Bab 13 : Melepas Rindu

Perkuliahan telah berjalan lima bulan. Artinya, akhir semester sudah tak lama lagi. Hampir dua pekan aku dan kak Evan sibuk dengan aktivitas masing-masing. Kami tak punya waktu berduaan seperti awal-awal pacaran. Sibuk dengan penelitiannya, membuat ia lebih sering di rumah sakit daripada di kampus, sementara aku sibuk bergumul dengan tugas dan ujian. Meski begitu, komunikasi kami tetap berjalan lancar.

Sedang berada di kos, aku langsung merebahkan tubuhku di atas kasur tipis setelah melafalkan materi yang akan dipraktikkan Minggu depan. Kuangkat tinggi-tinggi jepitan rambut kupu-kupu pemberiannya waktu itu. Ya, melihat jepitan rambut ini adalah hal yang kulakukan ketika merindukannya. Kenapa dia belum juga menghubungiku dari pagi?

Begitu aku hendak mengecek ponselku, di saat yang sama terdapat panggilan masuk. Aku segera menerima panggilan telepon yang ternyata berasal dari ibuku.

"Halo, Ma ...."

"Ita, so pulang kuliah kau?"

"Udah, ini lagi di kos."

"Ada yang mama mau bilang. Kakakmu mau menikah tahun depan. Sudah didesak sama orangtua ceweknya supaya cepat datang melamar. Jadi, mama mau kumpul uang untuk acara nikahan kakakmu nanti. Uang makan bulananmu mama mau potong dulu untuk menabung acaranya kakakmu."

"Bukannya kakak udah nabung uang nikah dari tahun lalu?"

"Iya, dia memang menabung untuk naik lamaran. Tapi mama juga mau nabung untuk adakan pesta sendiri. Apa kata tetangga kalo kita tidak buat pesta besar sendiri khusus laki-laki?"

Aku memilih diam seraya memandang stok mie instan yang hampir habis. Sementara ibuku terus berceloteh seolah memintaku memahami keuangan mereka.

"Terus ... itu adikmu juga mau ikut turnamen Taekwondo di Bali. Mama mau kumpul uang jalannya juga. Sebenarnya mama tidak izinkan ikut, tapi anak tetangganya kita juga sudah mendaftar. Masa adikmu tidak!"

Aku menghela napas. Lagi-lagi kata tetangga. Aku tidak paham jalan pikiran ibu yang selalu ingin terlihat lebih di mata tetangga.

Hatiku seolah sedang menjerit untuk minta diprioritaskan sesekali. Meski aku mendapat tunjangan per semester dari beasiswa, tetap saja itu tak cukup untuk biaya hidup di kota besar. Belum lagi, pengeluaran pembelian buku-buku penunjang dan pembuatan tugas.

"Halo, Ita?" Ibu memanggilku karena aku tak kunjung bersuara.

"Ya ...."

"Kau kan anak pengertian dan penurut. Irit-irit saja dulu di sana, Nak. Nanti mama kirimkan lagi makanan kalo ada uang."

'Anak pengertian dan penurut' adalah sebuah doktrin dari ibuku agar aku tidak berani membantahnya. Menurut para ahli, Melabeli anak dengan sebutan baik atau buruk keduanya mengandung beban psikologis bagi anak itu sendiri. Seperti diriku yang dari kecil, aku tak pernah diberi hak dan kesempatan untuk mengungkapkan perasaanku. Akibatnya, aku menjadi sosok yang sungkan berbicara apa pun bahkan sekadar untuk mengutarakan pendapatku di depan umum. Aku juga menjadi sosok yang tak pernah berani menolak permintaan orang lain.

Di saat sedang dilanda suasana hati yang buruk, teleponku mendadak kembali berdering. Dengan malas, aku mengambil kembali ponselku. Namun, begitu melihat kontak kak Evan yang memanggil, aku lantas segera bangun sambil merapikan rambutku secara refleks seolah dia akan melihatku saat itu juga.

