Bab 3: Seseorang yang Lain, Selain Dia

Malam telah menunjukkan eksistensinya. Aku merebahkan tubuh di atas kasur tipis setelah selesai mempersiapkan atribut ospek yang akan kupakai besok. Pandanganku tertuju pada layar ponsel di mana nomornya masih tersimpan di riwayat panggilan tak terjawab. Hingga kini, aku masih belum menyimpan nomor itu.

Aku menggambar wajahnya di ingatan dengan jelas. Bahkan senyum dan suaranya ikut terekam dalam benakku. Setiap teringat pertemuan tadi, bibirku tak urung melebarkan senyum. Jari-jari di kakiku pun refleks menekuk. Semacam ada yang terus-menerus bergemuruh di dalam dada.

Apa ini yang disebut orang-orang dengan istilah jatuh cinta pada pandangan pertama? Cinta memang tidak datang terencana, tapi apakah begitu mudah untuk menyimpulkan sebuah rasa yang hadir tiba-tiba adalah sebuah cinta?

Rasanya sudah lelah mata ini memandangi layar ponsel hanya untuk menunggu sebuah pesan atau telepon darinya. Apakah cowok ibukota memang suka meminta nomor ponsel seseorang tanpa maksud ingin menghubunginya? Tunggu, kenapa juga aku jadi berharap dia meneleponku?

Aku lantas menyimpan ponselku di bawah bantal yang kugunakan. Tak sampai semenit, deru panggilan masuk mendadak mengejutkanku. Aku buru-buru mengambil kembali ponselku. Bahkan aku sampai terbangun dari posisi tidurku. Namun, sinar mataku meredup seketika tatkala yang terlihat di layar tak sesuai dengan harapanku.

"Halo, Ma ...."

Aku kembali merebahkan tubuh sambil menerima panggilan yang ternyata berasal dari ibuku. Setiap malam, ibu menelepon hanya sekadar menanyakan apa yang kulakukan. Tak lupa untuk memberi pesan dan nasihat supaya aku tak boros dan tergerus pergaulan bebas.

"Kak Ita ada ketemu artis di sanakah?" teriak adikku yang spontan membuatku menahan senyum.

"Ta, ingat .... mama dan papa tidak bisa datang ke sana kontrol kamu. Jadi kamu harus jaga kepercayaan orangtua. Kuliah yang betul! Jangan bilang datang kuliah tiap hari, padahal cuma datang baku liat dengan cowok! Awas memang pulang kemari bukan bawa gelar malah pulang bawa anak!"

"Iya, Ma ...."

Entah sudah ke berapa kalinya ibuku mengatakan ini. Awalnya ibu sangat menentang aku berkuliah di luar kota. Namun, berkat beasiswa dan diterima di fakultas kedokteran, pertentangan ibu berubah menjadi dukungan penuh.

"Mama macam tidak tahu Ita saja. Dia pemalu sekali. Ditembak temanku saja dia lari." Suara ledekan kakakku terdengar dari sambungan telepon.

Baru seminggu menetap di Jakarta, aku sudah merindukan mereka semua. Padahal, ada masa di mana dulunya aku muak dengan ibu yang selalu pilih kasih, ayah yang jarang mengobrol dengan kami, kakak yang semena-mena, dan adik yang tidak bisa mandiri.

***

Hingga fajar datang menjemput pagi, pria itu belum juga menghubungiku. Saat ini, aku sudah berada di kampus lengkap dengan atribut ospek di saat warna kehitaman langit belum sepenuhnya memudar. Rambutku terkuncir empat dengan pita warna-warni dari tali rafi. Kupakai pula topi kerucut dan tas yang terbuat dari kardus serta kalung bermatakan empeng bayi. Tak lupa tanda pengenal yang ditulis di kertas karton dan digantung di leher.

