Bab 9 : Pemandangan Berbeda di Balkon

Aku tersentak hebat melihat orang yang menghampiri kak Evan saat ini adalah Arai. Lebih terkejutnya lagi, keduanya terlihat saling mengenal. Tidak ... bukan hanya saling mengenal saja, tapi lebih dari itu. Bisa terlihat saat Arai sengaja mengejutkan kak Evan dengan datang dari arah belakang secara tiba-tiba, lalu dibalas kembali oleh kak Evan dengan langsung menjepit kepala Arai hingga membuat pria itu berteriak mengerang minta ampun dan diakhiri dengan keduanya tertawa bersama.

Sebagai orang yang memiliki kakak dan juga adik laki-laki, tentu aku tahu itu hal yang sering dilakukan oleh kaum Adam pada saudara atau sahabat karib mereka. Bahkan aku tak bisa memercayai mata ini ketika melihat keduanya pulang bersama dengan menaiki motor besar milik kak Evan.

Mereka sudah pergi beberapa saat yang lalu. Tapi aku masih terdiam kaku di balik dinding pos tempat persembunyianku. Aku terlalu syok sampai tak bergerak hingga beberapa saat. Kubiarkan otakku sedikit tenang agar bisa mencerna semua ini. Apakah ada yang kulewatkan dari awal? Kenapa dua lelaki yang sangat berbeda dari segi apa pun bisa bersama dan sedekat itu?

Aku mencoba mengundurkan ingatanku. Sewaktu kuliah perdana, beberapa teman sekelas pernah memuji gaya penampilan Arai yang hampir menyerupai kak Evan. Lalu, siang tadi Arai mengakui jika semua pakaian yang dipakainya selama ini adalah pemberian anak majikannya. Mungkinkah ... anak majikan yang dimaksud Arai adalah kak Evan?

Aku meneguk ludahku yang terasa pahit. Jika memang seperti itu, lantas kenapa Arai tak memberitahukan padaku? Aku malah khawatir dia mungkin telah memberitahu kak Evan kalau selama ini aku memuja diam-diam. Bagaimana ini?

Sesampainya di kos, aku langsung merebahkan tubuhku di atas kasur tipis sembari mengangkat kedua kakiku tinggi-tinggi dan menyandarkannya ke dinding. Napasku berembus kasar. Kupejamkan mata sebentar, lalu membukanya kembali. Argt! Pikiranku menjadi kusut seketika.

Tampan, cerdas, terkenal di kalangan mahasiswa dan berasal dari latar belakang keluarga yang kaya raya. Nalarku seakan dipaksa tuk kembali realistis. Setelah menyukainya diam-diam dan mengaguminya sembunyi-sembunyi, haruskah aku menguapkan perasaan ini?

Aku membuka ponsel dan kembali membaca pesan teks dari kak Evan yang dikirimkan sore tadi. Ini pesan pertama yang dia kirimkan padaku. Aku menekan tombol hapus pada kontak ponselnya, tetapi jempolku tertahan saat hendak menyetujuinya. Sama seperti nama kontak tersebut, tentu 'sayang' untuk di hapus begitu saja.

**

Pergantian hari terjadi begitu saja. Aku berangkat pagi-pagi sekali ke kampus dan langsung mengambil posisi duduk di tempat favoritku. Tiba-tiba Arai datang menyerobot dan langsung duduk di samping kursiku.

"Bagaimana kemarin?" Ini jenis pertanyaan yang sering dia tanyakan padaku di kelas. Bermaksud menanyakan perkembangan hubunganku dengan kak Evan.

Aku bergeming. Sengaja tak menggubris ucapannya dengan terus membuka setia lembaran catatanku yang kosong. Dia langsung merampas bukuku.

"Ada apa?" tanyanya.

Aku masih bergeming dan kini berpura-pura membuka ponselku sekadar mencari kesibukan.

"Apa ada masalah?" tanyanya lagi.

