aja Mbak Meysa biar selalu nurut sama mas."
“Berani kamu ngomong seperti itu?!”
Sekali lagi pernyataan Vyora berhasil membuat amarahnya meningkat. Jika Arga bisa, ia juga sangat ingin menghidupkan kembali belahan jiwanya yang sangat mudah diatur. Ia juga ingin menjalani pernikahan dengan orang yang sama seperti dulu. Namun ia bukanlah Tuhan dan tak bisa mengatur kematian seseorang. Berani sekali wanita itu mempermainkan nama istrinya dengan lancang!
Mungkin menurut Arga, Vyora lancang. Namun siapa istri yang tahan jika terus menerus dibandingkan dengan istri lama suaminya yang telah tiada? Apalagi karena perdebatan yang terjadi, panggilan penting itu harus terputus tanpa Vyora ketahui maksud temannya. Jadi biarkan Vyora kesal sekarang.
Vyora hanya dapat menatap layar hitam itu dalam diam. Namun beberapa saat kemudian sebuah notifikasi muncul. Ia langsung membuka chat yang temannya kirimkan.
Vy tugas lo ketumpahan kopi. Sama bapaknya di suruh ulang cepetan deh lo ke kampus
Setelah membaca pesan itu, Vyora seperti orang linglung yang bingung harus melakukan apa. Pada akhirnya ia segera menitipkan Giselle kepada Ina dan segera berlari menuju kamarnya untuk mengambil tas, mengabaikan pria yang masih memperhatikan kepanikannya. Rambutnya ia cepol asal-asalan dan hanya mengoleskan lip gloss ke bibirnya agar tak terlihat pucat.
Setelah selesai bersiap, Vyora kembali berlari menuruni anak tangga untuk keluar dari rumah itu. Namun langkahnya terhenti ketika Arga yang sudah menunggu di depan pintu menahan tangannya yang membuat nya menghentakkan kaki dengan kesal, “Mas tolong jangan sekarang, aku lagi buru-buru."
“Kamu mau kemana?”
“Kampus,” singkat Vyora seraya memainkan ponselnya untuk memesan taksi.
Namun tangan Arga langsung merebut ponsel itu hingga membuat Vyora memukul lengannya dengan keras, “Balikin nggak! Mas tolong banget jangan sekarang!” sungut wanita itu.
Seolah tuli, pria itu malah memasukkan ponsel Vyora ke dalam saku celananya dan menyuruh sopir untuk mengambilkan kunci mobilnya. Selanjutnya ia pun menarik Vyora menuju mobil hitam itu, “Masuk,” titahnya.
“Hah?”
“Saya bilang masuk. Kamu bilang buru-buru kan.”
Wanita itu tak lagi mendebat. Ia segera masuk ke dalam mobil dan meminta suaminya untuk mengemudikannya dengan cepat. Ia tak peduli dengan siapa ia pergi sekarang karena yang ia pedulikan saat ini hanyalah cara agar cepat datang ke kampus dan mengurus tugasnya.
Setelah perjalanan kurang dari sepuluh menit, mereka pun akhirnya sampai di depan gedung kampus. Tepat sebelum membuka pintu, Vyora kembali berbalik menatap Arga, “Mas langsung pulang aja karena aku masih lama.”
Setelah keluar dari mobil, Vyora segera berlari untuk menemui dosen yang kebetulan sedang berjalan keluar gedung. Ia berlari secepat kilat dan mencegat dosen itu.
Dengan napas ngos-ngosan ia pun berkata, “Bapak perkenalkan saya Vyora yang tugasnya tadi nggak bapak terima. Pak, itu saya ngerjainnya berhari-hari nggak tidur loh pak masa gara-gara kesalahan yang nggak saya perbuat saya jadi harus ngulang.”
Dosen paruh baya itu pun terlihat tak suka mendengar protes mahasiswinya. Ia pun menghembuskan napasnya, “Terus kamu mau nyalahin siapa? Saya karena nggak sengaja numpahin kopi ke kertas kamu?”
Sebagai mahasiswi semester 5 DKV, tugas lukis yang dikerjakannya dalam waktu beberapa hari itu memiliki tingkat kesulitan yang tinggi sehingga ia tak sanggup jika harus mengulangnya dari nol apalagi karena kesalahan yang diperbuat oleh dosennya sendiri!
Dengan tegas Vyora mengangguk, “Kan memang bapak yang numpahin kopinya di tugas saya.”
“Berani kamu ya! Kalau gitu saya langsung kasih nilai kamu E. Kamu tidak perlu mengulang tugas itu tapi sampai ketemu di semester berikutnya ketika kamu mengulang mata kuliah ini,” jelas dosen itu sebelum meninggalkan Vyora.
“Bapak tunggu….”
“Pak Asrul?”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 91 Episodes
Comments
Rhenii RA
Pake tanda petik
2024-07-11
0