8

Ilona melanjutkan langkahnya, tapi tatapan matanya masih tertuju pada kamar Karel. Semua orang tampak terkejut setelah mendengar dentuman keras saat Karel membanting pintu kamarnya dengan sengaja.

"Karel kena-" saat mengalihkan pandangannya, Lona terkejut dengan apa yang ia lihat.

"Ellen!! Ya ampun ini beneran Lo?" Ilona memeluk erat tubuh Ellen. "Lo habis di telan bumi apa gimana bocah" lanjut Lona membolak-balikkan wajah Ellen.

"Lona jangan dekat-dekat sama dia" kata Indira menarik tangan Ilona.

"Sakit Ma. Mama kenapa sih" tarikan Indira membuatnya terkejut.

"Dia itu pembawa sial! Jadi kamu jangan dekat-dekat sama dia. Nanti kamu bisa ketularan sial."

"Mama apaan sih gak jelas banget" kesal Lona karena menurutnya apa yang di katakan Mama-nya sama sekali tidak masuk akal

"Ilona!!" Bentak Indira namun tidak di hiraukan Lona.

"Gak ada yang namanya pembawa sial Ma. Kalau Mama gak suka sama Ellen, ya nggak suka aja sendirian. Gak usah ajak-ajak orang." Setelah mengatakan itu Lona menghampiri Ellen. "Ayo Len gue anter ke kamar" lanjut Ilona setelah itu menarik tangan Ellen dan membawanya ke lantai atas dimana kamar mereka berada.

"Lona udah dewasa. Udah bisa bedain mana yang baik dan mana yang buruk, jadi kamu jangan mempengaruhi dia dengan kata-kata gak berguna kamu itu." Setelah mengatakan itu David langsung pergi begitu saja.

"Aku harap mbak Indira nggak lakuin hal-hal yang menyakiti Ellen lagi" kata Dion setelah itu menarik tangan Rissa untuk pergi dari sana, meninggalkan Indira sendirian.

"Sebenarnya aku juga nggak mau kaya gini, tapi wajah Ellen selalu ngingetin aku sama Elena" gumam Indira pelan, nyaris seperti berbisik.

Keduanya sampai di depan kamar Ellen. Kamar mereka memang berurutan. Mulai dari kamar pertama setelah menaiki tangga adalah kamar Ilona yang di tengah adalah kamar Ellen dan yang paling ujung adalah kamar karel. Setelah mengambil kunci, Lona langsung membuka pintunya menyuruh Ellen masuk terlebih dahulu.

"Lo masuk aja dulu, gue mau ke kamar Karel" kata Lona yang hanya di balas deheman oleh Ellen.

Ellen masih kepikiran tentang apa yang di katakan Indira, kenapa Indira juga berpikiran sama seperti Ayahnya yang menganggap ia sebagai penyebab kematian ibunya.

Gadis itu begitu gelisah karena terlalu memikirkan apa yang tadi Indira katakan. Nafasnya mulai tidak teratur, sepertinya penyakit sialan itu mulai kambuh lagi. Pikir Ellen.

Tangannya merogoh tas selempang yang di kenakannya untuk mencari obat yang biasa ia minum saat penyakitnya kambuh. Setelah menemukan apa yang ia cari, Ellen berniat pergi ke dapur sebelum Karel dan Lona kembali, tapi mereka berdua malah sudah masuk ke kamarnya lebih dulu, jadi ia mengurungkan niatnya, lagipula jika ia pergi ke dapur akan memakan waktu, takutnya semua orang akan tau penyakit yang selama ini di sembunyikanya dan itu tidak boleh terjadi. Batin Ellen.

"Lo mau kemana" tanya Lona

"Nggak kemana mana" sekuat mungkin Ellen mengontrol agar suaranya terdengar seperti biasa.

Lona mengangguk anggukkan kepalanya mengerti. "Tuh koper Lo udah di ambilin sama Karel." Tunjuk Lona pada koper yang ada di samping pintu.

Ellen mengangguk, segera membuka kopernya untuk mengambil sembarang baju dengan buru-buru, setelahnya ia langsung pergi ke kamar mandi.

Sumpah demi apapun penyakit ini benar-benar sangat menyiksa. Untung saja Karel dan Lona sudah terbiasa dengan sikap Ellen, yang memang terkesan cuek sejak kecil, karena itu Ellen bersyukur mereka tidak mencurigainya sama sekali.

Setelah meletakkan baju gantinya dengan benar, Ellen berjalan kearah wastafel dan berdiri di depannya. Tangannya mencengkram kuat pinggiran wastafel, kembali ia merogoh obat di dalam tasnya.

Tidak ada pilihan lagi selain menelan obat itu dengan air keran. Setelah menelan obatnya Ellen mengatur nafas agar merasa lebih tenang. Setelah itu ia menatap cermin di depannya, menatap pantulan wajahnya yang terlihat pucat. "Menyedihkan" Gumam Ellen dengan kekehan. Hidupnya benar-benar menyedihkan, jika semua orang tahu keadaan Ellen pasti mereka akan berpikir bahwa hidup Ellen benar-benar miris.

