BEM merupakan lembaga eksekutif tingkat universitas/institut yang akan mengakomodir seluruh kepentingan mahasiswa. Bisa dikatakan, BEM adalah pemerintahan di kalangan mahasiswa. Kehadiran BEM sangat dibutuhkan karena kerap menjembatani antara mahasiswa dan pihak kampus. Aku mengibaratkan rektor adalah presiden, BEM universitas adalah DPR, sedang BEM fakultas adalah DPRD yang berada di tiap-tiap provinsi. Di negara ini sendiri, suara kritikan tajam BEM sangat ditakuti para pemangku jabatan.
Untuk menjadi ketua BEM, tentu harus memiliki kecakapan yang baik, jiwa sosial yang tinggi, tidak pernah berkasus secara akademik atau lainnya, memiliki prestasi dan nilai semester di atas 3.00. Itulah kenapa ketua BEM menjadi jabatan paling bergengsi di kampus. Dengan ketampanan dan kefasihan bercakap yang ia miliki serta menjabat sebagai ketua BEM fakultas, bagaimana bisa aku menafikan diri kalau aku tak kagum pada lelaki bernama Evan ini?
Materi yang dibawakan Kak Evan selama satu jam, menjadi materi terakhir dalam pelaksanaan ospek universitas. Sebelum ospek berakhir, terdapat sesi salam-salaman antar Maba dan panitia. Ini juga dijadikan momen maaf-maafan dan foto bersama. Di antara banyaknya panitia, kak Evan menjadi senior yang paling banyak dikerumuni mahasiswi yang sekadar bersalaman atau meminta foto bersama. Padahal, kehadirannya hanya di hari terakhir ospek, bahkan di penghujung jam pulang.
Aku memandanginya dari kejauhan tanpa berani menghampiri seperti Maba lainnya. Kulihat dia berpamitan dengan yang lainnya dan lebih dulu keluar dari gedung aula. Aku lantas segera ikut keluar, menerobos kerumunan banyak mahasiswa yang begitu sesak hanya untuk membuntutinya.
Aku bagaikan seorang penguntit yang terus mengikutinya diam-diam. Kami melewati jalanan setapak yang berbatu. Aku sampai berpura-pura memetik bunga di sekitarku ketika dia berhenti hanya untuk mengobrol dengan temannya. Sepanjang jalan, dia memang banyak bertegur sapa dengan para senior lainnya. Bahkan pemilik kantin pun tak lepas dari sapaannya. Keramahannya pada siapapun, menambah poin plus di mataku.
Aku terus menapaki jejak langkahnya. Rasanya arah jalan ini tak asing. Aku bergegas bersembunyi ketika dia berhenti di bawah pohon sambil mengeluarkan earphone dari tasnya. Ah, aku baru ingat ini adalah lokasi saat aku tersesat di hari pertama mengunjungi kampus.
Sama seperti saat pertama aku melihatnya, dia duduk seorang diri di sana dengan tangan bersedekap dan satu kaki yang berpangku pada paha sebelahnya. Matanya tertutup, seperti benar-benar menikmati alunan lagu dari earphone hitam metalik yang menyumbat di telinganya.
Aku bersembunyi di balik tembok dengan hanya menyembulkan kepalaku untuk melihat punggungnya di kejauhan. Beberapa mahasiswa yang lewat dan menoleh heran ke arahku, membuatku merasa takut jika mereka tahu aku sedang memantau kak Evan. Aku pun mencari tempat yang aman di mana aku bisa melihatnya diam-diam dengan puas.
Ah, aku melihat gedung kecil tingkat dua yang tangganya berada di sisi luar. Aku lantas segera ke sana, kemudian menaiki tangga menuju balkon. Aku tak tahu gedung apa ini, tampaknya sudah tak terpakai. Bisa dilihat dari lantainya yang tak pernah dibersihkan dan pegangan tangga yang berdebu tebal.
Aku bersandar di pembatas balkon gedung ini. Dari tempat ini, aku bisa melihat kak Evan dengan jelas dan leluasa tanpa takut ketahuan siapapun. Dia masih duduk mematung seperti tadi dengan mata yang senantiasa terpejam. Melihatnya menyendiri dalam keheningan seperti ini, seolah sedang mengenal sisi lain dirinya yang penuh misteri.
Aku menopang wajahku dengan kedua tangan yang bersandar di balkon. Bibirku terus menyunggingkan senyum, sedang mataku tak lelah memandang ke arahnya. Kakiku berjinjit-jinjit layaknya penari balet. Aku baru tahu ternyata melihat orang yang kita sukai bisa sebahagia ini.
"Ih, senang sekali rasanya bisa lihat dia dari sini!" gumamku sambil menghentak-hentakkan kaki kegirangan.
"Kenapa ndak didatangi saja langsung ke sana! Bisa kau pandangi dia sepuasnya dari dekat. Daripada cuma dilihat dari sini."
Bahuku terangkat ketika mendengar suara seseorang. Napasku mendadak tertahan. Tubuhku berhenti bergerak seketika. Dengan perlahan, kepalaku memutar ke samping. Mataku terbelalak melihat sesosok lelaki ada di balkon yang sama denganku dan berdiri sekitar dua meter dari tempatku berpijak.
Dia Arai, mahasiswa yang sempat membuat kehebohan di ospek pertama universitas. Dia juga lelaki yang sempat menolongku saat ponselku berdering. Entah bagaimana dia bisa tiba-tiba ada di sini.
Dia lalu mencondongkan wajahnya ke arahku sambil berkata dengan suara berbisik, "Kau suka cowok yang duduk di bawah pohon itu, kan?"
