Tujuh belas

Suasana ruang makan kini terasa hangat, tidak seperti biasanya. Suara dentingan antara sendok dan piring saling bertaut, Bara yang melihat sekelilingnya tersenyum hangat, tidak seperti biasanya yang sepi dan juga terasa dingin.

"Valdo, hari ini kamu akan membawa Alena dan Naira ke rumah kamu bukan?" tanya Bara, memecahkan suasana.

"Iya, saya akan menunjukan rumah untuk Alena dan juga Naira," jawab Valdo.

Alena dan Naira saling pandang, mereka tau jika Valdo akan memisahkan Alena dan juga Naira. Tapi Alena dan Naira sebenarnya tidak mau, lebih baik di satu rumahkan daripada harus menempati satu orang satu rumah.

"Eum mas, aku boleh kasih pendapat?" tanya Naira lembut, Valdo yang merasa terpanggil hanya menolehkan kepalanya lalu mengangguk dan setelahnya fokus kembali pada makanannya.

"Kalau aku sama Alena di satu rumahkan, mas setuju gak?" Naira melirik sekilas ke arah Valdo yang kini memandangnya intens, dia menelan ludah nya. Valdo kini seperti ingin memakannya hidup-hidup.

"Eh mas sebentar, jangan liatin aku kaya gitu dong. Gini loh maksud aku, kalau aku dan Naira di satu rumahkan itu lebih menghemat pengeluaran, dan tentunya nanti kamu tidak perlu pusing memikirkan untuk biaya sewa rumah," jelas Naira panjang lebar untuk meyakinkan Valdo.

Valdo menghela napasnya berat, sebenarnya dia juga tidak ingin memisahkan Alena dan Naira. Karena sudah di pastikan itu akan sangat merepotkan dirinya sendiri, dimana dia harus bolak-balik dari satu rumah ke rumah satu rumahnya lagi.

"Kita bicarakan ini nanti, sekarang makan sarapan kamu Naira. Kamu juga Alena," balas Valdo dengan tenang.

Bara dan Rezki hanya menatap anak-anak dan menantunya itu, mereka berdua tersenyum. Karena sulit bagi mereka untuk menegur Alena dan juga Naira, tapi lihat sekarang, hanya dengan sekali perintah dari Valdo Alena dan Naira langsung terdiam dan menuruti perintah itu.

*****

"Seperti yang kalian inginkan, ini rumah yang akan kita tempati bersama. Saya harap kalian bisa menerima keadaan saya yang seperti ini."

Alena dan Naira memperhatikan rumah minimalis berlantai satu yang kini ada di hadapan mereka, rumah yang sangat jauh berbeda dari rumah mereka sebelumnya. Dan jangan lupakan juga, jarak antara rumah mereka yang akan di tempati itu sangat jauh dari kediaman keluarga Mazaya.

"Rumahnya bagus kok mas, nyaman juga kayaknya," ujar Naira seraya berjalan mengelilingi sekitar.

" Gimana bisa gue tinggal di rumah yang kaya gini, ewh ini jauh banget dari apa yang gue bayangkan," gerutu Alena, Valdo yang mendengar itu hanya mendelik kecil. Dia sudah duga pasti Alena akan berkomentar atas rumah yang Valdo beli.

"Dari awal saya sudah katakan, jika saya bukan laki-laki yang bergelimang harta. Saya hanya memiliki beberapa usaha yang bisa menghidupi kita. Bukan menghidupi gaya kamu, Alena," ucap Valdo yang pergi begitu saja setelah mengucapkan itu.

Naira yang tidak sengaja mendengar obrolan Alena dan Valdo itu hanya mampu menggelengkan kepalanya. Alena dan Valdo itu sama-sama keras kepala, jadi sepertinya Naira harus menjadi penengah di antara mereka berdua.

"Alena, kita harus bisa menerima keadaan Valdo apa adanya. Ingat kita yang mengambil keputusan ini dan itu berarti kita harus menanggung semua resiko dari keputusan itu," ujar Naira mengingatkan Alena.

"Gue tau Nai, tapi apa gue bisa tinggal di rumah kecil kaya gini? Bayanginnya aja gue udah sesak duluan, apalagi sampai setiap hari tinggal di rumah ini," ungkap Alena yang masih saja tidak terima jika harus tinggal di sebuah rumah sederhana.