Ospek menjadi kegiatan wajib yang biasa dilakukan sebelum perkuliahan dimulai. Meski begitu bukan rahasia umum lagi kalau kegiatan ini menjadi ajang perundungan, adu nasib, drama bentak-membentak dan tebar pesona para kakak tingkat. Belum lagi, kami dihadapkan dengan tugas absurd lainnya dari panitia, seperti membawa gelas air mineral berisi kacang hijau yang hanya boleh dimasukkan di lubang tusukan sedotannya.

Kegiatan ini terbagi menjadi dua, yaitu ospek universitas dan ospek fakultas. Ospek pertama yang harus kami jalani adalah ospek universitas di mana semua fakultas dari tiap-tiap jurusan akan dikumpulkan. Sebelum dikumpulkan dengan Maba dari fakultas lainnya, kami berkumpul di sebuah aula khusus kedokteran.

Kami diminta untuk berbaris berjajar rapi. Mataku tak lepas memandang deretan panitia ospek, berharap mungkin dia akan menjadi salah satu bagian dari mereka. Nyatanya, dia tak berada di sana. Apa dia bukan bagian dari panitia ospek? Entahlah. Rasa penasaranku terus menuntut untuk mencari tahu sosok pria yang bahkan namanya pun belum kuketahui.

Ketika salah satu panitia ospek sedang mengarahkan kami, di saat itu pula ponselku mendadak membunyikan suara panggilan. Sialnya, aku lupa mengaktifkan mode tanpa suara. Aku terlalu berharap pria itu akan menghubungiku di pagi hari. Dengan volume yang maksimal, tentu nada pemanggil di ponselku itu terdengar hingga di telinga para panitia.

"Hpnya siapa tuh yang bunyi?" tanya salah satu panitia perempuan yang wajahnya menyerupai pemeran antagonis sinetron.

Hening. Semua Maba saling memandang dan mencari sumber suara tersebut. Sementara aku mendadak gemetar dan ketakutan.

"Gak ada yang mau ngaku?!" teriaknya dengan suara menggelegar.

"Bukannya udah dibilang, ponsel wajib dimatiin saat ospek berlangsung!" imbuh salah satu panitia laki-laki.

Aku sangat takut hingga tak bisa bergerak apalagi bersuara. Apalagi ekspresi seluruh panitia seakan hendak menelan kami hidup-hidup. Kukepal jari-jariku dengan erat sambil memejamkan mata. Keringat dingin sudah keluar dari pori-pori telapak tanganku. Bagaimana kalau gara-gara ini mereka menghukumku?

Di saat kepanikan melandaku, seorang lelaki yang berada tepat di sampingku, mengangkat tangannya dan mengakui sumber suara itu berasal dari ponselnya. Aku lantas terperanjat. Jelas yang berdering itu adalah ponselku, tapi kenapa dia bertindak seakan itu berasal dari ponselnya? Apa pun itu, aku sangat ingin berterima kasih padanya karena telah menyelamatkanku.

Atas pengakuannya, dia mendapat hukuman disuruh bernyanyi lagu Jablay sambil berjoget di hadapan kami semua.

"Lay ... Lay ... Lay ... Lay ... Lay ... Lay ... panggil aku si Jablay ...."

Dia terus mengulang lirik lagu tersebut sambil menggoyangkan pinggulnya tanpa rasa malu. Gelak tawa bergemuruh di ruangan ini. Kesempatan itu kugunakan untuk segera mematikan ponselku.

Aku menoleh ke arahnya tepat saat ia kembali berdiri di sampingku. Kucoba mengintip papan nama besar yang tergantung di dadanya. Arai Al-Ghifari. Nama yang unik dan tak pernah kudengar sebelumnya. Sayangnya, aku tak bisa mendeskripsikan rupa lelaki itu karena maba laki-laki tampak sama di mataku. Mereka semua diwajibkan berkepala plontos. Wajah mereka pun penuh dengan semiran tinta hitam.