Kurasakan wajahku memerah. Sempat membeku beberapa saat, aku lantas berbalik dan langsung berlari meninggalkannya. Kuayunkan kaki ini sekencang-kencangnya menjauhi gedung itu.
Aaaaaaaaaaarght! Aku ingin berteriak saat ini juga. Kenapa harus ada orang yang mengetahui aku sedang memandang kak Evan diam-diam. Lebihnya lagi, kenapa harus lelaki itu yang memergokiku? Pasalnya kami satu fakultas, satu jurusan bahkan satu kelas!
Bodoh! Bodoh! Bodoh! Bagaimana bisa aku seceroboh ini? Bagaimana ini? Bagaimana aku menghadapinya di hari pertama masuk kampus? Bagaimana kalau dia memberitahu teman-teman sekelas? Bagaimana kalau besok dia merundungku di kelas?
Dalam kekacauan batinku, tak ada yang bisa kulakukan selain terus berlari. Namun, langkahku tiba-tiba terhenti saat aku menyadari sedang melewati jalan di mana terdapat markas para mahasiswa abadi yang dikenal sebagai penguasa kampus. Berbanding terbalik dengan sebelumnya, kali ini kakiku justru tak bisa kugerakkan saat para lelaki berpenampilan ala emo itu memandangku dengan tatapan mesum. Belum lagi siulan nakal dan gombalan rayuan yang mereka lontarkan langsung padaku.
"Hi, Maba cantik, mau ke mana? Kakak temani, yuk!"
Mereka berbeda orang dengan yang kulihat pertama kali saat itu. Tiga orang di antaranya menghampiriku sambil melempar gombalan seksiis.
"Wow, lumayan gede juga!" ucap salah satunya dengan mata yang terang-terangan menatap ke dadaku.
Di saat yang bersamaan, sebuah tangan merangkul pundakku dengan erat. Aku terkesiap memandang kak Evan yang ternyata telah berada di sampingku.
"Sopan dikit sama cewek gue!" tegurnya sambil menutup mata sekaligus mendorong kepala pria yang baru saja melempar pelecehan verbal padaku.
Kak Evan langsung membawaku berjalan menjauhi markas mereka. Jalannya yang cepat, membuat kakiku harus menyesuaikan langkahnya. Kali ini kami benar-benar dekat, hingga aku bisa melihat wajahnya dengan jelas. Ternyata dia memiliki bulu mata yang lentik dan panjang. Wajahnya teduh dihiasi bibir yang selalu menyunggingkan senyum.
"Kamu pasti tersesat lagi!" ucapnya sambil terus membawaku berjalan.
Aku cuma bisa diam sambil menunduk.
Ketika kami mulai menjauh dari markas tersebut, dia lantas melepas rangkulannya di pundakku.
"Gimana ospeknya? Ada yang bully kamu, gak?"
Aku menggeleng pelan.
"Kalo tersesat kayak tadi, gak usah lewat ke sana lagi. Ini jalan yang lebih aman!" ucapnya sambil menggiringku ke jalan yang baru.
Aku masih menutup mulutku dengan rapat. Lidahku terasa kelu, seperti kehilangan seluruh kemampuan berbicara. Yang bisa kulakukan hanyalah terus mengekor sembari memandang punggungnya. Dia lalu mendadak berbalik dan menoleh ke arahku.
"Kamu udah save nomor aku, kan?"
Aku mengangguk kaku. Kenapa dia bertanya seperti itu?
"Lain kali kalo kamu butuh bantuan atau diganggu kayak tadi, langsung hubungi aku aja!"
Aku terperanjat sesaat. Jadi ... itukah alasan dia bertukar nomor hp denganku?
Aku sudah berbesar kepala karena mengira dia hendak melakukan pendekatan denganku. Padahal itu hanyalah bagian dari caranya menawarkan bantuan padaku. Kurasa dia paham dengan karakterku yang pemalu dan sering sungkan untuk meminta pertolongan pada orang lain. Di titik ini, aku tidak tahu harus senang atau tidak. Aku takut kembali merasa spesial, padahal mungkin dia memperlakukan semua gadis sama sepertiku. Mengingat, dia ramah pada semua orang.
Tak terasa, kami telah sampai di pintu gerbang keluar universitas. Kami berdiri saling berhadapan.
"Kamu pulang naik apa?"
"Cuma jalan kaki, Kak. Soalnya kos aku juga dekat dari kampus!"
"Oh, ya, udah. Aku antar sampai sini aja, ya. Soalnya aku masih mau cari bahan penelitian."
Aku mengangguk. "Makasih, Kak."
"Akhirnya," ucapnya sambil tersenyum.
Aku mengernyit bingung.
"Akhirnya kamu ngomong juga!" lanjutnya sambil tertawa kecil.
Aku hanya bisa tersipu.
Dia lalu berjalan mundur sambil berteriak, "semangat for kuliah perdananya!"
Aku hanya bisa tertegun memandangnya. Bahkan ketika ia telah berbalik dan semakin menjauh dariku, mataku masih setia mengawal punggungnya yang berangsur-angsur menghilang dari tatapanku.
Dear kamu yang baru kuketahui namanya, bolehkah aku merapalkan namamu dalam doa?
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 138 Episodes
Comments
gyu_rin
udah pd gk bakal ada yg liat eh ketauan juga 😭 tp bener samper aja kak evan yg ganteng itu 😭
2025-02-22
0
novita setya
wis rasah dirapalke jenenge..ngko nek kowe loro ati malah koceng harang mbok jak gelut
2024-12-05
0
gyu_rin
jalur langit lebih mantep ta tp ayo coba rebutan sama aku 🤭
2025-02-22
0