Ke Apartemen Thalia

Ruang Rawat Inap Rainer

"Dad... Tadi Daddy ngobrol apa dengan Miss Colton?" tanya Rainer ke ayahnya.

"Ngobrol soal kamu. Kenapa?" jawab Devan dengan wajah datar.

"Daddy tidak ribut dengan miss Colton kan?"

"Kenapa Daddy harus ribut dengan dosenmu itu?"

Rainer menghela nafas panjang. "Dad... Memangnya aku tidak lihat Daddy tidak suka dengan Miss Colton..."

Devan diam saja.

"Seriously Dad. Jangan sakiti Miss Colton. Bukan dia sebagai ibu biologis aku tapi lihatlah sebagai orang yang sangat perhatian sama aku. Dad..."

"Tadi Daddy sempat adu argumen. Dosenmu itu hendak cuti dan mengajari kamu kalau sudah boleh bermain piano tapi Daddy melarangnya..." jawab Devan mencari aman.

"Miss Colton hendak cuti akademik?"

"Dosen kamu tidak bilang padamu?" balas Devan.

"Dad, stop panggil miss Colton itu dosen aku. Dia punya nama, Thalia Colton." Rainer merasa gemas dengan ayahnya yang keluar mode bontotnya.

"Suka-suka Daddy ..."

"Haaaiissshhh ! Dad, kalau miss Colton hendak mengajukan cuti akademik berarti kan tidak mendapatkan gaji dong ..." gumam Rainer. "Dad... Bagaimana Miss Colton bayar tagihan bulanannya?"

"Dia pasti punya tabungan" jawab Devan cuek.

"Astaghfirullah ! Dad ! Judes banget !" Rasanya Rainer ingin menggetok kepala Devan dengan tangannya yang digips.

Devan hanya menatap datar ke Rainer. "Sudah, kamu tidur saja. Capek kan tadi para tukang rusuh datang ..."

Rainer pun memejamkan matanya karena memang merasa lelah usai dijenguk oleh para sepupu tukang reognya.

***

Thalia memainkan lagu-lagu dengan beat cepat diatas tuts pianonya dan sudah menjadi kebiasaannya jika kesal, dia akan memainkan lagu klasik yang upbeat. Semua emosinya dia salurkan di piano sambil ngomel-ngomel panjang lebar.

"Kalau saja waktu bisa diputar ulang ... Mana mau aku hamil anakmu Van ! Eh tapi kalau jadinya ganteng, cerdas dan membuat hati seorang ibu jadi bangga ... Kok jadi nggak nyesel ya ? Bodo amat sama yang kasih bibit ! Yang penting anakku jadi anak yang baik !" Thalia lalu memainkan lagu Pacific Rim.

"Harusnya Devan dilempar saja sama Gypsy Danger ke lautan !" gerutu Thalia.

Tiba-tiba terdengar bel di apartemennya. Thalia melihat jam digitalnya dan mengrenyitkan dahinya karena waktu menunjukan pukul sembilan malam.

Siapa malam-malam datang kesini?

Thalia mengehentikan permainan pianonya dan berjalan ke arah pintu. Dirinya tampak terkejut saat melihat siapa yang berdiri di depan pintu apartemennya.

Mau apa duda menyebalkan itu datang ? Tunggu, apakah terjadi sesuatu pada Rainer?

Buru-buru Thalia membuka pintu apartemennya dan Devan terkejut melihat wajah panik wanita itu.

"Apakah terjadi sesuatu pada Rainer ? Dia baik-baik saja kan?" cerocos Thalia ke Devan yang hanya menatap dingin.

"Rainer baik-baik saja."

Thalia memicingkan matanya. "Apakah kamu masih kurang aku guyur?"

Devan melirik ke arah tangan Thalia. "Tidak ada botol air mineral... Masih aman."

"Mau apa kamu kemari?" tanya Thalia judes.

"Hanya... Boleh kah aku masuk?"

"Tidak !"

Devan menghela nafas panjang. "Hanya ingin mengatakan, Rainer meminta kamu menjadi pelatihnya nanti kalau sudah boleh pulang."

"Kami sudah membicarakan. Baik dengan persetujuan kamu atau tidak, yang jelas aku akan membimbing Rainer buat berlatih piano lagi" jawab Thalia tegas.

"Selama Rainer belum boleh pulang, kamu jangan cuti akademik dulu..."

"Itu aku juga tahu Mr McCloud. Ada lagi ?" Thalia bersedekap sambil menatap dingin ke Devan.

"Tidak ada..." jawab Devan.