Setelah diberikan arahan oleh wakil ketua BEM fakultas kedokteran, kami pun akhirnya berkumpul di lapangan bersama para Maba dari fakultas lainnya. Dari sinilah ujian mental dan fisik dimulai. Kami disuruh berlari-lari, berguling, bertiarap hingga berbaring di atas aspal sambil menghadap teriknya matahari.

Ini seperti berada di lingkungan militer. Setelah semuanya telah dilakukan, kami masih diharuskan berkeliling lapangan dengan berjalan jongkok. Sungguh! Aku sudah tidak sanggup lagi. Napasku memburu, dadaku terasa sesak. Kuyakin semua Maba merasakan hal yang sama sepertiku, tapi tak berani membantah perintah panitia yang merasa superior. Aku mengambil jeda istirahat sebentar sambil memegangi dadaku.

"Woi, kenapa lu gak jalan jongkok?" Teriakan salah satu panitia membuatku terhenyak.

Kupikir, akulah yang sedang ditegurnya. Namun, saat menoleh ke belakang, ternyata yang mendapat teguran adalah cowok yang berada di sebelahku tadi. Kulihat dia berdiri tanpa melakukan apa yang diperintah para kakak senior.

“Kenapa lu gak jongkok kek teman lu yang lain?” teriak salah satu panitia dengan gaya yang songong.

Dia hanya membisu. Namun, tatapan matanya tak menunjukkan rasa ketakutan sedikit pun. Justru kami yang berada di barisannya yang cemas karena sikap tak patuhnya mungkin bisa membuat kami semua menerima hukuman.

"Woi, gua lagi ngomong sama lu! Lu dengar apa enggak? Atau jangan-jangan budek lagi!"

Pria itu masih bergeming dengan bibir yang terkatup rapat.

“Jongkok! Gua bilang jongkok kayak teman-teman lu yang lain!”

Bukannya segera melakukan apa yang diperintah panitia, ia malah menatap tajam pria yang meneriakinya, lalu berkata dengan nada lantang dan suara yang besar, “Bahwa sesungguhnya Kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan."

Suara pria itu seketika mampu menyedot atensi banyak orang. Para Maba yang sedang berjalan jongkok seketika berhenti dan menoleh ke arahnya. Sementara para kakak senior yang sedari tadi marah-marah mendadak diam dan tercengang memandangnya. Semua mata kini tertuju padanya. Bahkan ia mampu mendatangkan seluruh panita ospek dari berbagai fakultas ke barisan kami.

“Lu ngomong apa, hah?”

“Pembukaan Undang-Undang Dasar, Kak!”

“Gua juga tahu itu pembukaan UUD. Terus, ngapain lu baca undang-undang dasar di sini? Lu kata mau upacara bendera apa?”

“Supaya Kakak tahu cara memanusiakan manusia. Siapa tahu aja Kakak lupa,” jawabnya tanpa rasa gentar.

.

.

.

3 chapter utama, gays. Gimana menurut kalian, suka gak? jangan lupa like dan komeng ya....

Terpopuler

Comments

gyu_rin

gyu_rin

hahaha keren arai lanjutkan 🤩 emang kating songong dan semena2 nya minta di damprat 😭

2025-01-03

0

gyu_rin

gyu_rin

tapi emang banyak yg gini 😭 mamah nya ita nih idaman bet meskipun tipe emak2 bgt 😭