Aku masih betah membungkam mulutku. Bisa-bisanya dia menyimpan rahasia kedekatannya dengan kak Evan selama ini. Padahal aku sangat memercayainya, bahkan menceritakan semua yang kurasakan, kualami dan kulakukan saat bersama kak Evan.

Di saat yang sama, dosen kami baru saja tiba. Mata kuliah kami pagi ini adalah etika dan hukum dalam kesehatan yang mempelajari tentang kode etik, disiplin profesi, dan undang-undang terkait bidang kesehatan. Mata kuliah ini juga mempelajari bagaimana cara berkomunikasi yang baik dengan pasien, seperti cara menyampaikan berita buruk, menghadapi pasien dengan kondisi khusus seperti tuna rungu, geriatrik¹, dan tempramental.

(1. Geriatrik: kondisi di mana pasien lanjut usia dengan multi penyakit dan gangguan penurunan fungsi organ)

Dosen lalu membagi kami berpasang-pasangan untuk melakukan role play². Karena aku dan Arai duduk bersebelahan, maka kami menjadi pasangan untuk praktik ini. Di praktik ini, salah satu dari kami diminta bermain peran sebagai tenaga kesehatan dan satunya lagi sebagai pasien. Dosen akan memberikan contoh kasus ke masing-masing partner yang kemudian akan kami peragakan di depan.

Karena sudah seperti ini, mau tak mau aku harus berbicara dengan Arai. Saat praktik di depan, seisi kelas tampak antusias melihat kami. Ini karena aku yang jarang bersuara. Untungnya, aku bisa mengatasi kegugupanku.

(Role play: bermain peran)

Setelah mata kuliah pertama berakhir, aku buru-buru mengemas barang-barangku untuk bersiap keluar.

"Jangan lupa sore ini ke balkon!" bisik Arai.

"Gak, aku gak mau ke balkon lagi," ucapku datar.

"Hah? Kenapa?" Arai tampak terkejut.

"Gak mau aja!"

"Ndak lihat pujaan hatimu dong!"

Aku tak berkata apa-apa dan langsung beranjak.

"Gurita!" Suara teriakan Arai membuat kakiku terhenti.

Seketika, teman-teman sekelas menengok ke arahku.

Aku berbalik cepat dan kembali padanya hanya untuk berkata, "Bisa gak usah panggil aku kaya gitu?"

"Ndak bisa. Soalnya lidahku, lidah kampung! Sementara namamu berstandar internasional."

Aku mendesis kesal. Sungguh mengesalkan dipanggil seperti itu di depan banyak orang. Apalagi, beberapa di antaranya langsung tertawa dan ikut memanggil plesetan nama tersebut.

"Woi, cuma aku yang boleh manggil begitu. Kalian ndak boleh!" teriak Arai yang membuat seisi kelas terdiam.

Aku bergegas keluar dari kelas. Sementara Arai berlari mengikutiku. Dia langsung memblokir jalanku dengan berhenti tepat di depanku.

"Hei, kenapa kau marah-marah?"

Aku melengos.

"Ngomonglah! Gimana aku bisa tahu salahku di mana kalo kau ndak ngomong!"

Aku terdiam sejenak, lalu berkata pelan, "Aku lihat kamu pulang bareng kak Evan semalam. Jadi, anak majikan yang kamu maksud itu kak Evan, kan?"

Bukannya segera menjawab, Arai malah menggaruk-garuk kepala sambil terkekeh bodoh. Benar-benar mengesalkan!

"Kenapa kamu gak bilang kalo kamu kenal kak Evan?"

"Karena kau ndak pernah nanya. Masa aku langsung jawab," balasnya dengan gaya santai seperti biasa.

"Padahal kamu yang selalu temani aku lihat dia dari atas balkon. Kamu juga yang sering dengar curhat aku tentang dia. Ternyata orang yang aku sukai dan sering kucurhati itu dekat sama kamu," ucapku lambat-lambat.

"Jangan khawatir, aku ndak cerita apa-apa sama dia. Rahasia kau tetap aku jaga rapat-rapat!"

Aku melangkah mundur, sengaja mengambil jarak dengannya. "Aku ... tidak mau ke sana lagi."