"Halo ...."

"Ganggu, gak?"

"Enggak kok."

"Kalo gitu bisa keluar, gak? Aku ada di depan."

Aku terkesiap mendengarnya. Dengan buru-buru, aku keluar dari kamar kosku menghampiri kak Evan yang tengah menunggu di depan sana. Meski remang, aku bisa melihat senyum yang terpatri di wajahnya. Cukup melihatnya seperti itu, sudah membuat kegundahan di hatiku lenyap.

"Ayo kita jalan-jalan!"

"Hah?"

Dia langsung memasangkan helm di kepalaku serta mengaitkan ikatan tali di daguku. Wajah dan binar mata yang hangat itu selalu membuatku enggan berpaling pada siapapun.

"Tunggu, aku mau ambil jaket dulu!" ucapku sambil berbalik hendak kembali ke kamar.

"Enggak usah." Dia bergegas menahan tanganku, kemudian membuka jaket tebal yang terpasang di badannya. "Pakai ini saja," ucapnya seraya memakaikan jaket tersebut di tubuhku dan menarik resletingnya agar tertutup penuh.

Kami pun meluncur, mengitari jalanan ibukota yang masih sesak dan penuh. Bahkan ikut menjadi salah satu dari banyaknya pengendara yang berhimpit seperti sarden dalam kaleng. Melewati lampu-lampu malam yang memantulkan cahaya penuh gairah, gedung-gedung bertingkat yang menjulang, dan orang-orang yang masih berebut rezeki di pinggiran jalanan.

"Kangen aku, gak?" tanyanya seraya menatapku lewat spionnya.

"Kangen," ucapku dengan malu-malu.

"Apa?" Dia menoleh sejenak ke arahku.

"Kangen." Aku mengulang kata itu dengan sedikit menaikkan intonasi.

"Enggak denger!" teriaknya.

"Kangeeen!" teriakku di telinganya yang terhalangi helm.

Dia menambah laju kecepatan motornya. Aku pun menyandarkan kepalaku pada punggung yang sudah kurindukan selama seminggu ini. Bolehkah aku berangan-angan, menjadi satu-satunya perempuan yang bersandar di punggungmu ini?

Jakarta menjadi saksi bagaimana kisahku dengannya terbingkai apik di setiap sudut kota yang kami jelajahi. Di tempat ini pula aku berani melambungkan impianku padanya. Meski angan yang aku anyam telah berada di hadapanku saat ini, tapi doaku untuk menjaga kebersamaan ini tak putus kuhaturkan. Sebab, aku tak ingin kehilangannya. Benar-benar tak ingin.

"Kak Evan mau bawa aku ke mana?" tanyaku sembari berjalan pelan dengan mata yang ditutup kedua tangannya.

"Ngelihat pemandangan indah!" ujarnya sambil terus menggiringku berjalan maju.

Dia lalu menarik kedua tangannya yang menutupi sepasang mataku dengan perlahan. Aku mengerjapkan mata dengan perlahan. Pupilku membesar kala melihat keindahan pemandangan malam kota Jakarta dari ketinggian lantai yang kami pijaki. Belantara gedung bertingkat yang sesak di siang hari kini terlihat menawan dengan kerlap-kerlip lampu.

Kak Evan yang berdiri di belakangku, lantas melingkarkan tangannya di badanku. "Kamu suka, gak?"

"Hum ...." Aku mengangguk dengan kepala yang tersandarkan di dadanya.

Tak hanya memuaskan indra penglihatan, tempat yang kami datangi itu juga memuaskan pengecapku dengan aneka menu makanan yang dipesan kak Evan. Dia juga meminta pramusaji untuk membawa pulang menu serupa. Ternyata itu akan dia berikan pada Arai, dan paman-bibinya.

