Dan hari itu, apa yang dikhawatirkan Mak Is pun terjadi. Keluarga yang rumahnya terletak empat rumah dari rumah yang ditempati Prashadi dan Artha mengalami musibah.
Mengetahui hal itu Mak Is pun bergegas menemui Artha dan memberi tahu apa yang terjadi. Namun saking paniknya Mak Is pun mengetuk pintu dengan keras hingga mengejutkan Artha.
" Ada apa Mak ?. Kenapa ngetuk pintunya keras banget. Saya ga tuli lho Mak ...!" kata Artha sedikit kesal.
" Maaf Mbak. Saya cuma ...," Mak Is sengaja menggantung ucapannya.
" Cuma apa Mak ?" tanya Artha tak sabar.
Mak Is pun menoleh ke kanan dan ke kiri sebelum menjawab pertanyaan Artha. Setelahnya dia juga mendorong tubuh Artha ke dalam rumah sehingga mereka bisa leluasa bicara.
Sikap Mak Is tentu saja membuat Artha ikut cemas. Dia teringat ucapan Mak Is tadi tentang pantangan memasak di jam empat pagi. Dan kekhawatiran Artha pun terbukti saat Mak Is menyampaikan berita buruk itu.
" Yang Saya khawatirkan terjadi juga Mbak. Pak Limo, yang rumahnya di samping rumahnya Hanah baru aja mengalami kecelakaan. Dia jatuh dari pohon kelapa dan sekarang kritis," kata Mak Is.
" Inna Lillahi Wainna ilaihi rojiuun ...," sahut Artha.
" Hush !. Jangan ngucap sembarangan Mbak. Pak Limo belum meninggal, dia masih hidup kok. Cuma sekarang lagi kritis !" sentak Mak Is dengan mimik wajah tak suka.
Ucapan Mak Is membuat Artha tersenyum. Rupanya wanita sepuh di hadapannya itu tak paham apa yang dia ucapkan tadi. Padahal istirja tak hanya diucapkan saat mendengar berita wafatnya seseorang. Istirja juga bisa diucapkan saat mendengar berita duka.
" Maaf Mak, Saya ga bermaksud nyumpahin Pak Limo. Justru Saya ikut berduka mendengar berita jatuhnya Pak Limo," kata Artha sesaat kemudian.
" Dan itu semua gara-gara Kamu Mbak !" kata Mak Is.
" Kok gara-gara Saya ?. Daritadi Saya di rumah lho Mak. Dan Saya juga ga tau pohon kelapa yang mana yang dipanjat Pak Limo sampe dia bisa jatuh kaya gitu," sahut Artha tak mau kalah.
" Pak Limo jatuh sebagai akibat Mbak melanggar pantangan kampung ini," kata Mak Is sambil menatap Artha lekat.
Ucapan Mak Is membuat Artha bingung. Dia nampak menggelengkan kepala karena tak melihat hubungan di dua peristiwa yang berbeda itu.
" Asal Mbak Artha tau ya, sebenernya udah lama Pak Limo itu sakit pinggang. Jangankan buat naik pohon yang tinggi kaya gitu, dibuat jalan aja sakit. Tapi pagi ini mendadak dia sembuh. Istrinya bilang Pak Limo juga mendadak pengen ke kebon yang ada di belakang rumah. Istrinya ga curiga sama sekali dan nganterin Pak Limo ke teras belakang. Terus Istrinya ninggalin Pak Limo begitu aja karena mau masak. Eh, ga lama kedengeran Pak Limo menjerit. Pas diliat, ga taunya Pak Limo udah nyangsang di dahan pohon kelapa. Istrinya panik dan mencoba nyari bantuan tapi terlambat. Pas dia balik sama tetangga, Pak Limo udah jatuh ke tanah dalam kondisi kepala dan badan yang penuh darah," kata Mak Is sambil bergidik hingga membuat Artha terkejut.
" Tunggu Mak. Tadi Mak bilang Pak Limo nyangsang di atas pohon, maksudnya nyangkut kan ?. Nah kalo bisa nyangkut di sana, artinya Pak Limo bisa manjat dong. Mungkin karena ga hati-hati makanya kepeleset terus jatuh deh," kata Artha.