"Hah?"

"Kalau terus-menerus lihat dia, bisa-bisa perasaanku semakin dalam. Sementara, orang seperti dia cuma bisa dicintai diam-diam," ucapku sambil memaksa senyum.

Dia ternganga sesaat, kemudian berkacak sebelah pinggang sambil berkata, "Ini yang bikin aku ndak mau kasih tahu kau. Aku tahu kau pasti bakal mundur begitu tahu latar belakang keluarga Abang Evan. Aku cuma ndak mau mematahkan asa kau. Sebab, waktu terbaik melihat kau bersemangat adalah ketika kau sedang memandang Abang Evan dari kejauhan."

Aku tertegun. Begitukah?

Sementara Arai kembali berkata, "Abang Evan kawan pertamaku di Jakarta. Dia memperlakukan aku layaknya adiknya sendiri. Jika sama aku yang cuma pekerja di rumahnya saja dia mau berkawan, bukan ndak mungkin kau juga bisa menjadi pacarnya, kan?"

Arai mengepalkan tangannya ke atas untuk memberiku semangat. Sambil berlari, dia kembali mengingatkan padaku untuk bertemu di balkon sore nanti.

Mata kuliah terakhir baru saja berakhir. Aku melihat Arai keluar dengan tergesa-gesa. Dia pasti sedang menuju ke arah balkon gedung kosong seperti hari-hari biasa. Sementara aku di sini berdiri bimbang, antara mau melangkah ke depan, ataukah berbalik mendatangi tempat itu seperti hari biasa. Jujur, aku masih ingin melihat kak Evan seperti biasa tanpa mengharapkan apa pun darinya.

Setelah sempat ragu-ragu, akhirnya aku memutuskan ke sana. Bukan lagi untuk bertemu kak Evan, tetapi untuk meminta maaf pada Arai. Dia pasti sudah menungguku. Aku harus minta maaf padanya karena sempat marah padanya, padahal dia temanku satu-satunya. Aku bahkan singgah membeli minuman untuknya di kantin kampus.

Begitu tiba di sana, aku melihat suasana yang begitu sepi di bawah pohon. Aku mengecek jam di tanganku. Seharusnya kak Evan sudah berada di sana. Oh, aku lupa, bukankah kemarin dia mau mengadakan rapat BEM? Tidak masalah, lagi pula aku datang untuk bertemu Arai.

Aku pun berlari ke gedung tua yang menjadi markas rahasiaku dan juga Arai. Aku langsung menaiki tangga tanpa mendongak ke atas. Di tiga tangga terakhir yang kupijaki, aroma familiar membelai penciumanku. Satu tangga terakhir menuju balkon, mataku melihat samar punggung seorang pria yang sudah tak asing bagiku.

DEG! Jantungku mulai bereaksi. Benar saja, sesampainya di atas sana, seseorang yang kudapati berdiri di sudut balkon bukanlah Arai, melainkan sesosok lelaki bertubuh tinggi tegap dengan earphone yang terpasang di telinga. Kedua tangannya bersandar di pembatas balkon, sedang kepalanya mendongak ke atas dengan sepasang mata yang terpejam. Rambut depannya melambai-lambai diterpa angin senja. Sedang hidungnya yang tinggi dan lancip, seolah hendak menggapai sang Surya yang hampir tenggela. Kehadirannya di sana, menjadikan pemandangan balkon tampak berbeda dari biasanya.

Jika tadi aku tak memutuskan datang ke tempat ini, akankah menjadi sebuah penyesalan bagiku?

.

.

.

Terpopuler

Comments

gyu_rin

gyu_rin

jan kawatir ta arai yg cool pinter gitu masak ember gk cocok bet sama citra nya 😭

2025-03-26

0

gyu_rin

gyu_rin

ganteng nya kak evan pantes ita suka 😭 jangan2 arai yg ngasih tau evan buat kesana

2025-03-26

0

✨️ɛ.

✨️ɛ.

langsung keinget scene di komik² jepun..