2025-01-03

0

c'ayu💃🌺

c'ayu💃🌺

maba jaman corona mingkem di pojokan

2024-11-30

1

lihat semua
Episodes
1 Bab 1 : Menyusuri Lembaran Masa Lalu
2 Bab 2 : Semuanya Berawal dari Pertemuan itu ....
3 Bab 3: Seseorang yang Lain, Selain Dia
4 Bab 4 : Dua Pria yang Hadir di Hidupku
5 Bab 5: Menjadi Penguntit Dadakan
6 Bab 6 : Masa Puberku yang Tertunda
7 Bab 7 : Senja yang Mempertemukan Kita
8 Bab 8 : Sesuatu yang Tidak Kuketahui
9 Bab 9 : Pemandangan Berbeda di Balkon
10 Bab 10 : Punggung yang Telah Termiliki
11 Bab 11 : Momen Kecil Bersamanya
12 Bab 12 : Aku dan Dia adalah Persamaan
13 Bab 13 : Melepas Rindu
14 Bab 14 : Surga yang Kami Ciptakan
15 Bab 15 : Setelah Kejadian Itu
16 Bab 16 : Dia yang Memengaruhi Sistem Saraf di Otakku
17 Bab 17 : Momen Kebersamaan
18 Bab 18 : Untuk Dikenang
19 Bab 19 : Ternyata Banyak yang Belum Kuketahui Tentangnya
20 Bab 20 : Sepotong Jiwa yang Bersatu
21 Bab 21 : Keluarga yang Bukan Keluarga
22 Bab 22 : Menempati Posisi Terbaik di Hidupnya
23 Bab 23 : Bahagia Bersamanya
24 Bab 24 : Sebuah Insiden
25 Bab 25 : Dilindungi dan Terlindungi
26 Bab 26 : Kita yang Menabung Rindu
27 Bab 27 : Masa Depan yang Belum Terencana
28 Bab 28 : Mulai Berongga
29 Bab 29 : Genggaman Tangan dan Pelukan Hangat darinya
30 Bab 30 : Dia yang Penuh Tanda Tanya
31 Bab 31 : Rasa Manis yang Dia berikan
32 Bab 32 : Tatap Aku!
33 Bab 33 : Masih Tak Percaya
34 Bab 34 : Serba Terlalu
35 Bab 35 : Jiwa Baru Bersama Ragaku
36 Bab 36 : Awal Kehidupan Baru
37 Bab 37 : Dear Calon Anakku
38 Bab 38 : Kembali Berteman Kehilangan
39 Bab 39 : Dua Orang yang Tergabung Dalam Satu
40 Bab 40 : Hai, Masa Depan!
41 Bab 41 : Kelu!
42 Bab 42 : Kembali Bersitatap
43 Bab 43 : Selamat Tinggal
44 Bab 44 : Ini Aku yang Menyakitimu
45 Bab 45 : Keluarga Top 1%
46 Bab 46 : Revolusi Hidup
47 Bab 47 : Seseorang yang Didatangkan Untukku
48 Bab 48 : Kehadiranmu di Batas Senja
49 Bab 49 : Kita yang Saling Menemukan dan Ditemukan
50 Bab 50 : Aku dan Kau yang Menjadi Kita
51 Bab 51 : Rindu yang Mencekikku
52 Bab 52 : Kau Adalah Pijar Terang Bagiku
53 Bab 53 : Meski Kita Saling Menginginkan
54 Bab 54 : Kehadirannya
55 Bab 55 : Dari Sini
56 Bab 56 : Pertemuan Dua Keluarga
57 Bab 57 : Sesuatu yang Tidak Kuduga
58 Bab 58 : Aku yang Terhimpit
59 Bab 59 : Ketika Dilanda Dilema
60 Bab 60 : Ini Caraku Mencintaimu
61 Bab 61 : Jejak Lipstikmu di Bibirku
62 Bab 62 : Nol Persen
63 Bab 63 : Kehidupan Baru
64 Bab 64 : Hal yang Tertinggal
65 Bab 65 : Akulah yang Ditinggalkan
66 Bab 66 : Manusia dan Penyesalannya