Waktu telah menunjukkan pukul sepuluh malam. Kak Evan pun mengantarku pulang ke kos. Dia membantuku melepas helm dan jaketnya yang sempat kupakai. Dia merapikan rambutku yang sempat berantakan efek memakai helm.

"Masuk aja!" pintanya mempersilakan aku kembali ke kosku.

"Kak Evan aja dulu yang pergi."

"Ngusir, nih?"

Aku buru-buru berkata. "Enggak ... enggak. Ya, udah aku aja yang duluan masuk."

Baru berbalik dan berjalan dua langkah, dia malah menarik tanganku sehingga tubuhku masuk ke dalam dekapannya.

"Ternyata aku masih kangen ma kamu," ucapnya sambil memelukku dengan erat.

"Kak Evan aku malu kalo ada yang lihatin," ucapku pelan walau sebenarnya aku juga senang mendapat pelukan hangat darinya.

Dia pun melepaskan pelukannya. Aku melambaikan tangan ke arahnya sebelum benar-benar masuk. Saat tiba di depan pintu kamarku, aku terkejut saat menyadari kunciku tertinggal di dalam sana sementara pintu kamarku telah tergembok. Aku segera berlari keluar menghampiri kak Evan yang baru saja menghidupkan mesin motornya.

"Kak Evan bantu aku! Kunci gembok kamarku tertinggal di dalam. Aku tadi buru-buru banget sampai lupa bawa kunci."

Kak Evan langsung turun dari motornya lalu menuju kamarku. Namun, sebelumnya dia sudah membawa batu cukup besar untuk dipakai membuka paksa gembok kamar. Dalam sekali pukulan, gembok itu berhasil terbuka.

"Makasih," ucapku padanya.

Kulihat pandangannya terarah pada wadah penampungan yang kuletakkan tepat di samping kasur tipis.

"Kamar kamu bocor?" tanyanya sambil melangkah masuk serta melihat ke plafon kamarku.

"Itu baru Minggu lalu. Sebelumnya gak bocor."

Aku sedikit malu memperlihatkan kondisi kamar kosku yang kecil, sempit, dan bocor. Saat menoleh ke samping, aku tersadar dalamanku yang berwarna merah jambu tercecer keluar dari box pakaian kotor. Aku lantas menjepit dalamanku itu dengan jari kakiku dan melemparnya kembali ke tempat semula.

"Jadi kamu tadi lagi ngerjain tugas?" ucapnya tiba-tiba.

Aku menoleh ke arahnya. Ternyata dia sudah duduk di ranjangku sambil memegang buku catatanku yang kuletakkan begitu saja di atas kasur.

"Enggak, aku cuma belajar doang."

"Kamu kurang tepat. Bukan kayak gini urutannya."

Dia mengambil pulpen lalu mencoret kesalahan yang kutulis dan menggantinya ke urutan yang benar. Aku lantas duduk di sampingnya, sambil melihat koreksiannya.

"Ini baru tepat!" ucapnya sambil menoleh ke arahku.

Mata kami berkontak satu sama lain. Entah kenapa, suasana hening mendadak tercipta di kamar ini. Mataku pun seolah tak bisa berpaling dari pandangannya. Di saat yang sama, wajahnya mendekat secara bertahap ke arahku. Kelopak matanya pun meredup seiring bibirnya yang hangat menjamah bibirku dengan sempurna.

Terpopuler

Comments

Ita Widya ᵇᵃˢᵉ

Ita Widya ᵇᵃˢᵉ

awas nanti kamu hamidun loh 🤪🤣

2024-09-05

1

Ita Widya ᵇᵃˢᵉ

Ita Widya ᵇᵃˢᵉ

emak lu mah ya grit pengennya ke sohor terus tapi gak lihat anaknya kaya apa.

2024-09-05

0

My MINE😌

My MINE😌

yang akan terjadi maka terjdilah.