2024-11-23

1

lihat semua
Episodes
1 Bab 1 : Menyusuri Lembaran Masa Lalu
2 Bab 2 : Semuanya Berawal dari Pertemuan itu ....
3 Bab 3: Seseorang yang Lain, Selain Dia
4 Bab 4 : Dua Pria yang Hadir di Hidupku
5 Bab 5: Menjadi Penguntit Dadakan
6 Bab 6 : Masa Puberku yang Tertunda
7 Bab 7 : Senja yang Mempertemukan Kita
8 Bab 8 : Sesuatu yang Tidak Kuketahui
9 Bab 9 : Pemandangan Berbeda di Balkon
10 Bab 10 : Punggung yang Telah Termiliki
11 Bab 11 : Momen Kecil Bersamanya
12 Bab 12 : Aku dan Dia adalah Persamaan
13 Bab 13 : Melepas Rindu
14 Bab 14 : Surga yang Kami Ciptakan
15 Bab 15 : Setelah Kejadian Itu
16 Bab 16 : Dia yang Memengaruhi Sistem Saraf di Otakku
17 Bab 17 : Momen Kebersamaan
18 Bab 18 : Untuk Dikenang
19 Bab 19 : Ternyata Banyak yang Belum Kuketahui Tentangnya
20 Bab 20 : Sepotong Jiwa yang Bersatu
21 Bab 21 : Keluarga yang Bukan Keluarga
22 Bab 22 : Menempati Posisi Terbaik di Hidupnya
23 Bab 23 : Bahagia Bersamanya
24 Bab 24 : Sebuah Insiden
25 Bab 25 : Dilindungi dan Terlindungi
26 Bab 26 : Kita yang Menabung Rindu
27 Bab 27 : Masa Depan yang Belum Terencana
28 Bab 28 : Mulai Berongga
29 Bab 29 : Genggaman Tangan dan Pelukan Hangat darinya
30 Bab 30 : Dia yang Penuh Tanda Tanya
31 Bab 31 : Rasa Manis yang Dia berikan
32 Bab 32 : Tatap Aku!
33 Bab 33 : Masih Tak Percaya
34 Bab 34 : Serba Terlalu
35 Bab 35 : Jiwa Baru Bersama Ragaku
36 Bab 36 : Awal Kehidupan Baru
37 Bab 37 : Dear Calon Anakku
38 Bab 38 : Kembali Berteman Kehilangan
39 Bab 39 : Dua Orang yang Tergabung Dalam Satu
40 Bab 40 : Hai, Masa Depan!
41 Bab 41 : Kelu!
42 Bab 42 : Kembali Bersitatap
43 Bab 43 : Selamat Tinggal
44 Bab 44 : Ini Aku yang Menyakitimu
45 Bab 45 : Keluarga Top 1%
46 Bab 46 : Revolusi Hidup
47 Bab 47 : Seseorang yang Didatangkan Untukku
48 Bab 48 : Kehadiranmu di Batas Senja
49 Bab 49 : Kita yang Saling Menemukan dan Ditemukan
50 Bab 50 : Aku dan Kau yang Menjadi Kita
51 Bab 51 : Rindu yang Mencekikku
52 Bab 52 : Kau Adalah Pijar Terang Bagiku
53 Bab 53 : Meski Kita Saling Menginginkan
54 Bab 54 : Kehadirannya
55 Bab 55 : Dari Sini
56 Bab 56 : Pertemuan Dua Keluarga
57 Bab 57 : Sesuatu yang Tidak Kuduga
58 Bab 58 : Aku yang Terhimpit
59 Bab 59 : Ketika Dilanda Dilema
60 Bab 60 : Ini Caraku Mencintaimu
61 Bab 61 : Jejak Lipstikmu di Bibirku
62 Bab 62 : Nol Persen
63 Bab 63 : Kehidupan Baru
64 Bab 64 : Hal yang Tertinggal
65 Bab 65 : Akulah yang Ditinggalkan
66 Bab 66 : Manusia dan Penyesalannya
67 Bab 67 : Yang Tak Lagi Sama