67 Bab 67 : Yang Tak Lagi Sama
68 Bab 68 : Mungkin Sudah Tepat
69 Bab 69 : Lini Masa
70 Bab 70 : Kalau Saja ....
71 Bab 71 : Yang Selalu Menuju Ke arahku
72 Bab 72 : Cemburu yang Tak Semestinya
73 Bab 73 : Sudah Waktunya, kah?
74 Bab 74 : Tenanglah!
75 Bab 75 : Orang-orang yang Tahu
76 Bab 76 : Bersama tapi Tak Bersama
77 bab 77 : Senja Terindah
78 Bab 78 : Kau yang Dekat, tapi Tak bisa Kudekap
79 Bab 79 : Aku yang Tertohok
80 Bab 80 : Tuntutan Keluarga
81 Bab 81 : Dari Tempat Persembunyianku
82 Bab 82 : Setangkai Bunga Mawar
83 Bab 83 : Dari Balik Tirai
84 Bab 84 : Kepada Waktu ....
85 Bab 85 : Bodohnya Aku
86 Bab 86 : Sembunyi
87 Bab 87 : Perasaan yang Masih Berkutat
88 Bab 88 : Ke mana dia?
89 Bab 89 : Foto Bersama
90 Bab 90 : Demi Satu Hal
91 Bab 91 : Kebersamaan Kita
92 Bab 92 : Mari Jadikan Penantian
93 Bab 93 : Jaga Jarak
94 Bab 94 : Apa yang Harus Kulakukan?
95 Bab 95 : Panggil Namaku!
96 Bab 96 : Di Luar Dugaan
97 Bab 97 : Aku Memang Bukan Dia, Tidak Seperti Dia ....
98 Bab 98 : Mantan Terindah
99 Bab 99 : Seseorang yang Jadi Tujuanku
100 Bab 100 : Memulai Perang
101 Bab 101 : Yang Sengaja Kurahasiakan
102 Bab 102 : Mengatur Pertemuan
103 Bab 103 : Kuakui, Aku cemburu
104 Bab 104 : Panggilan yang Mendebarkan
105 Bab 105 : Di Tengah Rinai
106 Bab 106 : Aku Bisa Apa?
107 Bab 107 : Kita Hanyalah Sebuah Koma
108 Bab 108 : Inikah Waktunya?
109 Bab 109 : Bagaimana Mungkin ....
110 bab 110 : Kebohongan yang Terbongkar
111 Bab 111 : Harimau tidak Memakan Anaknya?
112 Bab 112 : Situasi Rumit
113 Bab 113 : Menyambung Kisah
114 Bab 114 : Lebih dari Seorang Teman
115 Bab 115 : Sang Pemilik Senyum Merenyuhkan
116 Bab 116 : Si Pemilik Pelukan Terhangat
117 Bab 117 : Yang Baru Kuketahui
118 Bab 118 : Terlalu Sulit Untuk kupahami
119 Bab 119 : Sebuah Permintaan
120 Bab 120 : Aku Tak Menyukai Perasaan Ini
121 Bab 121 : Kami Tak Mungkin Bersama
122 Bab 122 : Catatan Darinya
123 Bab 123 : Catatan Terakhir Darinya
124 Bab 124: Aku Tak Cukup Jauh Mengenalnya
125 Bab 125 : Aku Pernah Sebahagia Itu
126 Bab 126 : Reset Kehidupan
127 Bab 127 : Cinta yang Merumpun
128 Bab 128 : Alam yang Menyatukan Kebersamaan
129 Bab 129 : Sebuah Keputusan
130 Bab 130 : Pengagum Rahasia
131 Bab 131 : Selangkah Demi Selangkah
132 Bab 132 : Semoga Berjalan Mulus
133 Bab 133 : Genggam Tanganku
134 Bab 134 : Hal yang Tertunda
135 Bab 135 : Melepas Rindu yang Mendayu
136 Bab 136 : Seonggok Jiwa yang Layak Bahagia.
137 All About Novel Ini
138 Novel Baru Yu Aotian
Episodes