" Bukan begitu Mbak. Duh, susah bener sih ngasih tau orang kota kaya Kalian," sahut Mak Is sambil menggaruk kepalanya yang dipenuhi uban itu.
Artha pun terdiam sambil menatap Mak Is. Dia sengaja menunggu tuduhan apa lagi yang akan dilayangkan Mak Is padanya.
" Pokoknya kejadian ini di luar akal Mbak. Dan semua orang yakin kalo jatuhnya Pak Limo gara-gara ada salah satu warga yang melanggar pantangan di kampung ini," kata Mak Is.
" Dan semua orang nebak Saya lah pelakunya. Begitu kan Mak ?" tanya Artha.
" Saya ga tau Mbak. Saya ga denger ada yang nuduh Mbak kaya gitu tadi," sahut Mak Is.
Entah mengapa jawaban Mak Is membuat Artha lelah. Dia pun menghela nafas panjang sebelum menyatakan permintaan maaf.
" Kalo gitu Saya minta maaf ya Mak. Gara-gara Saya ga sengaja melanggar pantangan kampung membuat Pak Limo celaka," kata Artha dengan tulus hingga membuat Mak Is tersenyum.
" Iya Mbak. Tapi jangan diulangi lagi ya ...," sahut Mak Is.
" Insya Allah. Supaya Saya dan Suami Saya ga melakukan kesalahan lagi, bisa kan Mak Is jelasin pantangan apa aja yang berlaku di kampung ini," pinta Artha.
" Bisa Mbak, tapi nanti aja ya. Sekarang Saya mau ke rumahnya Pak Limo dulu mau liat-liat. Siapa tau ada yang bisa Saya bantu nanti," sahut Mak Is sambil membalikkan tubuhnya.
" Saya boleh ikut ga Mak ?" tanya Artha.
" Boleh. Ayo Mbak ...," ajak Mak Is sambil tersenyum.
Artha pun mengangguk lalu bergegas mengunci pintu. Setelahnya dia mengekori Mak Is.
Saat tiba di rumah pak Limo, warga sudah berkerumun di sana. Seperti biasa, Sari, Hanah dan Rumi juga sudah hadir. Ketiganya nampak berdiri di sudut pekarangan sambil bergosip. Melihat kedatangan Artha dan Mak Is ketiganya pun tersenyum.
" Sini Tha ...!" panggil Sari usai Artha menjenguk pak Limo.
" Iya Mbak," sahut Artha sambil melangkah mendekati Sari.
" Gimana keadaannya Pak Limo ?" tanya Sari.
" Lagi diobatin Mbak. Saya ga tau gimana persisnya karena cuma bisa ngeliat dari luar pintu. Harusnya Saya yang nanya gimana keadaan Pak Limo sama Mbak Sari. Kan Mbak yang duluan datang," sahut Artha.
" Ck, biar Sari datang duluan tapi Kita ga bisa nanya apa-apa sama dia Tha ...," sindir Hanah.
" Iya. Soalnya Sari kan daritadi ya cuma berdiri di sini sambil gosip," kata Rumi sambil mencibir namun disambut tawa Sari dan Hanah.
" Iya. Itu kan karena Aku ga tahan ngeliat darah. Daripada pingsan dan ngerepotin yang lain, lebih baik Aku nunggu aja di sini. Siapa tau bisa bantuin apa kek gitu. Biasanya orang lagi kesusahan suka perlu ini itu. Nah, Aku bisa bantu juga nanti kan ...," sahut Sari setelah tawanya mereda.
Jawaban Sari membuat Artha kagum dalam hati. Di balik sikap kepo dan usilnya itu ternyata Sari adalah sosok yang baik.
" Maaf Mbak. Kata Mak Is, Pak Limo jatuh gara-gara ada yang melanggar pantangan kampung. Emang bener ya ?" tanya Artha penasaran.