68 Bab 68 : Mungkin Sudah Tepat
69 Bab 69 : Lini Masa
70 Bab 70 : Kalau Saja ....
71 Bab 71 : Yang Selalu Menuju Ke arahku
72 Bab 72 : Cemburu yang Tak Semestinya
73 Bab 73 : Sudah Waktunya, kah?
74 Bab 74 : Tenanglah!
75 Bab 75 : Orang-orang yang Tahu
76 Bab 76 : Bersama tapi Tak Bersama
77 bab 77 : Senja Terindah
78 Bab 78 : Kau yang Dekat, tapi Tak bisa Kudekap
79 Bab 79 : Aku yang Tertohok
80 Bab 80 : Tuntutan Keluarga
81 Bab 81 : Dari Tempat Persembunyianku
82 Bab 82 : Setangkai Bunga Mawar
83 Bab 83 : Dari Balik Tirai
84 Bab 84 : Kepada Waktu ....
85 Bab 85 : Bodohnya Aku
86 Bab 86 : Sembunyi
87 Bab 87 : Perasaan yang Masih Berkutat
88 Bab 88 : Ke mana dia?
89 Bab 89 : Foto Bersama
90 Bab 90 : Demi Satu Hal
91 Bab 91 : Kebersamaan Kita
92 Bab 92 : Mari Jadikan Penantian
93 Bab 93 : Jaga Jarak
94 Bab 94 : Apa yang Harus Kulakukan?
95 Bab 95 : Panggil Namaku!
96 Bab 96 : Di Luar Dugaan
97 Bab 97 : Aku Memang Bukan Dia, Tidak Seperti Dia ....
98 Bab 98 : Mantan Terindah
99 Bab 99 : Seseorang yang Jadi Tujuanku
100 Bab 100 : Memulai Perang
101 Bab 101 : Yang Sengaja Kurahasiakan
102 Bab 102 : Mengatur Pertemuan
103 Bab 103 : Kuakui, Aku cemburu
104 Bab 104 : Panggilan yang Mendebarkan
105 Bab 105 : Di Tengah Rinai
106 Bab 106 : Aku Bisa Apa?
107 Bab 107 : Kita Hanyalah Sebuah Koma
108 Bab 108 : Inikah Waktunya?
109 Bab 109 : Bagaimana Mungkin ....
110 bab 110 : Kebohongan yang Terbongkar
111 Bab 111 : Harimau tidak Memakan Anaknya?
112 Bab 112 : Situasi Rumit
113 Bab 113 : Menyambung Kisah
114 Bab 114 : Lebih dari Seorang Teman
115 Bab 115 : Sang Pemilik Senyum Merenyuhkan
116 Bab 116 : Si Pemilik Pelukan Terhangat
117 Bab 117 : Yang Baru Kuketahui
118 Bab 118 : Terlalu Sulit Untuk kupahami
119 Bab 119 : Sebuah Permintaan
120 Bab 120 : Aku Tak Menyukai Perasaan Ini
121 Bab 121 : Kami Tak Mungkin Bersama
122 Bab 122 : Catatan Darinya
123 Bab 123 : Catatan Terakhir Darinya
124 Bab 124: Aku Tak Cukup Jauh Mengenalnya
125 Bab 125 : Aku Pernah Sebahagia Itu
126 Bab 126 : Reset Kehidupan
127 Bab 127 : Cinta yang Merumpun
128 Bab 128 : Alam yang Menyatukan Kebersamaan
129 Bab 129 : Sebuah Keputusan
130 Bab 130 : Pengagum Rahasia
131 Bab 131 : Selangkah Demi Selangkah
132 Bab 132 : Semoga Berjalan Mulus
133 Bab 133 : Genggam Tanganku
134 Bab 134 : Hal yang Tertunda
135 Bab 135 : Melepas Rindu yang Mendayu
136 Bab 136 : Seonggok Jiwa yang Layak Bahagia.
137 All About Novel Ini
138 Novel Baru Yu Aotian
Episodes

