Bukannya menjawab pertanyaanku, Arai malah menghampiri dua perempuan tadi.
"Halo Kakak-kakak Senior!" sapanya dengan santai.
"Eh, Arai? Tumben samperin kita," sahut perempuan yang barusan bercerita tentang latar belakang kehidupan kak Evan.
"Nih, aku mau ngasih minuman buat kalian. Siapa tahu aja haus!" Arai malah menyerahkan dua minuman dingin yang baru saja dia beli.
"Wah, makasih banyak. Tahu aja kalo kita lagi haus." Mereka sama-sama meneguk minuman tersebut.
"Pelan-pelan dong minumnya, takutnya racun yang ada dalam minuman bakalan cepat bekerja," ucap Arai dengan santai.
Mendengar itu, keduanya lantas saling menyemburkan minuman yang terlanjur masuk di mulut mereka.
"Apa lo bilang?"
Arai tersenyum lebar sambil mengangkat kedua tangannya. "Cuma bercanda kok," ucapnya, tetapi sedetik kemudian garis senyumnya lenyap, berganti wajah menggelap. "Tapi bakal benar-benar kuracuni kalian, kalo sekali lagi kudengar kalian ngomongin tentang keluarga Bang Evan!" tegasnya.
"Emang siapa lo larang-larang gue!" ketus si pembawa gosip tadi.
"Kau sendiri juga siapa berani gali kehidupan orang?"
"Gue kan cuma ngasih tahu fakta yang gue dengar langsung dari nyokap tirinya."
"Kalo gitu cukup jadi pendengar aja! Ndak perlu jadi penyebar!"
Kemarahan dan peringatan dari Arai, membuatku semakin yakin jika yang dibicarakan kakak senior tadi benar adanya. Pantas saja dia pernah memintaku untuk tak menyinggung atau menanyakan pada kak Evan apa pun yang berhubungan dengan keluarganya.
Dua perempuan itu lantas pergi meninggalkan Arai. Sebaliknya, aku kembali mendekat ke arahnya.
"Arai, aku tanya, yang mereka bilang tadi bener, gak? Aku gak peduli soal latar belakangnya, tapi aku cuma pengen tahu kebenarannya." Aku bertanya sekali lagi padanya.
"Ndak perlu gali lebih dalam. Kadang-kadang, keingintahuan besar kita itu menyesatkan. Kenapa dari awal aku dah bilang sama kau, jangan tanya-tanya tentang keluarganya? Karena ndak semua orang nyaman dengar pendapat kita, ndak semua orang nyaman dengar empati kita, dah ndak semua orang nyaman dengar nasihat kita. Terkadang, kata-kata yang keluar dari mulut, tanpa kita sadari malah berujung penghakiman," tuturnya.
Aku segera mengecek ponselku, ternyata ada belasan panggilan tak terjawab dari kak Evan. Sayangnya, aku tak mendengar karena tengah berada di kerumunan orang yang menonton konser. Terdapat pula satu pesan yang baru kubaca.
^^^Sayang^^^
^^^Di mana? Aku nunggu kamu di sini.^^^
Kuhubungi kembali nomornya, tapi tak diangkat. Aku pun segera berlari untuk mencari keberadaan kak Evan di tumpukan mahasiswa yang sedang menikmati konser. Ini adalah acara yang diprakarsai olehnya, mustahil dia tak berada di sini.
Kaki ini membawaku menuju halaman paling belakang universitas, tepatnya di bawah pohon mahoni yang menjadi tempat favoritnya. Ternyata dia tak ada di sana. Aku lantas pergi ke ruang BEM FK. Dia juga tak di sana. Aku berlari ke tiap-tiap ruang kelas, membuka jendela paling sudut lalu melongok ke bawah, tepatnya di tempat biasa dia menungguku selesai mata kuliah. Masih tak ada! Mataku menelisik ke setiap sudut fakultas, berusaha menemukan bayangannya. Tetap tak ada!
Dadaku kembang-kempis karena sedari tadi berlarian sana-sini. Di tengah kesunyianku, aku mengingat satu tempat yang masih tersisa. Aku pun segera mengayunkan kakiku ke sana. Ya, aku kembali ke kosku. Setibanya di sana, aku menyusuri lorong kos yang sepi. Tak jauh di sana, aku dapat melihatnya duduk tenang di samping tiang pintu dengan satu lutut yang terangkat. Matanya terpejam dan kepalanya tersandar di dinding dengan earphone yang menyumbat telinganya.
Aku berjalan lambat-lambat, berusaha tak membunyikan suara gesekan sepatuku di lantai. Tepat berada di hadapannya, aku lantas berjongkok sembari memandang wajahnya. Wajah teduhnya yang menyimpan banyak misteri. Matanya terbuka dengan perlahan. Dia menatap mataku. Lembut. Masih dengan sepasang bola mata yang memancarkan kilauan. Dia tersenyum. Masih dengan senyum yang sama.
"Sudah pulang?" tanyanya sambil menurunkan earphone-nya.
"Hum ...." Aku mengangguk saru, "kenapa kak Evan enggak di kampus?" tanyaku pelan.
"Agak membosankan. Lagian, aku gak bisa donor darah karena kebanyakan begadang," ucapnya sedikit kecewa.
Aku masih menatapnya. Memerhatikan sudut bibirnya yang selalu mengembang sempurna. Dengan senyum yang itu, dia berhasil merebut hatiku di perjumpaan pertama kami.
"Ada apa?" tanyanya. Dia pasti heran kenapa aku terus menancapkan pandangan padanya.
"Aku kangen kak Evan." Kata-kata itu terulur begitu saja dari mulutku.
Dengan setengah berlutut, aku memegang kedua pundaknya seraya mendekatkan wajahku ke arahnya. Satu kecupan lembut kujatuhkan di sudut bibirnya.