2024-09-05

0

lihat semua
Episodes
1 Bab 1 : Menyusuri Lembaran Masa Lalu
2 Bab 2 : Semuanya Berawal dari Pertemuan itu ....
3 Bab 3: Seseorang yang Lain, Selain Dia
4 Bab 4 : Dua Pria yang Hadir di Hidupku
5 Bab 5: Menjadi Penguntit Dadakan
6 Bab 6 : Masa Puberku yang Tertunda
7 Bab 7 : Senja yang Mempertemukan Kita
8 Bab 8 : Sesuatu yang Tidak Kuketahui
9 Bab 9 : Pemandangan Berbeda di Balkon
10 Bab 10 : Punggung yang Telah Termiliki
11 Bab 11 : Momen Kecil Bersamanya
12 Bab 12 : Aku dan Dia adalah Persamaan
13 Bab 13 : Melepas Rindu
14 Bab 14 : Surga yang Kami Ciptakan
15 Bab 15 : Setelah Kejadian Itu
16 Bab 16 : Dia yang Memengaruhi Sistem Saraf di Otakku
17 Bab 17 : Momen Kebersamaan
18 Bab 18 : Untuk Dikenang
19 Bab 19 : Ternyata Banyak yang Belum Kuketahui Tentangnya
20 Bab 20 : Sepotong Jiwa yang Bersatu
21 Bab 21 : Keluarga yang Bukan Keluarga
22 Bab 22 : Menempati Posisi Terbaik di Hidupnya
23 Bab 23 : Bahagia Bersamanya
24 Bab 24 : Sebuah Insiden
25 Bab 25 : Dilindungi dan Terlindungi
26 Bab 26 : Kita yang Menabung Rindu
27 Bab 27 : Masa Depan yang Belum Terencana
28 Bab 28 : Mulai Berongga
29 Bab 29 : Genggaman Tangan dan Pelukan Hangat darinya
30 Bab 30 : Dia yang Penuh Tanda Tanya
31 Bab 31 : Rasa Manis yang Dia berikan
32 Bab 32 : Tatap Aku!
33 Bab 33 : Masih Tak Percaya
34 Bab 34 : Serba Terlalu
35 Bab 35 : Jiwa Baru Bersama Ragaku
36 Bab 36 : Awal Kehidupan Baru
37 Bab 37 : Dear Calon Anakku
38 Bab 38 : Kembali Berteman Kehilangan
39 Bab 39 : Dua Orang yang Tergabung Dalam Satu
40 Bab 40 : Hai, Masa Depan!
41 Bab 41 : Kelu!
42 Bab 42 : Kembali Bersitatap
43 Bab 43 : Selamat Tinggal
44 Bab 44 : Ini Aku yang Menyakitimu
45 Bab 45 : Keluarga Top 1%
46 Bab 46 : Revolusi Hidup
47 Bab 47 : Seseorang yang Didatangkan Untukku
48 Bab 48 : Kehadiranmu di Batas Senja
49 Bab 49 : Kita yang Saling Menemukan dan Ditemukan
50 Bab 50 : Aku dan Kau yang Menjadi Kita
51 Bab 51 : Rindu yang Mencekikku
52 Bab 52 : Kau Adalah Pijar Terang Bagiku
53 Bab 53 : Meski Kita Saling Menginginkan
54 Bab 54 : Kehadirannya
55 Bab 55 : Dari Sini
56 Bab 56 : Pertemuan Dua Keluarga
57 Bab 57 : Sesuatu yang Tidak Kuduga
58 Bab 58 : Aku yang Terhimpit
59 Bab 59 : Ketika Dilanda Dilema
60 Bab 60 : Ini Caraku Mencintaimu
61 Bab 61 : Jejak Lipstikmu di Bibirku
62 Bab 62 : Nol Persen
63 Bab 63 : Kehidupan Baru
64 Bab 64 : Hal yang Tertinggal
65 Bab 65 : Akulah yang Ditinggalkan
66 Bab 66 : Manusia dan Penyesalannya
67 Bab 67 : Yang Tak Lagi Sama