" Katanya sih gitu Tha. Soalnya Aku dengar dari Pak Warso, Pak Limo naik pohon kelapa dalam keadaan ga sadar. Ya ... semacam ada kekuatan ghaib yang nuntun Pak Limo buat naik ke atas pohon kelapa gitu. Padahal kan udah lama Pak Limo ga naik pohon karena sakit. Emang sih, pekerjaan Pak Limo dulu sebagai pemetik kelapa. Tapi itu udah lama banget. Dan sejak sakit, Pak Limo cuma bisa melakukan pekerjaan ringan seperti menganyam daun. Itu pun dilakukan sambil duduk. Iya kan Han ?" tanya Rumi sambil menatap Hanah yang kebetulan rumahnya berada persis di samping rumah pak Limo.
" Iya ...," sahut Hanah.
" Kekuatan ghaib ...?" ulang Artha.
" Iya Tha. Dan kalo udah melibatkan kekuatan ghaib, biasanya itu karena ada penduduk kampung yang melanggar pantangan," kata Sari.
" Tapi Kita yakin bukan Kamu orangnya Tha. Karena selama ini kan ada Mak Is di sekitarmu. Kami yakin Mak Is pasti udah ngasih tau banyak hal sama Kamu. Iya kan ?" tanya Hanah sambil mengusap lengan Artha.
" I ... iya Mbak," sahut Artha gugup.
" Emang repot tinggal di kampung yang tradisinya masih kolot kaya gini ya Tha. Aku aja kalo boleh milih pengen pindah kemana kek gitu. Soalnya capek. Tiap melakukan ini itu harus menyesuaikan sama pantangan di kampung," kata Sari.
" Biar kampung Kita kolot tapi warganya masih guyub Sar. Beda sama kampung tetangga. Walau pun warganya sama-sama ada yang udah merantau ke kota besar, tapi saat pulang kampung warga Kita masih menghormati aturan kampung. Makanya kampung Kita adem, tentrem," sela Rumi yang diangguki Hanah.
Ucapan Dari dan Rumi membuat Artha makin penasaran dengan banyaknya pantangan yang ada di kampung itu.
Sementara itu di dalam rumah pak Limo terlihat seorang pria yang dikenal sebagai tabib sedang duduk bersila. Di depannya pak Limo nampak terbaring lemah sambil mengerang kesakitan.
" Jadi kenapa Kamu bisa naik ke atas pohon itu Mo ?" tanya tabib bernama Warso itu.
" Aku ... Aku ga tau Ki. Perasaan Aku lagi duduk terus didatengin perempuan cantik. Dia minta tolong sama Aku untuk nganterin pulang karena dia takut," sahut pak Limo sambil memejamkan mata.
" Takut apa ?" tanya Ki Warso.
" Mmm ... ga tau Ki, ga jelas. Pokoknya Aku digandeng aja sama dia terus diajak jalan," sahut pak Limo.
" Gitu ya. Gimana ciri-ciri perempuan itu ?" tanya Ki Warso.
" Pake kemben Ki. Cuma itu yang Aku inget," sahut pak Limo.
Dan jawaban pak Limo menggemparkan warga. Mereka juga mengaitkannya dengan kematian anak perempuan Kadir beberapa waktu yang lalu.
" Bukannya itu perempuan yang diliat Anaknya Pak Kadir sebelum meninggal dunia ya ...," kata salah seorang warga.
" Iya," sahut beberapa warga bersamaan.
" Wah, jangan-jangan umurnya Pak Limo juga ga ...," ucapan salah seorang warga itu terputus karena Ki Warso berdehem dengan keras.
" Ehm !. Kalo ga bisa bantu ya ga usah ngomong macem-macem bisa ?!. Pergi sana, ganggu aja !" kata Ki Warso lantang hingga membuat warga berhamburan keluar rumah.
Meski warga telah keluar dari rumah, namun ucapan mereka tetap berkesan di hati keluarga pak Limo. Istri dan anak-anak pak Limo saling menatap sedih karena khawatir dugaan warga akan menjadi nyata nanti.
\=\=\=\=\=
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 97 Episodes
Comments
Ali B.U
next,
2024-03-24
2
Guntar Nugraha
Lanjut mii...
2024-03-05
1