Malam telah menunjukkan eksistensinya. Aku merebahkan tubuh di atas kasur tipis setelah selesai mempersiapkan atribut ospek yang akan kupakai besok. Pandanganku tertuju pada layar ponsel di mana nomornya masih tersimpan di riwayat panggilan tak terjawab. Hingga kini, aku masih belum menyimpan nomor itu.
Aku menggambar wajahnya di ingatan dengan jelas. Bahkan senyum dan suaranya ikut terekam dalam benakku. Setiap teringat pertemuan tadi, bibirku tak urung melebarkan senyum. Jari-jari di kakiku pun refleks menekuk. Semacam ada yang terus-menerus bergemuruh di dalam dada.
Apa ini yang disebut orang-orang dengan istilah jatuh cinta pada pandangan pertama? Cinta memang tidak datang terencana, tapi apakah begitu mudah untuk menyimpulkan sebuah rasa yang hadir tiba-tiba adalah sebuah cinta?
Rasanya sudah lelah mata ini memandangi layar ponsel hanya untuk menunggu sebuah pesan atau telepon darinya. Apakah cowok ibukota memang suka meminta nomor ponsel seseorang tanpa maksud ingin menghubunginya? Tunggu, kenapa juga aku jadi berharap dia meneleponku?
Aku lantas menyimpan ponselku di bawah bantal yang kugunakan. Tak sampai semenit, deru panggilan masuk mendadak mengejutkanku. Aku buru-buru mengambil kembali ponselku. Bahkan aku sampai terbangun dari posisi tidurku. Namun, sinar mataku meredup seketika tatkala yang terlihat di layar tak sesuai dengan harapanku.
"Halo, Ma ...."
Aku kembali merebahkan tubuh sambil menerima panggilan yang ternyata berasal dari ibuku. Setiap malam, ibu menelepon hanya sekadar menanyakan apa yang kulakukan. Tak lupa untuk memberi pesan dan nasihat supaya aku tak boros dan tergerus pergaulan bebas.
"Kak Ita ada ketemu artis di sanakah?" teriak adikku yang spontan membuatku menahan senyum.
"Ta, ingat .... mama dan papa tidak bisa datang ke sana kontrol kamu. Jadi kamu harus jaga kepercayaan orangtua. Kuliah yang betul! Jangan bilang datang kuliah tiap hari, padahal cuma datang baku liat dengan cowok! Awas memang pulang kemari bukan bawa gelar malah pulang bawa anak!"
"Iya, Ma ...."
Entah sudah ke berapa kalinya ibuku mengatakan ini. Awalnya ibu sangat menentang aku berkuliah di luar kota. Namun, berkat beasiswa dan diterima di fakultas kedokteran, pertentangan ibu berubah menjadi dukungan penuh.
"Mama macam tidak tahu Ita saja. Dia pemalu sekali. Ditembak temanku saja dia lari." Suara ledekan kakakku terdengar dari sambungan telepon.
Baru seminggu menetap di Jakarta, aku sudah merindukan mereka semua. Padahal, ada masa di mana dulunya aku muak dengan ibu yang selalu pilih kasih, ayah yang jarang mengobrol dengan kami, kakak yang semena-mena, dan adik yang tidak bisa mandiri.
***
Hingga fajar datang menjemput pagi, pria itu belum juga menghubungiku. Saat ini, aku sudah berada di kampus lengkap dengan atribut ospek di saat warna kehitaman langit belum sepenuhnya memudar. Rambutku terkuncir empat dengan pita warna-warni dari tali rafi. Kupakai pula topi kerucut dan tas yang terbuat dari kardus serta kalung bermatakan empeng bayi. Tak lupa tanda pengenal yang ditulis di kertas karton dan digantung di leher.
Ospek menjadi kegiatan wajib yang biasa dilakukan sebelum perkuliahan dimulai. Meski begitu bukan rahasia umum lagi kalau kegiatan ini menjadi ajang perundungan, adu nasib, drama bentak-membentak dan tebar pesona para kakak tingkat. Belum lagi, kami dihadapkan dengan tugas absurd lainnya dari panitia, seperti membawa gelas air mineral berisi kacang hijau yang hanya boleh dimasukkan di lubang tusukan sedotannya.
Kegiatan ini terbagi menjadi dua, yaitu ospek universitas dan ospek fakultas. Ospek pertama yang harus kami jalani adalah ospek universitas di mana semua fakultas dari tiap-tiap jurusan akan dikumpulkan. Sebelum dikumpulkan dengan Maba dari fakultas lainnya, kami berkumpul di sebuah aula khusus kedokteran.
Kami diminta untuk berbaris berjajar rapi. Mataku tak lepas memandang deretan panitia ospek, berharap mungkin dia akan menjadi salah satu bagian dari mereka. Nyatanya, dia tak berada di sana. Apa dia bukan bagian dari panitia ospek? Entahlah. Rasa penasaranku terus menuntut untuk mencari tahu sosok pria yang bahkan namanya pun belum kuketahui.
Ketika salah satu panitia ospek sedang mengarahkan kami, di saat itu pula ponselku mendadak membunyikan suara panggilan. Sialnya, aku lupa mengaktifkan mode tanpa suara. Aku terlalu berharap pria itu akan menghubungiku di pagi hari. Dengan volume yang maksimal, tentu nada pemanggil di ponselku itu terdengar hingga di telinga para panitia.
"Hpnya siapa tuh yang bunyi?" tanya salah satu panitia perempuan yang wajahnya menyerupai pemeran antagonis sinetron.