Updated 138 Episodes

1
Bab 1 : Menyusuri Lembaran Masa Lalu
2
Bab 2 : Semuanya Berawal dari Pertemuan itu ....
3
Bab 3: Seseorang yang Lain, Selain Dia
4
Bab 4 : Dua Pria yang Hadir di Hidupku
5
Bab 5: Menjadi Penguntit Dadakan
6
Bab 6 : Masa Puberku yang Tertunda
7
Bab 7 : Senja yang Mempertemukan Kita
8
Bab 8 : Sesuatu yang Tidak Kuketahui
9
Bab 9 : Pemandangan Berbeda di Balkon
10
Bab 10 : Punggung yang Telah Termiliki
11
Bab 11 : Momen Kecil Bersamanya
12
Bab 12 : Aku dan Dia adalah Persamaan
13
Bab 13 : Melepas Rindu
14
Bab 14 : Surga yang Kami Ciptakan
15
Bab 15 : Setelah Kejadian Itu
16
Bab 16 : Dia yang Memengaruhi Sistem Saraf di Otakku
17
Bab 17 : Momen Kebersamaan
18
Bab 18 : Untuk Dikenang
19
Bab 19 : Ternyata Banyak yang Belum Kuketahui Tentangnya
20
Bab 20 : Sepotong Jiwa yang Bersatu
21
Bab 21 : Keluarga yang Bukan Keluarga
22
Bab 22 : Menempati Posisi Terbaik di Hidupnya
23
Bab 23 : Bahagia Bersamanya
24
Bab 24 : Sebuah Insiden
25
Bab 25 : Dilindungi dan Terlindungi
26
Bab 26 : Kita yang Menabung Rindu
27
Bab 27 : Masa Depan yang Belum Terencana
28
Bab 28 : Mulai Berongga
29
Bab 29 : Genggaman Tangan dan Pelukan Hangat darinya
30
Bab 30 : Dia yang Penuh Tanda Tanya
31
Bab 31 : Rasa Manis yang Dia berikan
32
Bab 32 : Tatap Aku!
33
Bab 33 : Masih Tak Percaya
34
Bab 34 : Serba Terlalu
35
Bab 35 : Jiwa Baru Bersama Ragaku
36
Bab 36 : Awal Kehidupan Baru
37
Bab 37 : Dear Calon Anakku
38
Bab 38 : Kembali Berteman Kehilangan
39
Bab 39 : Dua Orang yang Tergabung Dalam Satu
40
Bab 40 : Hai, Masa Depan!
41
Bab 41 : Kelu!
42
Bab 42 : Kembali Bersitatap
43
Bab 43 : Selamat Tinggal
44
Bab 44 : Ini Aku yang Menyakitimu
45
Bab 45 : Keluarga Top 1%
46
Bab 46 : Revolusi Hidup
47
Bab 47 : Seseorang yang Didatangkan Untukku
48
Bab 48 : Kehadiranmu di Batas Senja
49
Bab 49 : Kita yang Saling Menemukan dan Ditemukan
50
Bab 50 : Aku dan Kau yang Menjadi Kita
51
Bab 51 : Rindu yang Mencekikku
52
Bab 52 : Kau Adalah Pijar Terang Bagiku
53
Bab 53 : Meski Kita Saling Menginginkan
54
Bab 54 : Kehadirannya
55
Bab 55 : Dari Sini
56
Bab 56 : Pertemuan Dua Keluarga
57
Bab 57 : Sesuatu yang Tidak Kuduga
58
Bab 58 : Aku yang Terhimpit
59
Bab 59 : Ketika Dilanda Dilema
60
Bab 60 : Ini Caraku Mencintaimu
61
Bab 61 : Jejak Lipstikmu di Bibirku
62
Bab 62 : Nol Persen
63
Bab 63 : Kehidupan Baru
64
Bab 64 : Hal yang Tertinggal
65
Bab 65 : Akulah yang Ditinggalkan
66
Bab 66 : Manusia dan Penyesalannya
67
Bab 67 : Yang Tak Lagi Sama
68
Bab 68 : Mungkin Sudah Tepat