Aku tersentak. Dia lebih tersentak. Gerakan spontanku ini, terjadi begitu saja. Aku bisa melihat iris matanya melebar. Pandanganku pun menunduk, menyembunyikan semburat malu.
"Aku juga merindukanmu!"
Suara seraknya membuat kepalaku terangkat. Mata kami kembali bersitatap. Aku diam. Dia diam. Aku dan dia seperti patung. Lama seperti itu. Lalu, entah bagaimana ... kami telah berpindah tempat. Bertumpuk menjadi satu di atas tempat tidur. Ternyata, kerinduan yang menyeret kami ke sini.
Dia membelai wajahku dengan perlahan. Jari-jari itu menari-nari di atas permukaan kulit mukaku. Mengabsen setiap helai bulu mataku. Dia mengambil tanganku, lalu membawa punggung tanganku ke bibirnya. Menghadiahkan ciuman lembut nan berperasaan di sana. Aku masih manusia biasa yang gampang meluruh mendapat perlakuan romantis seperti itu.
Aku mengalungkan tanganku di lehernya. Memeluknya dengan erat seolah takut terlepas. Menghirup dalam-dalam aroma tubuhnya. Kami kembali bertatapan dengan seutas senyum yang membingkai bibir masing-masing. Wajahnya mendekat, hanya untuk menggesekkan hidungnya ke hidungku. Iseng, dia malah menggigit gemas pucuk hidungku yang langsung membuat tanganku refleks memukul ringan dadanya.
Mataku terkulai perlahan merasakan hangat sentuhan bibirnya di bibirku. Kumulai menikmati pagutan bibirnya yang sebasah titikan air hujan. Tautan bibir ini telah menjadi jembatan penghantar rasa cinta kami yang tak sanggup diwujudkan dalam padanan bahasa. Suara peraduan bibir kami mengisi seluruh ruangan, berbalapan dengan suara detak jarum jam.
Aku dan dia bagaikan kepingan puzzle yang terpisah. Perlahan, kami mulai memperlihatkan potongan-potongan diri kami, kemudian saling melengkapi agar menjadi utuh.
Oleh karena itu, kubiarkan tubuhnya kembali bertumpah di tubuhku. Jiwa-jiwa yang rapuh ini bersatu. Merekat erat, menghempas jarak. Membuat napas dan detak jantung yang sama. Kakinya berpijak pada kakiku, sedang jari-jariku mencengkram punggung lebarnya. Tubuhku melemah mengikuti kontur tubuhnya. Pikiranku menyusut dan terisolasi. Hingga tak mampu memikirkan apa pun. Penyatuan ini berakhir dengan jatuhnya kecupan darinya di pucuk kepalaku.
Langit telah menghadirkan selimut gelapnya. Aku menghidupkan lampu belajar, di atas meja telah bertumpuk buku-buku yang harus kupelajari. Sejenak, aku melarikan mata di tempat tidurku. Wajah tampan nan gagah itu masih terbaring di sana. Kubiarkan dia terlelap berjam-jam untuk mengganti malam-malamnya yang terjaga.
Kebersamaan kami terus terjalin hingga menginjak setahun. Seiring waktu rasa cintaku pada kak Evan bermetamorfosa semakin kuat. Hubungan kami pun semakin dalam. Aku menjadi sangat bergantung padanya. Tubuhku pun terbiasa menerima tubuhnya. Sayangnya ....
.
.
.
catatan author:
Wuih dah 20 chapter aja nih gays. Novel ini, sebenarnya udah gua rencanain rilis sejak tahun 2022 setelah tamatnya never not. Sama kek sang jurnalis yg dah gw planning dari tahun 2021. Waktu itu, gua bilang kan NN bakal jadi novel terakhir gua yg latarnya di Jepang. Dan member lama GC gua waktu itu dah sempat bantuin milih-milih visualnya. Cuma, gua terlanjur kerja sama dengan editor buat nulis DOSA. Akhirnya ini gw abaikan. Dan setelah tamat Sang Jurnalis kemarin, gua baru kepikiran lagi buat nulis novel ini. Sempat maju-mundur juga nulisnya. Kek nulis gak, ya, nulis gak, ya...
Sama kek Dosa, gua nulis novel ini karena ada isu-isu yang pengen gua bahas dan gua share ke kalian. Dan itu bakal kalian tahu nanti di chapter-chapter ke depan. Jadi bukan cuma sekadar isu MBA ya, bukan cuma kisah kasih mereka ...
Btw, bab ini agak anu dikit ya, tapi gak gua kasih warning di awal bab karena bahasanya dah gua filter dan gak nguasain satu bab penuh juga. Jadi gua rasa amanlah ya.
Ini yang baca 3 kali lipat dari yg nge-like, yang lain pada ke mana? Jangan-jangan jempolnya kena coblos di pemilu kemarin, wkwk.. Oh iya, makasih banyak buat pembaca setia maupun pembaca yang baru gabung dan mengikuti ini. Makasih yang dah ngasih gift poin sebagai bentuk dukungan, padahal gua belom minta kan hehe. Makasih juga buat yang bersedia tekan iklan sebagai bentuk apresiasi. Yang like dan komen juga ya, karena itu membantu menaikkan popularitas stori ini. Pokoknya makasih....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 138 Episodes
Comments
dyul
Beda tipis antara Nafsu n Cinta....
2024-10-13
0
Ita Widya ᵇᵃˢᵉ
sayangnya kenapa ??
2024-09-18
0
My MINE😌
aku termasuk reader yg gmn ya?hehehe
yg ketinggalan chapter,baca nya pun nyicil kek ngangsur cicilan panci nya tetangga.
cuma mau bilang ariagatou gozaimase 😁
2024-09-06
1