Setelah mendengar makian Ki Warso, satu per satu warga pun mulai membubarkan diri termasuk Artha, Rumi dan Sari. Hanya Hanah yang bertahan karena tak enak hati jika harus pergi. Apalagi hubungan keluarganya dengan keluarga pak Limo lumayan dekat.
Tiba di rumah Artha pun bergegas masuk lalu mengunci pintu dan tak keluar hingga sore hari. Dia baru membuka pintu saat sang suami kembali usai bekerja. Prashadi memang telah bekerja di sebuah perusahaan pengolahan kayu atas rekomendasi seseorang. Dia mulai bekerja seminggu setelah tiba di kampung itu.
" Tok ... tok ... tok ..."
" Assalamualaikum Sayang ...!" panggil Prashadi sambil terus mengetuk pintu.
" Wa alaikumsalam. Iya Mas ...," sahut Artha sambil membuka pintu.
" Kok tumben pintunya dikunci. Biasanya Kamu udah stand by di depan nungguin Aku," kata Prashadi.
" Maaf Mas. Aku ga bisa lakuin itu karena ga enak sama tetangga yang lagi kesusahan. Ntar dikiranya Kita ga tau sikon karena mesra-mesraan di depan pintu," sahut Artha setelah mencium punggung tangan suaminya.
" Kita ga bermesraan melewati batas kok. Aku liat banyak juga pasangan muda di kampung ini yang kaya Kita, bahkan lebih," kata Prashadi sambil mendaratkan kecupan singkat di kening Artha.
" Jelas beda dong Mas. Mereka kan warga asli sini, kalo Kita kan pendatang. Jadi wajar kalo gerak-gerik Kita selalu diawasi," sahut Artha sambil tersenyum kecut.
Prashadi pun mengangguk tanda mengerti.
" Tapi ngomong-ngomong tetangga yang kesusahan tuh siapa Sayang ?" tanya Prashadi setelah melepas sepatunya.
" Pak Limo, Mas. Dia jatuh dari pohon kelapa tadi pagi. Kondisinya waktu Aku jenguk tadi masih kritis, tapi ga tau gimana sekarang," sahut Artha sambil meletakkan segelas teh manis hangat di hadapan Prashadi.
" Inna Lillahi Wainna ilaihi rojiuun. Musibah emang ga pernah permisi kalo datang ...," kata Prashadi prihatin.
" Betul. Tapi sayangnya ga semua orang berpikir kaya gitu Mas. Justru Mak Is bilang musibah yang menimpa Pak Limo itu gara-gara Aku," kata Artha sedikit kesal.
" Kok gara-gara Kamu ?" tanya Prashadi tak mengerti.
Kemudian Artha menceritakan apa yang terjadi sepanjang hari itu. Tentang pantangan masak jam empat pagi yang dikatakan Mak Is juga efeknya untuk mereka dan orang-orang yang ada di sekitar mereka.
" Subhanallah. Kok Mak Is bisa bilang gitu sih. Padahal musibah itu kan salah satu rahasia Allah. Nah kalo udah jadi rahasia Allah, artinya ga ada seorang pun yang tau. Iya kan," kata Prashadi kesal.
" Yang bikin Aku panik karena masih ada pantangan lain di kampung ini Mas. Dan kalo Kita langgar, bisa-bisa Kita apes sepanjang masa atau bahkan sampe tujuh turunan kayanya," gurau Artha.
" Kalo gitu ya lebih baik Kita pindah aja. Ngapain tinggal di tempat yang bikin Kita stress karena dibayangi rasa takut. Niat Kita hijrah ke sini kan untuk membangun kehidupan baru yang lebih baik bukan malah ketakutan sepanjang waktu," kata Prashadi.
" Tapi Aku ga mau Mas. Aku udah terlanjur nyaman sama lingkungan di sini, walau pun banyak aturannya tapi semuanya masih wajar kok. Aku justru khawatir kalo Kita pindah ke tempat lain, akan sulit buat memulai semuanya dari awal lagi Mas. Kamu tau kan kalo Aku ga kaya Kamu yang mudah beradaptasi dengan lingkungan dalam waktu singkat," sahut Artha.
Prashadi pun terdiam sambil menatap Artha.