Baru saja selesai mandi, setelah keluar dari kamar mandi, Ellen menatap aneh dua orang yang masih berada di kamarnya. Karel dan Lona sedang merebahkan diri di ranjang Ellen dan memainkan ponselnya masing-masing. Sadar ada orang yang memperhatikan, Lona mengalihkan pandangannya kearah Ellen.

"Kenapa?" Tanya Lona

"Ngapain?" Tanya Ellen balik.

"Rebahan"

"Gue nggak buta sampe ga tau kalau kalian lagi rebahan" jawab Ellen seraya memutar bola matanya malas.

"Kalau udah tau kenapa masih nanya"

"Kamar Lo berdua udah nggak guna sampe harus tidur di kamar gue?"

"Emang kenapa sih? Gue juga gak kena virus yang bakal nular ke Lo." kesal Karel.

"Iya gue juga nggak punya kutu" tambah Lona mengibaskan rambutnya ke kanan dan ke kiri.

"Ya terus masalahnya apa" tanya Ellen enteng.

"Ehh bocah! Yang dari tadi masalahin itu Lo, kenapa sekarang malah nanya balik." Lona juga mulai kesal dengan Ellen, bukankah dia yang sedari tadi mencari masalah. pikir Lona.

"Kita berdua mau tidur di sini sama Lo. Kenapa sih tinggal tidur ribet amat" oh jadi ini alasan kenapa mereka di sini. Kenapa mereka berdua marah-marah kan gue cuma nanya. Batin Ellen.

"Terserah" pada akhirnya Ellen menurut saja.

Dia berjalan ke arah ranjang untuk merebahkan dirinya juga, tapi Karel dan Lona yang semula berdekatan sekarang bergerak menjauh menyisakan tempat di tengah-tengah mereka. Mau tak mau Ellen pun merebahkan tubuhnya di antara mereka.

"Lo mau sekolah di mana kak?" Tanya Karel setelah Ellen merebahkan tubuhnya.

"Lo sekolah dimana?"

"Tunas Bangsa. Sekolah yang di bangun sama Papi. Besok juga baru mulai masuk"

"Daftar di sekolah yang sama aja kaya Karel. Biar dia bisa jagain Lo" ucap Lona memberi saran.

"Yang ada kak Ellen yang bakalan jagain gue" balas Karel cengengesan.

"Nggak guna banget Lo jadi saudara cowok satu satunya." Dengan kesal Lona memukul kepala Karel.

"Yee anak Dugong! Kaya Lo guna aja" balas Karel kesal tapi ia tidak berani memukul balik Lona.

"Gue emang guna yaa! Buktinya gue bisa ngehasilin duit sendiri. Mau apa Lo" tantang Lona yang saat ini sudah merubah posisinya jadi tengkurap.

"Sialan banget mulutnya. Jangan lansung di ulti dong! kan gue jadi kalah duluan" Karel kesal karena tidak bisa membantah perkataan Lona lagi.

"Berisik Lo curut"

"Lo kerja Kak? Kerja apa" tanya Ellen penasaran.

"Serius Lo nggak tau gue kerja apa?" Tanya Lona tidak percaya saat melihat Ellen menggelengkan kepalanya.

"Gue kan kerja jadi Model masa Lo nggak tau sih" kesal Lona. Bagaimana Adiknya ini tidak tau jika kakaknya adalah seorang model yang sedang naik daun baru-baru ini.

"Lo kurang terkenal kali kak" ucap Karel tertawa dengan keras sampai perutnya terasa sakit karena melihat wajah kesal Lona. Itung-itung balas dendam lewat Ellen. Batin Karel.

"Bacott Lo bocah" Lona baru saja akan melempar Karel dengan bantal, tapi dengan cepat Ellen menghalanginya.

"Kalau mau ribut keluar aja sana!" Teriak Ellen.

"Ya jangan teriak juga dong" balas Lona.

"Iya nih bikin kaget aja" ucap Karel ikut ikutan protes.

"Lo berdua dari tadi juga teriak. Kalau masih berisik mending pergi aja"

"Iya iyaa maaf"

Ellen menghela nafas panjang. Baru bertemu beberapa jam saja ia sudah mulai kesal. Terlalu lama dalam kesunyian membuat Ellen merasa aneh karena belum terbiasa.

Ingat kan Ellen jika tidak memiliki banyak teman, karena itu dia tidak pernah terlalu dekat dengan orang lain. Jika saja mereka berdua bukan sepupunya, Ellen pasti sudah melarikan diri.

"Sekarang giliran Lo" ucap Lona pada Ellen. Membuat gadis itu menaikan alisnya tidak mengerti.

"Cerita dong gimana kehidupan Lo di sana" lanjut Lona.