Naira menghela napasnya, kakak sepupunya itu memang sangat ketergantungan terhadap harta yang di berikan oleh papa nya. Sebenarnya Naira pun sama, tapi Naira sudah di ajarkan sederhana oleh sang ibu saat kecil, jadi tidak terlalu sulit untuk dia beradaptasi di tempat tinggal barunya itu.

"Lo bisa gak sih, apa-apa tuh jalanin dulu. Jangan di bayangin aja, kehidupan seseorang itu berputar Alena. Gue juga sama kaya lo yang terbiasa dengan hidup mewah, tapi gue berusaha nerima keadaan suami yang gue miliki saat ini. Disini lo yang lebih dewasa Alena seharusnya sikap lo juga harus lebih dewasa!" Habis sudah kesabaran yang Naira miliki untuk menghadapi Alena.

"Gue perempuan seutuhnya! Jadi wajar kalau gue mengeluhkan keadaan saat ini, gue mikirin gimana baju-baju gue, skincare gue, perawatan yang selama ini gue jalanin dan banyak lagi. Gak kaya lo yang penampilan aja udah mirip laki-laki tau gak!" Balas Alena dengan emosi yang tertahan.

Valdo yang melihat perdebatan antara Alena dan Naira hanya mampu menghela napasnya lelah, dia pusing jika setiap hari harus melihat keributan wanita-wanita yang sayangnya sudah menjadi istrinya itu.

"Ini yang saya tidak suka dari wanita, mereka selalu meributkan hal-hal yang tidak seharusnya mereka ributkan," monolog Valdo, setelahnya dia menghampiri Alena dan Naira agar perdebatan tidak terlalu panjang.

"ALENA! NAIRA!"

Alena dan Naira langsung terdiam menunduk, mereka sama sekali tidak pernah mendengar bentakan dari siapa pun. Tapi kini mereka mendengar itu secara langsung dari suami mereka sendiri.

"Sudah puas berdebatnya? Saya ulangi sekali lagi. Keadaan saya memang seperti ini, jika kalian tidak bisa menerima keadaan saya maka dengan senang hati, kalian boleh pergi dan kembali pada keluarga kalian," kata Valdo tenang.

"Kamu sudah metandatangani surat perjanjian pra nikah, jika kamu mengembalikan kita kepada keluarga. Maka siap-siap om kamu beserta tante kesayangan mu itu hancur, Valdo!" tegas Alena.

Valdo terkekeh kecil, sial sekali hidupnya. Bisa-bisanya saat ini dia di ancam oleh seorang wanita yang tidak tau siapa sebenernya seorang Valdo Artama. Namun Valdo harus tetap berpura-pura agar Alena dan Naira tidak curiga.

"Kamu sama persis seperti papa kamu! Bisanya hanya mengancam dan menindas orang lain."

"Sudah mas, biarkan Alena sendiri. Lebih baik kita masuk untuk membereskan rumah," ucap Naira seraya menarik tangan Valdo agar masuk ke dalam rumah.

"Lagi-lagi Naira! Lo seharusnya bisa mengendalikan emosi Alena. Argh sial bagaimana Valdo akan mencintai dan menyayangi lo Alena, kalau sifat lo aja kaya gini," gerutu Alena pada dirinya sendiri.

...****************...

"Lo! Apain gue Riko!"

Riko hanya terkekeh kecil lalu memeluk erat tubuh Raisya, "Bukannya lo yang semalam mau ya? Kenapa jadi nyalahin gue, hm?"

Raisya mengingat kembali kejadian semalam, dia banyak sekali minum dan hal itu membuat kesadaran Raisya hilang. Dan untuk kejadian setelah mabuk dia tidak tahu apa-apa.

"Sialan. Lo memanfaatkan keadaan Riko!" Sentak Raisya.

"Haha, ini emang yang gue mau dari dulu. Tapi sayangnya lo terlalu buta dengan Valdo, sampai-sampai lo gak lihat gue yang selalu ada buat lo!"

"Tapi bukan dengan ini Riko! Masa depan gue masih panjang, dan lo dengan seenaknya mengambil sesuatu yang selama ini gue jaga!"

"Gue gak perduli. Yang terpenting saat ini, lo milik gue seutuhnya."

BERSAMBUNG!!

Jangan lupa like, komen, dan subscribe!

Terima kasih.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!