Updated 138 Episodes

1
Bab 1 : Menyusuri Lembaran Masa Lalu
2
Bab 2 : Semuanya Berawal dari Pertemuan itu ....
3
Bab 3: Seseorang yang Lain, Selain Dia
4
Bab 4 : Dua Pria yang Hadir di Hidupku
5
Bab 5: Menjadi Penguntit Dadakan
6
Bab 6 : Masa Puberku yang Tertunda
7
Bab 7 : Senja yang Mempertemukan Kita
8
Bab 8 : Sesuatu yang Tidak Kuketahui
9
Bab 9 : Pemandangan Berbeda di Balkon
10
Bab 10 : Punggung yang Telah Termiliki
11
Bab 11 : Momen Kecil Bersamanya
12
Bab 12 : Aku dan Dia adalah Persamaan
13
Bab 13 : Melepas Rindu
14
Bab 14 : Surga yang Kami Ciptakan
15
Bab 15 : Setelah Kejadian Itu
16
Bab 16 : Dia yang Memengaruhi Sistem Saraf di Otakku
17
Bab 17 : Momen Kebersamaan
18
Bab 18 : Untuk Dikenang
19
Bab 19 : Ternyata Banyak yang Belum Kuketahui Tentangnya
20
Bab 20 : Sepotong Jiwa yang Bersatu
21
Bab 21 : Keluarga yang Bukan Keluarga
22
Bab 22 : Menempati Posisi Terbaik di Hidupnya
23
Bab 23 : Bahagia Bersamanya
24
Bab 24 : Sebuah Insiden
25
Bab 25 : Dilindungi dan Terlindungi
26
Bab 26 : Kita yang Menabung Rindu
27
Bab 27 : Masa Depan yang Belum Terencana
28
Bab 28 : Mulai Berongga
29
Bab 29 : Genggaman Tangan dan Pelukan Hangat darinya
30
Bab 30 : Dia yang Penuh Tanda Tanya
31
Bab 31 : Rasa Manis yang Dia berikan
32
Bab 32 : Tatap Aku!
33
Bab 33 : Masih Tak Percaya
34
Bab 34 : Serba Terlalu
35
Bab 35 : Jiwa Baru Bersama Ragaku
36
Bab 36 : Awal Kehidupan Baru
37
Bab 37 : Dear Calon Anakku
38
Bab 38 : Kembali Berteman Kehilangan
39
Bab 39 : Dua Orang yang Tergabung Dalam Satu
40
Bab 40 : Hai, Masa Depan!
41
Bab 41 : Kelu!
42
Bab 42 : Kembali Bersitatap
43
Bab 43 : Selamat Tinggal
44
Bab 44 : Ini Aku yang Menyakitimu
45
Bab 45 : Keluarga Top 1%
46
Bab 46 : Revolusi Hidup
47
Bab 47 : Seseorang yang Didatangkan Untukku
48
Bab 48 : Kehadiranmu di Batas Senja
49
Bab 49 : Kita yang Saling Menemukan dan Ditemukan
50
Bab 50 : Aku dan Kau yang Menjadi Kita
51
Bab 51 : Rindu yang Mencekikku
52
Bab 52 : Kau Adalah Pijar Terang Bagiku
53
Bab 53 : Meski Kita Saling Menginginkan
54
Bab 54 : Kehadirannya
55
Bab 55 : Dari Sini
56
Bab 56 : Pertemuan Dua Keluarga
57
Bab 57 : Sesuatu yang Tidak Kuduga
58
Bab 58 : Aku yang Terhimpit
59
Bab 59 : Ketika Dilanda Dilema
60
Bab 60 : Ini Caraku Mencintaimu
61
Bab 61 : Jejak Lipstikmu di Bibirku
62
Bab 62 : Nol Persen
63
Bab 63 : Kehidupan Baru
64
Bab 64 : Hal yang Tertinggal
65
Bab 65 : Akulah yang Ditinggalkan
66
Bab 66 : Manusia dan Penyesalannya
67
Bab 67 : Yang Tak Lagi Sama
68
Bab 68 : Mungkin Sudah Tepat