68 Bab 68 : Mungkin Sudah Tepat
69 Bab 69 : Lini Masa
70 Bab 70 : Kalau Saja ....
71 Bab 71 : Yang Selalu Menuju Ke arahku
72 Bab 72 : Cemburu yang Tak Semestinya
73 Bab 73 : Sudah Waktunya, kah?
74 Bab 74 : Tenanglah!
75 Bab 75 : Orang-orang yang Tahu
76 Bab 76 : Bersama tapi Tak Bersama
77 bab 77 : Senja Terindah
78 Bab 78 : Kau yang Dekat, tapi Tak bisa Kudekap
79 Bab 79 : Aku yang Tertohok
80 Bab 80 : Tuntutan Keluarga
81 Bab 81 : Dari Tempat Persembunyianku
82 Bab 82 : Setangkai Bunga Mawar
83 Bab 83 : Dari Balik Tirai
84 Bab 84 : Kepada Waktu ....
85 Bab 85 : Bodohnya Aku
86 Bab 86 : Sembunyi
87 Bab 87 : Perasaan yang Masih Berkutat
88 Bab 88 : Ke mana dia?
89 Bab 89 : Foto Bersama
90 Bab 90 : Demi Satu Hal
91 Bab 91 : Kebersamaan Kita
92 Bab 92 : Mari Jadikan Penantian
93 Bab 93 : Jaga Jarak
94 Bab 94 : Apa yang Harus Kulakukan?
95 Bab 95 : Panggil Namaku!
96 Bab 96 : Di Luar Dugaan
97 Bab 97 : Aku Memang Bukan Dia, Tidak Seperti Dia ....
98 Bab 98 : Mantan Terindah
99 Bab 99 : Seseorang yang Jadi Tujuanku
100 Bab 100 : Memulai Perang
101 Bab 101 : Yang Sengaja Kurahasiakan
102 Bab 102 : Mengatur Pertemuan
103 Bab 103 : Kuakui, Aku cemburu
104 Bab 104 : Panggilan yang Mendebarkan
105 Bab 105 : Di Tengah Rinai
106 Bab 106 : Aku Bisa Apa?
107 Bab 107 : Kita Hanyalah Sebuah Koma
108 Bab 108 : Inikah Waktunya?
109 Bab 109 : Bagaimana Mungkin ....
110 bab 110 : Kebohongan yang Terbongkar
111 Bab 111 : Harimau tidak Memakan Anaknya?
112 Bab 112 : Situasi Rumit
113 Bab 113 : Menyambung Kisah
114 Bab 114 : Lebih dari Seorang Teman
115 Bab 115 : Sang Pemilik Senyum Merenyuhkan
116 Bab 116 : Si Pemilik Pelukan Terhangat
117 Bab 117 : Yang Baru Kuketahui
118 Bab 118 : Terlalu Sulit Untuk kupahami
119 Bab 119 : Sebuah Permintaan
120 Bab 120 : Aku Tak Menyukai Perasaan Ini
121 Bab 121 : Kami Tak Mungkin Bersama
122 Bab 122 : Catatan Darinya
123 Bab 123 : Catatan Terakhir Darinya
124 Bab 124: Aku Tak Cukup Jauh Mengenalnya
125 Bab 125 : Aku Pernah Sebahagia Itu
126 Bab 126 : Reset Kehidupan
127 Bab 127 : Cinta yang Merumpun
128 Bab 128 : Alam yang Menyatukan Kebersamaan
129 Bab 129 : Sebuah Keputusan
130 Bab 130 : Pengagum Rahasia
131 Bab 131 : Selangkah Demi Selangkah
132 Bab 132 : Semoga Berjalan Mulus
133 Bab 133 : Genggam Tanganku
134 Bab 134 : Hal yang Tertunda
135 Bab 135 : Melepas Rindu yang Mendayu
136 Bab 136 : Seonggok Jiwa yang Layak Bahagia.
137 All About Novel Ini
138 Novel Baru Yu Aotian
Episodes