" Lagian menurutku di sini aman Mas," kata Artha sesaat kemudian.
" Aman ?" ulang Prashadi tak mengerti.
" Iya aman dari jangkauan kedua keluarga Kita. Tempat ini kan ga terlalu jauh dari Jakarta, masa iya ga seorang pun nemuin Kita. Padahal udah hampir sebulan Kita pergi dari rumah lho Mas. Cuma ada dua kemungkinan. Mereka ga nyari Kita atau emang ga nemu tempat ini," kata Artha.
" Iya juga. Kok Aku baru kepikiran ya Sayang. Ari juga ga pernah nelepon Aku tuh, padahal cuma dia yang Aku kasih nomor baru Aku. Aku pernah nyoba nelepon dia, tapi ga bisa. Operator selalu bilang kalo nomor Ari ada di luar jangkauan. Bukannya ini aneh ya ...," kata Prashadi sambil menatap Artha lekat.
" Buatku bukan cuma itu yang aneh, tapi semuanya Mas. Tempatnya, orang-orangnya, peraturannya, pokoknya semua deh. Tapi sayangnya Aku kok merasa betah ya di sini," sahut Artha.
Prashadi pun mengangguk lalu terdiam seolah sibuk dengan pikirannya sendiri.
\=\=\=\=\=
Malam itu berita duka pun kembali menyebar di kampung itu. Pak Limo dinyatakan meninggal dunia dalam perjalanan menuju Rumah Sakit. Beberapa warga yang mendengar berita itu menyayangkan keputusan keluarga pak Limo yang membawa Pak Limo ke Rumah Sakit untuk diobati.
Kematian pak Limo juga dibahas di musholla tempat dimana Prashadi menunaikan sholat Isya berjamaah.
" Harusnya Pak Limo masih bisa bertahan. Tapi gara-gara besannya maksa bawa ke Rumah Sakit, akhirnya selesai kan ...," kata salah seorang warga sambil mencibir.
" Maksudnya gimana ya Pak ?" tanya Prashadi tak mengerti.
" Ya gara-gara keluarga Pak Limo ga sabaran, Pak Limo jadi ga bisa selamat. Padahal kan Ki Warso lagi mengusahakan kesembuhan Pak Limo," sahut warga tersebut.
" Mungkin keluarganya khawatir ngeliat kondisi Pak Limo yang ga membaik, makanya mereka membawanya ke Rumah Sakit. Apalagi Pak Limo kritis sejak pagi kan ...?" kata Prashadi mencoba berpikir positif.
" Ck, percuma Mas. Penyakit pak Limo itu kan bukan penyakit medis. Makanya cuma bisa disembuhin pake jalur belakang. Nah, yang ngerti jalur belakang itu di kampung kita kan cuma Ki Warso. Jadi, saat mereka memutuskan melibatkan bantuan medis, ya Ki Warso mundur lah," sahut salah seorang warga yang diangguki rekan-rekannya.
Prashadi pun terdiam karena tak tahu lagi bagaimana cara merespon ucapan pria di sampingnya itu. Prashadi tak mengerti mengapa semua hal dikaitkan dengan hal mistis. Prashadi terus membisu hingga memasuki pekarangan rumah. Prashadi baru bicara saat melihat Artha menyambutnya di teras rumah dengan wajah cemas.
" Kenapa berdiri di sini Sayang ?" tanya Prashadi.
Bukannya menjawab pertanyaan suaminya, Artha justru balik bertanya.
" Kamu udah denger kabar itu Mas ?. Pak Limo meninggal Mas," kata Artha.
" Udah tau. Kan diumumin juga di musholla tadi. Kamu belum jawab Aku lho Sayang, ngapain di sini ?" ulang Prashadi.
" A ... Aku liat cewek itu lagi Mas. Dia mondar-mandir di depan jendela kamar Kita," sahut Artha dengan suara tercekat.
" Cewek berkemben itu ?" tanya Prashadi hati-hati.
" Iya," sahut Artha cepat.
" Ya Allah. Tapi Kamu gapapa kan ?" tanya Prashadi sambil mengamati Artha dari atas kepala hingga ujung kaki.
" Apanya yang gapapa. Aku takut Mas," sahut Artha sambil merapat kearah suaminya.