69
Bab 69 : Lini Masa
70
Bab 70 : Kalau Saja ....
71
Bab 71 : Yang Selalu Menuju Ke arahku
72
Bab 72 : Cemburu yang Tak Semestinya
73
Bab 73 : Sudah Waktunya, kah?
74
Bab 74 : Tenanglah!
75
Bab 75 : Orang-orang yang Tahu
76
Bab 76 : Bersama tapi Tak Bersama
77
bab 77 : Senja Terindah
78
Bab 78 : Kau yang Dekat, tapi Tak bisa Kudekap
79
Bab 79 : Aku yang Tertohok
80
Bab 80 : Tuntutan Keluarga
81
Bab 81 : Dari Tempat Persembunyianku
82
Bab 82 : Setangkai Bunga Mawar
83
Bab 83 : Dari Balik Tirai
84
Bab 84 : Kepada Waktu ....
85
Bab 85 : Bodohnya Aku
86
Bab 86 : Sembunyi
87
Bab 87 : Perasaan yang Masih Berkutat
88
Bab 88 : Ke mana dia?
89
Bab 89 : Foto Bersama
90
Bab 90 : Demi Satu Hal
91
Bab 91 : Kebersamaan Kita
92
Bab 92 : Mari Jadikan Penantian
93
Bab 93 : Jaga Jarak
94
Bab 94 : Apa yang Harus Kulakukan?
95
Bab 95 : Panggil Namaku!
96
Bab 96 : Di Luar Dugaan
97
Bab 97 : Aku Memang Bukan Dia, Tidak Seperti Dia ....
98
Bab 98 : Mantan Terindah
99
Bab 99 : Seseorang yang Jadi Tujuanku
100
Bab 100 : Memulai Perang
101
Bab 101 : Yang Sengaja Kurahasiakan
102
Bab 102 : Mengatur Pertemuan
103
Bab 103 : Kuakui, Aku cemburu
104
Bab 104 : Panggilan yang Mendebarkan
105
Bab 105 : Di Tengah Rinai
106
Bab 106 : Aku Bisa Apa?
107
Bab 107 : Kita Hanyalah Sebuah Koma
108
Bab 108 : Inikah Waktunya?
109
Bab 109 : Bagaimana Mungkin ....
110
bab 110 : Kebohongan yang Terbongkar
111
Bab 111 : Harimau tidak Memakan Anaknya?
112
Bab 112 : Situasi Rumit
113
Bab 113 : Menyambung Kisah
114
Bab 114 : Lebih dari Seorang Teman
115
Bab 115 : Sang Pemilik Senyum Merenyuhkan
116
Bab 116 : Si Pemilik Pelukan Terhangat
117
Bab 117 : Yang Baru Kuketahui
118
Bab 118 : Terlalu Sulit Untuk kupahami
119
Bab 119 : Sebuah Permintaan
120
Bab 120 : Aku Tak Menyukai Perasaan Ini
121
Bab 121 : Kami Tak Mungkin Bersama
122
Bab 122 : Catatan Darinya
123
Bab 123 : Catatan Terakhir Darinya
124
Bab 124: Aku Tak Cukup Jauh Mengenalnya
125
Bab 125 : Aku Pernah Sebahagia Itu
126
Bab 126 : Reset Kehidupan
127
Bab 127 : Cinta yang Merumpun
128
Bab 128 : Alam yang Menyatukan Kebersamaan
129
Bab 129 : Sebuah Keputusan
130
Bab 130 : Pengagum Rahasia
131
Bab 131 : Selangkah Demi Selangkah
132
Bab 132 : Semoga Berjalan Mulus
133
Bab 133 : Genggam Tanganku
134
Bab 134 : Hal yang Tertunda
135
Bab 135 : Melepas Rindu yang Mendayu
136
Bab 136 : Seonggok Jiwa yang Layak Bahagia.
137
All About Novel Ini
138
Novel Baru Yu Aotian

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!