Libur semester tiba setelah ujian akhir semester usai. Sebagian besar mahasiswa rantauan menggunakan libur panjang ini untuk pulang ke kampung halaman mereka. Namun, itu tidak berlaku untukku dan juga Arai. Karena mahalnya biaya transportasi antar pulau membuat kami memilih menetap di Jakarta.
Apalagi, ibuku memang sudah mengatakan agar aku tetap di sini, karena mereka tak cukup uang untuk membayar tiket pesawatku. Lebih tepatnya, mereka tengah memprioritaskan keuangan untuk persiapan pesta pernikahan kakakku. Ibu bilang, mereka akan membiayai kepulanganku saat acara pernikahan kakakku tahun depan nanti. Tentunya, demi kebutuhan foto keluarga di pesta nanti.
Kos-kosan yang kuhuni, menjadi sangat sepi karena banyak yang pulang kampung. Jika aku tak berpacaran dengan kak Evan, mungkin aku akan sangat sedih menghabiskan masa liburku di kamar kos di saat semua teman-teman kembali pada orangtuanya. Namun, liburan ini justru membuat kami memiliki banyak waktu untuk bersama.
Aku dan dia berbaring bersebelahan dalam posisi tengkurap di lantai kamar kosku. Di hadapan kami ada sebuah kertas yang dipakai untuk menyusun rencana liburan akhir tahun yang tinggal beberapa hari lagi.
"Kamu mau kita liburan ke mana? Ke Bandung, Jogja, Bali atau ...."
Aku menggeleng. "Aku cuma liburan ke tempat yang dekat-dekat aja."
Jujur, dibanding nama-nama kota yang disebutkan kak Evan, aku memilih untuk pulang ke kampung halaman. Aku merindukan suasana damai kota kecilku yang tak terlalu padat. Namun, mana mungkin aku meminta kak Evan membayarkan tiket pulangku. Ibu juga pasti akan curiga kalo aku bisa pulang.
"Terus, kamu mau ke mana?"
"Emmm ...." Lama aku berpikir.
Tahu kalau aku tak akan memberi jawaban yang jelas, dia lantas berkata, "Aku hitung sampai lima. Kalo gak milih, aku kasih bom ciuman sekarang juga. Satu ... dua ... tiga ...." Dia mulai menghitung hingga membuatku panik.
"Tunggu! Aku cuma pengen ke tempat yang suasananya mirip kota aku," kataku cepat.
Suaranya terhenti tepat di hitungan keempat. "Kayak gimana suasana kota kamu?"
"Enggak seramai Jakarta, sih, tapi ... damai dan banyak ikan segar yang melimpah."
"Jadi kamu pengen makan ikan segar?" tanyanya dengan menunjukkan wajah antusias.
Aku mengangguk sungkan. Ya, selama berada di Jakarta, aku belum pernah menyantap beraneka ragam ikan segar seperti yang ada di kotaku.
Kak Evan tampak berpikir. "Kalo gitu, kita ke mana, ya?"gumamnya, "Ah, aku ingat. Ada tempat yang cocok kita kunjungi, tapi lumayan jauh. Besok kita ke sana, yah!"
"Besok?" Aku tersentak.
"Ya, besok." Kak Evan mengelus kepalaku dengan semangat hingga rambutku teracak-acak tak keruan.
Di saat aku sibuk memperbaiki rambutku yang kusut karena ulahnya, dia malah berpangku kepala, sambil memandang ke arahku dengan senyum yang mengembang. Ditatap tak berkedip seperti itu, tentu membuatku malu. Aku lantas menutup wajahnya dengan telapak tanganku.
"Ya, udah, Kak Evan pulang aja! Udah malam, nih!"
"Jadi kamu ngusir aku?"
"Enggak, kan kita besok mau liburan juga!"
"Oke-oke ... tapi aku gak mau pulang sia-sia," ucapnya sambil mendekat ke arahku.
Tahu apa yang akan dia lakukan, aku lantas berteriak kecil sambil segera menyembunyikan wajahku karena dia pasti akan memberi ciuman bertubi-tubi. Dia semakin bersemangat dengan naik ke belakang tubuhku sambil menahan kedua tanganku yang berusaha melindungi sisi kiri dan kanan wajahku.
"Kalo gak mau pulang, nih!" cetusnya tertawa sambil terus mencari wajahku.
Setelah berlagak tak mau, aku pun menyerahkan diri dengan mengangkat wajahku dan menoleh ke arahnya. Serbuan ciuman langsung mendarat di dahi, alis, kelopak mata, pipi, hidung, dagu dan berakhir di bibirku. Kakiku yang tadinya meronta-ronta, kini melemah seperti tak bertulang menerima sapuan hangat sesapan bibirnya di bibirku. Genggaman tangannya di pergelangan tanganku pun melembut. Dia mengakhiri ciumannya dengan sebuah gigitan dan tarikan kecil pada ujung bibir bawahku.
Dia menjauhkan bibirnya dari bibirku sambil berbisik di telingaku, "Aku pengen banget nerkam kamu malam ini. Tapi, aku takut kamu bakal kecapean."