69
Bab 69 : Lini Masa
70
Bab 70 : Kalau Saja ....
71
Bab 71 : Yang Selalu Menuju Ke arahku
72
Bab 72 : Cemburu yang Tak Semestinya
73
Bab 73 : Sudah Waktunya, kah?
74
Bab 74 : Tenanglah!
75
Bab 75 : Orang-orang yang Tahu
76
Bab 76 : Bersama tapi Tak Bersama
77
bab 77 : Senja Terindah
78
Bab 78 : Kau yang Dekat, tapi Tak bisa Kudekap
79
Bab 79 : Aku yang Tertohok
80
Bab 80 : Tuntutan Keluarga
81
Bab 81 : Dari Tempat Persembunyianku
82
Bab 82 : Setangkai Bunga Mawar
83
Bab 83 : Dari Balik Tirai
84
Bab 84 : Kepada Waktu ....
85
Bab 85 : Bodohnya Aku
86
Bab 86 : Sembunyi
87
Bab 87 : Perasaan yang Masih Berkutat
88
Bab 88 : Ke mana dia?
89
Bab 89 : Foto Bersama
90
Bab 90 : Demi Satu Hal
91
Bab 91 : Kebersamaan Kita
92
Bab 92 : Mari Jadikan Penantian
93
Bab 93 : Jaga Jarak
94
Bab 94 : Apa yang Harus Kulakukan?
95
Bab 95 : Panggil Namaku!
96
Bab 96 : Di Luar Dugaan
97
Bab 97 : Aku Memang Bukan Dia, Tidak Seperti Dia ....
98
Bab 98 : Mantan Terindah
99
Bab 99 : Seseorang yang Jadi Tujuanku
100
Bab 100 : Memulai Perang
101
Bab 101 : Yang Sengaja Kurahasiakan
102
Bab 102 : Mengatur Pertemuan
103
Bab 103 : Kuakui, Aku cemburu
104
Bab 104 : Panggilan yang Mendebarkan
105
Bab 105 : Di Tengah Rinai
106
Bab 106 : Aku Bisa Apa?
107
Bab 107 : Kita Hanyalah Sebuah Koma
108
Bab 108 : Inikah Waktunya?
109
Bab 109 : Bagaimana Mungkin ....
110
bab 110 : Kebohongan yang Terbongkar
111
Bab 111 : Harimau tidak Memakan Anaknya?
112
Bab 112 : Situasi Rumit
113
Bab 113 : Menyambung Kisah
114
Bab 114 : Lebih dari Seorang Teman
115
Bab 115 : Sang Pemilik Senyum Merenyuhkan
116
Bab 116 : Si Pemilik Pelukan Terhangat
117
Bab 117 : Yang Baru Kuketahui
118
Bab 118 : Terlalu Sulit Untuk kupahami
119
Bab 119 : Sebuah Permintaan
120
Bab 120 : Aku Tak Menyukai Perasaan Ini
121
Bab 121 : Kami Tak Mungkin Bersama
122
Bab 122 : Catatan Darinya
123
Bab 123 : Catatan Terakhir Darinya
124
Bab 124: Aku Tak Cukup Jauh Mengenalnya
125
Bab 125 : Aku Pernah Sebahagia Itu
126
Bab 126 : Reset Kehidupan
127
Bab 127 : Cinta yang Merumpun
128
Bab 128 : Alam yang Menyatukan Kebersamaan
129
Bab 129 : Sebuah Keputusan
130
Bab 130 : Pengagum Rahasia
131
Bab 131 : Selangkah Demi Selangkah
132
Bab 132 : Semoga Berjalan Mulus
133
Bab 133 : Genggam Tanganku
134
Bab 134 : Hal yang Tertunda
135
Bab 135 : Melepas Rindu yang Mendayu
136
Bab 136 : Seonggok Jiwa yang Layak Bahagia.
137
All About Novel Ini
138
Novel Baru Yu Aotian

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!