Belum selesai Artha dan Prashadi membahas tentang wanita berkemben itu, tiba-tiba mereka dikejutkan oleh jerit tangis seorang wanita, yang tak lain adalah istri Pak Limo, yang sedang mengumumkan kematian suaminya di sepanjang jalan kampung.
Namun pengumuman berbeda disampaikan istri pak Limo. Selain mengumumkan kematian suaminya, wanita itu juga menyebutkan apa penyebab kematian suaminya. Tentu saja itu mengejutkan semua orang yang mendengarnya.
" Bapak Anakku mati karena diguna-guna !. Seseorang yang iri mengirimkan santet ke rumah berupa perempuan berkemben yang mengajaknya pergi. Kita semua tau apa artinya kan ?. Kedatangan wanita itu artinya adalah bala. Apalagi sebelum meninggal Suamiku bilang dia dijemput perempuan itu tadi !" kata istri pak Limo lantang.
Warga yang berdiri di sepanjang jalan kampung pun mendengar ucapannya dan saling menatap bingung. Hingga tiba-tiba orang suruhan Ki Warso datang menyusul wanita itu dan memintanya berhenti.
" Ki Warso pesen supaya Ibu berhenti menjual cerita bohong," kata orang suruhan Ki Warso.
" Aku ga jual cerita bohong. Semua itu nyata. Dan Aku mau semua orang di kampung ini tau apa yang terjadi biar ga ada lagi korban berjatuhan. Selama ini sudah cukup Kita disetir dan ditakuti sama perempuan sia*an itu. Aku muak. Aku capek !" sahut istri pak Limo lantang.
Setelah mengucapkan kalimat itu istri pak Limo membalikkan tubuhnya dengan maksud melanjutkan aksinya yang sempat terhenti tadi. Namun tiba-tiba dia mematung dengan mata melotot sambil menatap ke ujung jalan.
Semua orang yang masih berada di sana pun ikut melihat kearah yang dilihat istri pak Limo namun mereka bingung karena tak melihat apa pun di sana. Sedangkan Artha dan Prashadi yang masih berdiri di teras rumah justru melihat apa yang dilihat oleh istri pak Limo.
Di saat semua orang dibuat buta dan tuli karena tak bisa melihat dan mendengar suara apa pun, tapi istri Pak Limo, Artha dan Prashadi justru mendengar dengan jelas suara seperti sapu lidi yang diseret. Di depan sana terlihat wanita berkemben nampak melangkah pelan menghampiri istri pak Limo dengan gerakan terpatah-patah. Jika diperhatikan dengan seksama, suara mirip sapu lidi diseret itu berasal dari ujung kembennya yang menjuntai menyentuh tanah.
Disaksikan Artha dan Prashadi, wanita berkemben itu berhenti di hadapan istri pak Limo. Wanita itu membuka mulutnya lalu menjerit di depan wajah istri pak Limo. Dari mulutnya yang terbuka lebar hingga sebesar piring itu keluarlah sejenis belatung berwarna coklat kehitaman yang jumlahnya mencapai ratusan disertai bau busuk yang memenuhi udara.
Rupanya belatung coklat kehitaman itu berpindah ke wajah istri pak Limo lalu menggerogoti daging wajahnya dengan cepat. Istri pak Limo hanya bisa menggeliat tanpa bisa mengeluh. Dan dalam waktu singkat, tubuh wanita itu jatuh tersungkur di tanah dalam kondisi wajah dan leher hancur.
Setelahnya, belatung-belatung itu kembali ke mulut wanita berkemben itu. Warna belatung yang semula coklat kehitaman kini berubah menjadi merah darah seperti darah istri pak Limo.
Sebelum menghilang, wanita berkemben itu menoleh kearah Artha dan Prashadi sambil tersenyum mengejek.
\=\=\=\=\=
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 97 Episodes
Comments
Elly Julia
seruuuuu
2024-08-22
1
Maz Andy'ne Yulixah
Kira2 Siapa wanita berkemben itu dan apa tujuan nya kok membunuh satu persatu dan menakuti si Arta lagi🤔🤔
2024-03-25
1
Ali B.U
.next
2024-03-24
2