Dia lalu berdiri, mengambil jaketnya dan pulang meninggalkan aku yang sebenarnya masih ingin dalam dekapannya.
***
Pergantian waktu terjadi begitu cepat. Matahari belum sepenuhnya bersinar, tetapi aku sudah berdiri di pinggir jalan depan kos-kosan dengan memakai mini dress sebatas lutut dan tas selempang. Kak Evan memang memintaku bersiap pagi-pagi sekali agar kami bisa terhindar dari macet.
Tak lama kemudian, sebuah mobil mewah berwarna merah menyala berhenti tepat di hadapanku. Aku terkejut ketika mobil itu membunyikan klakson. Jendela mobil terbuka, menampakkan kak Evan yang ternyata sebagai pengendaranya.
"Ayo masuk!"
Aku sempat tertegun sejenak. Ini pertama kali kak Evan mengajakku keluar dengan menggunakan mobil. Apakah mungkin karena perjalanan yang cukup jauh? Aku langsung membuka pintu mobil dan bergegas masuk.
"Duaaaarr!" Suara Arai mengejutkanku. Ternyata dia duduk di jok belakang pengemudi.
"Arai!" Aku menyebut namanya dengan intonasi tinggi sambil memegang dadaku karena kaget.
Kak Evan ikut tertawa sambil berkata, "Aku ngajak dia soalnya kasihan dia sendiri di rumah. Gak papa, kan?"
Arai bergeser ke tengah dengan menyandarkan kedua tangannya di bahu kursiku dan kursi kak Evan. "Kata Abang Evan, kau pengen makan ikan segar, kalo gitu mending ke kampungku aja. Di kampungku banyak macam ikan segar, semua nama-nama ikan ada. Cuma ikan duyung yang ndak ada!"
Celetukan Arai membuatku tertawa kecil. Pasalnya, dia berkata dengan penuh antusias.
"Kenapa Lo gak bilang dari awal biar kita bisa liburan ke kampung halaman Lo!" cetus kak Evan sambil menyetir.
"Memangnya orang kota mau injak kampung?"
Kak Evan mulai menyetel musik untuk menemani perjalanan kami. Sebuah lagu yang disebut-sebut menjadi lagu paling romantis setahun terakhir ini, mengalun lembut di pendengaran.
Tak `kan pernah ada yg lain di sisi
Segenap jiwa hanya untukmu
Dan tak `kan mungkin ada yg lain di sisi
Ku ingin kau di sini tepiskan sepiku bersamamu... (Hingga akhir waktu_Nine balls)
Di tengah lagu yang bersenandung lembut itu, sebelah tangan kak Evan merambat ke tanganku, menggenggam tanganku dengan hangat. Kami saling memandang dengan sunggingan senyum yang terpatri di wajah masing-masing. Seolah lagu itu benar-benar mewakili perasaan kami. Tiba-tiba Arai ikut bernyanyi dengan suara falsnya.
"Tak kan pernah ada yang lain di sisi ....." Ia melafalkan potongan lirik tersebut dengan suara yang melengking tepat di telinga kak Evan, sehingga tautan tangan kami spontan terlepas karena terkejut.
"Arai, Sialan! Bisa diam gak? Lo merusak lagu favorit gua!" ketus kak Evan.
Arai terkekeh dan tampak sengaja melakukannya. "Aku juga pengen belajar romantis!" celetuknya.
"Makanya cari pacar sana! Biar lo bisa nyanyiin lagu romantis di kuping pacar lo!" kata kak Evan.
"Aku tuh belum mau pacaran, Bang. Tunggu sampai aku mau nikah. Soalnya, kalo pacaran cuma sekedar ngingatin mandi, makan, sama tidur ... aku juga bisa ingat sendiri ndak perlu pakai bantuan orang lain!"
Kak Evan menginjak pedal rem mendadak, hingga suara decitan mobil terdengar. Tubuh kami langsung terantuk ke depan.
"Ada apa?" tanya Arai setelah tubuhnya sempat maju ke depan.
Aku melihat deretan mobil yang macet di depan sana, diikuti beberapa orang yang berkumpul tepat di satu titik depan sana.
"Sepertinya ada kecelakaan," jawabku dengan wajah sedikit tegang.
.
.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 138 Episodes
Comments
My MINE😌
mungkin karena ga ada topik pembuka yg di bahas ya, jd ujung nya bosan kek gini.
2024-09-06
0
🥑⃟Ꮶ͢ᮉ᳟•ᾰ𝕣ຣ𝑦𝐀⃝🥀⏤͟͟͞͞🧸👻ᴸᴷ
duhh rai jangan jujur" amat lah 🤣
2024-08-28
0
🥑⃟Ꮶ͢ᮉ᳟•ᾰ𝕣ຣ𝑦𝐀⃝🥀⏤͟͟͞͞🧸👻ᴸᴷ
sejak kapan ada ikan duyung 😆😂🤣
2024-08-28
0