"Baik" hati Karel seperti tercubit mendengar jawaban Ellen. Bisa-bisanya dia bilang baik-baik saja padahal dalam dirinya sudah hancur tak terbentuk.

"Ck. Maksud gue keseharian Lo kaya gimana"

"Ya kaya orang nomal pada umumnya. Makan, tidur,sekolah apalagi"

"Kerja, Mungkin." Lanjut Ellen.

"Lo kerja? Beneran? Kerja apa?" Tanya Lona beruntun.

"Nanya mulu. Situ wartawan" sinis Karel. Kenapa jadi dia yang sewot.

"Bacot ae lo Dugong" seperti biasa mereka berdua memang selalu banyak omong.

"Gaji Lo sebulan berapa Len." Tanya Lona penasaran.

"Kenapa tanya-tanya gaji? Mau bandingin banyak mana sama gaji Lo. Nggak boleh gitu kak, nggak baik Lo jadi orang" cerocos Karel menasehati Lona.

"Ehh Dugong, Lo bisa diem nggak sih. Dari tadi nyaut mulu, gue tuh lagi ngomong sama Ellen. Lagian siapa juga yang mau bandingin sok tau Lo." Ucap Lona dengan kesal.

"Siapa tau gajinya lebih gede, kan gue bisa ikut kerja bareng Ellen. Ya nggak Len" lanjut Lona lagi.

"Yakin Lo" tanya Ellen pada Lona.

"Yakin lah. Tapi Lo nggak ngepet kan" ini nih diajak ngomong baik-baik malah ngelunjak. Pikir Ellen.

"Boleh. tapi Lo yang keliling!" Ketus Ellen membuat Karel lagi-lagi menertawakan Lona.

"Gue serius. Gajinya berapa sih Len" masih bertanya pada Ellen dan hanya menatap sinis Karel yang sedang menertawakannya.

"Nggak pasti sih tiap bulan. Mungkin 500 kadang juga bisa lebih."

"500 apa? 500 ribu?" Ellen melongo mendengar itu. Apakah Lona sedang bercanda. Batin Ellen dalam hati.

"Juta dolar"

"Apaaa!!!" Kompak Karel dan Lona bangun dari acara rebahannya dan berteriak kencang karena begitu terkejut.

"Lo berdua mau gue mutilasi hah!! Jangan teriak mulu para anak Dugong" teriak Ellen menggelegar.

"JANGAN TERIAK INI RUMAH BUKAN HUTAN!" teriak Rissa dari arah luar. Sontak ketiganya saling tatap seolah mengatakan, bukanya kamar ini kedap suara. Seakan mengerti ketiganya pun mengangguk.

"Capek Mami ingetin kalian terus. Di bilang jangan teriak-teriak masih aja nggak di dengerin" ucap Rissa setelah masuk ke dalam kamar Ellen dengan membawa nampan yang berisi 3 gelas susu di atasnya.

"Kok Mami bisa denger sih, kan kamarnya kedap suara" tanya Karel mewakili kedua kakaknya.

"Makanya tutup pintu yang bener. Udah minum dulu susunya, cepet habisin Mami tungguin. habis itu langsung tidur." Ucap Rissa memberikan susu pada mereka bertiga.

"Terus tadi kenapa kalian teriak-teriak" tanya Rissa seraya memperhatikan ketiganya meminum susu.

"Mereka tuh Mi, dari tadi teriakin Ellen mulu." Adu Ellen membuat Lona dan Karel melotot tidak terima.

"Kalian berdua emang bener-bener ya. Ellen itu baru aja pulang udah kalian bikin kesel, kalian mau kalau Ellen pergi lagi" marah Rissa seraya melihat Karel dan Lona bergantian. Perkataan Rissa sontak membuat keduanya menggeleng.

"Makanya jangan di bikin kesel lagi. Udah sekarang kalian tidur. Kamu juga Rel, besok baru mulai sekolah kenapa belum tidur. Jangan mentang-mentang sekolah punya Papi kamu, terus kamu bisa berangkat seenaknya." Lanjut Rissa panjang lebar. Sedangkan Karel hanya mengangguk anggukkan kepalanya.

"Yaudah Mami keluar dulu" sebelum keluar Rissa mengecup kening mereka bergantian.

"Yang tadi beneran Len" tanya Lona setelah memastikan pintu kamar tertutup rapat. Dia masih belum percaya dengan apa yang Ellen katakan.

"Beneran j-juta do-dolar" lanjut Lona terbata bata. kini ia mengalihkan pandangannya kearah Karel.

"Coba itung Rel, berapa rupiah" lanjut Lona.

"Kalau kata Google sih 100 juta dolar sama dengan 1 setengah miliar kak, berarti kalau 500 berapa. Banyak banget nggak bisa ngitung gue."

"Lo kerja apaan Len. Kerja yang bener, jangan ambil jalan yang salah. Lo nggak kerja aneh-aneh kan" tanya Lona seraya menggoyang goyangkan tubuh Ellen.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!