"Kalau hanya itu, buat apa kamu jauh-jauh kemari? Apa kamu ingin tahu apakah aku bersama seorang pria dan kamu semakin tidak mengijinkan aku bertemu Rainer? Iya?" tantang Thalia.

Devan hanya memasang wajah tanpa ekspresi. "Aku hanya merasa lebih sopan jika bilang langsung padamu tapi karena kamu tanggapannya begitu, ternyata lebih baik menelpon saja."

Thalia melongo. What the hell ? Kenapa kamu jadi sok playing victim? "Aku tidak tahu apa yang bagus dari kamu ! Belinda selalu memuji suaminya the best man she married tapi ternyata aslinya ... Macam Mr Scrooge ! Oh, bukan... Macam Gru ! Menyebalkan !"

"What?"

"You're a despicable man that I ever known ( kamu adalah pria paling tercela yang pernah aku kenal ) ! Beruntung hidung kamu normal tidak macam Gru yang memiliki hidung macam Nuri !" hardik Thalia kesal dan menyesal tidak membawa satu kantong es batu untuk menimpuk Devan.

"Kamu itu !"

"Apa Devan ? Kalau tidak ada yang ingin kamu bicarakan lagi, pergilah ! Temani Rainer..." Thalia pun berbalik untuk menutup pintu apartemennya.

"I'm sorry..." jawab Devan pelan.

Thalia tertegun. "Apa?"

Devan memandang Thalia dengan mata birunya dan wanita itu bisa melihat sorot mata lelah disana.

"I'm sorry. Maafkan aku sudah membuat kamu marah..."

"Sudah semestinya !" potong Thalia judes.

"Semua ini terlalu ... " Devan menatap sekelilingnya dan Thalia bisa melihat ada cairan bening di mata biru itu. "Terlalu mengejutkan. Aku sudah membaca semua pesan antara kamu dan B serta diary digital B ... Dan... " Devan mengusap matanya. "Aku tidak mengira bahwa kalian sangat dekat dan aku merasa B tidak mempercayai aku ..."

Thalia membuka lebar pintu apartemennya lagi setelah tadi setengah tertutup. "Belinda takut kehilangan kamu, Devan ..." ucap Thalia melunak.

"Tapi ... Jika dia sangat mencintai aku, dia harusnya mempercayai aku !"

Thalia hanya terdiam. "Ayo masuk, akan aku buatkan teh panas agar kamu tenang."

Devan pun masuk ke dalam apartemen Thalia.

***

Devan duduk di sofa empuk yang terdapat di apartemen dua ruang kamar tidur. Tidak banyak perabotan tapi Devan tahu, pusat dari apartemen itu adalah grand piano bewarna hitam yang berada di tengah-tengah. Kertas-kertas musik bersebaran di meja kopi dan penuh dengan coretan tangan wanita itu.

"Maaf jika meja aku berantakan..." ucap Thalia sambil membawa dua cangkir teh dan sepiring cookies. Wanita itu meletakkan nampannya lalu membereskan kertas-kertas itu dan menyimpannya di atas tutup piano. Thalia lalu meletakkan cangkir teh di meja yang sudah bersih dari kekacauan kertas musiknya.

Setelah menyimpan nampannya, Thalia pun duduk di seberang Devan. "Minumlah..."

Devan pun meminum teh itu dan matanya menatap Thalia dengan tatapan bingung. "Ini ... Teh ... "

"Iya, teh wasgitel resep dari Belinda. Sejak aku hamil Rainer, aku ngidam teh yang pernah aku minum ketika bersama Belinda dan sejak itu Belinda selalu menyiapkan formulanya. Aku jadi tidak ingin teh lain ..." Thalia menatap Devan yang menangis karena teringat Belinda yang selalu membuatkan teh itu setiap pagi. "I'm sorry Devan jika membuat kamu sedih ..."

Devan masih tergugu dan Thalia membiarkan pria itu mengeluarkan emosinya.

***

Yuhuuuu Up Pagi Yaaaaaa

Thank you for reading and support author

Don't forget to like vote and gift

Tararengkyu ❤️🙂❤️

Terpopuler

Comments

wonder mom

wonder mom

devan, 2x kehilangan cinta krn penyakit. bkn hal yg mudah utk move on

2024-03-07

1

Wahyu Nengsih

Wahyu Nengsih

ah Devan buat aku nangis

2024-03-07

1

97 ⁷⟬⟭💜❄ʰᶦᵃᵗ☑︎

97 ⁷⟬⟭💜❄ʰᶦᵃᵗ☑︎

nah lhoooo....
gitu ngobrol yg baik secara tenang kan enak jugaa

2024-03-07

1

lihat semua
Episodes

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!