Hening. Semua Maba saling memandang dan mencari sumber suara tersebut. Sementara aku mendadak gemetar dan ketakutan.
"Gak ada yang mau ngaku?!" teriaknya dengan suara menggelegar.
"Bukannya udah dibilang, ponsel wajib dimatiin saat ospek berlangsung!" imbuh salah satu panitia laki-laki.
Aku sangat takut hingga tak bisa bergerak apalagi bersuara. Apalagi ekspresi seluruh panitia seakan hendak menelan kami hidup-hidup. Kukepal jari-jariku dengan erat sambil memejamkan mata. Keringat dingin sudah keluar dari pori-pori telapak tanganku. Bagaimana kalau gara-gara ini mereka menghukumku?
Di saat kepanikan melandaku, seorang lelaki yang berada tepat di sampingku, mengangkat tangannya dan mengakui sumber suara itu berasal dari ponselnya. Aku lantas terperanjat. Jelas yang berdering itu adalah ponselku, tapi kenapa dia bertindak seakan itu berasal dari ponselnya? Apa pun itu, aku sangat ingin berterima kasih padanya karena telah menyelamatkanku.
Atas pengakuannya, dia mendapat hukuman disuruh bernyanyi lagu Jablay sambil berjoget di hadapan kami semua.
"Lay ... Lay ... Lay ... Lay ... Lay ... Lay ... panggil aku si Jablay ...."
Dia terus mengulang lirik lagu tersebut sambil menggoyangkan pinggulnya tanpa rasa malu. Gelak tawa bergemuruh di ruangan ini. Kesempatan itu kugunakan untuk segera mematikan ponselku.
Aku menoleh ke arahnya tepat saat ia kembali berdiri di sampingku. Kucoba mengintip papan nama besar yang tergantung di dadanya. Arai Al-Ghifari. Nama yang unik dan tak pernah kudengar sebelumnya. Sayangnya, aku tak bisa mendeskripsikan rupa lelaki itu karena maba laki-laki tampak sama di mataku. Mereka semua diwajibkan berkepala plontos. Wajah mereka pun penuh dengan semiran tinta hitam.
Setelah diberikan arahan oleh wakil ketua BEM fakultas kedokteran, kami pun akhirnya berkumpul di lapangan bersama para Maba dari fakultas lainnya. Dari sinilah ujian mental dan fisik dimulai. Kami disuruh berlari-lari, berguling, bertiarap hingga berbaring di atas aspal sambil menghadap teriknya matahari.
Ini seperti berada di lingkungan militer. Setelah semuanya telah dilakukan, kami masih diharuskan berkeliling lapangan dengan berjalan jongkok. Sungguh! Aku sudah tidak sanggup lagi. Napasku memburu, dadaku terasa sesak. Kuyakin semua Maba merasakan hal yang sama sepertiku, tapi tak berani membantah perintah panitia yang merasa superior. Aku mengambil jeda istirahat sebentar sambil memegangi dadaku.
"Woi, kenapa lu gak jalan jongkok?" Teriakan salah satu panitia membuatku terhenyak.
Kupikir, akulah yang sedang ditegurnya. Namun, saat menoleh ke belakang, ternyata yang mendapat teguran adalah cowok yang berada di sebelahku tadi. Kulihat dia berdiri tanpa melakukan apa yang diperintah para kakak senior.
“Kenapa lu gak jongkok kek teman lu yang lain?” teriak salah satu panitia dengan gaya yang songong.
Dia hanya membisu. Namun, tatapan matanya tak menunjukkan rasa ketakutan sedikit pun. Justru kami yang berada di barisannya yang cemas karena sikap tak patuhnya mungkin bisa membuat kami semua menerima hukuman.
"Woi, gua lagi ngomong sama lu! Lu dengar apa enggak? Atau jangan-jangan budek lagi!"
Pria itu masih bergeming dengan bibir yang terkatup rapat.
“Jongkok! Gua bilang jongkok kayak teman-teman lu yang lain!”
Bukannya segera melakukan apa yang diperintah panitia, ia malah menatap tajam pria yang meneriakinya, lalu berkata dengan nada lantang dan suara yang besar, “Bahwa sesungguhnya Kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan."
Suara pria itu seketika mampu menyedot atensi banyak orang. Para Maba yang sedang berjalan jongkok seketika berhenti dan menoleh ke arahnya. Sementara para kakak senior yang sedari tadi marah-marah mendadak diam dan tercengang memandangnya. Semua mata kini tertuju padanya. Bahkan ia mampu mendatangkan seluruh panita ospek dari berbagai fakultas ke barisan kami.
“Lu ngomong apa, hah?”
“Pembukaan Undang-Undang Dasar, Kak!”
“Gua juga tahu itu pembukaan UUD. Terus, ngapain lu baca undang-undang dasar di sini? Lu kata mau upacara bendera apa?”
“Supaya Kakak tahu cara memanusiakan manusia. Siapa tahu aja Kakak lupa,” jawabnya tanpa rasa gentar.
.
.
.
3 chapter utama, gays. Gimana menurut kalian, suka gak? jangan lupa like dan komeng ya....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 138 Episodes
Comments
gyu_rin
hahaha keren arai lanjutkan 🤩 emang kating songong dan semena2 nya minta di damprat 😭
2025-01-03
0
gyu_rin
tapi emang banyak yg gini 😭 mamah nya ita nih idaman bet meskipun tipe emak2 bgt 😭
2025-01-03
0
c'ayu💃🌺
maba jaman corona mingkem di pojokan
2024-11-30
1