Updated 138 Episodes

1
Bab 1 : Menyusuri Lembaran Masa Lalu
2
Bab 2 : Semuanya Berawal dari Pertemuan itu ....
3
Bab 3: Seseorang yang Lain, Selain Dia
4
Bab 4 : Dua Pria yang Hadir di Hidupku
5
Bab 5: Menjadi Penguntit Dadakan
6
Bab 6 : Masa Puberku yang Tertunda
7
Bab 7 : Senja yang Mempertemukan Kita
8
Bab 8 : Sesuatu yang Tidak Kuketahui
9
Bab 9 : Pemandangan Berbeda di Balkon
10
Bab 10 : Punggung yang Telah Termiliki
11
Bab 11 : Momen Kecil Bersamanya
12
Bab 12 : Aku dan Dia adalah Persamaan
13
Bab 13 : Melepas Rindu
14
Bab 14 : Surga yang Kami Ciptakan
15
Bab 15 : Setelah Kejadian Itu
16
Bab 16 : Dia yang Memengaruhi Sistem Saraf di Otakku
17
Bab 17 : Momen Kebersamaan
18
Bab 18 : Untuk Dikenang
19
Bab 19 : Ternyata Banyak yang Belum Kuketahui Tentangnya
20
Bab 20 : Sepotong Jiwa yang Bersatu
21
Bab 21 : Keluarga yang Bukan Keluarga
22
Bab 22 : Menempati Posisi Terbaik di Hidupnya
23
Bab 23 : Bahagia Bersamanya
24
Bab 24 : Sebuah Insiden
25
Bab 25 : Dilindungi dan Terlindungi
26
Bab 26 : Kita yang Menabung Rindu
27
Bab 27 : Masa Depan yang Belum Terencana
28
Bab 28 : Mulai Berongga
29
Bab 29 : Genggaman Tangan dan Pelukan Hangat darinya
30
Bab 30 : Dia yang Penuh Tanda Tanya
31
Bab 31 : Rasa Manis yang Dia berikan
32
Bab 32 : Tatap Aku!
33
Bab 33 : Masih Tak Percaya
34
Bab 34 : Serba Terlalu
35
Bab 35 : Jiwa Baru Bersama Ragaku
36
Bab 36 : Awal Kehidupan Baru
37
Bab 37 : Dear Calon Anakku
38
Bab 38 : Kembali Berteman Kehilangan
39
Bab 39 : Dua Orang yang Tergabung Dalam Satu
40
Bab 40 : Hai, Masa Depan!
41
Bab 41 : Kelu!
42
Bab 42 : Kembali Bersitatap
43
Bab 43 : Selamat Tinggal
44
Bab 44 : Ini Aku yang Menyakitimu
45
Bab 45 : Keluarga Top 1%
46
Bab 46 : Revolusi Hidup
47
Bab 47 : Seseorang yang Didatangkan Untukku
48
Bab 48 : Kehadiranmu di Batas Senja
49
Bab 49 : Kita yang Saling Menemukan dan Ditemukan
50
Bab 50 : Aku dan Kau yang Menjadi Kita
51
Bab 51 : Rindu yang Mencekikku
52
Bab 52 : Kau Adalah Pijar Terang Bagiku
53
Bab 53 : Meski Kita Saling Menginginkan
54
Bab 54 : Kehadirannya
55
Bab 55 : Dari Sini
56
Bab 56 : Pertemuan Dua Keluarga
57
Bab 57 : Sesuatu yang Tidak Kuduga
58
Bab 58 : Aku yang Terhimpit
59
Bab 59 : Ketika Dilanda Dilema
60
Bab 60 : Ini Caraku Mencintaimu
61
Bab 61 : Jejak Lipstikmu di Bibirku
62
Bab 62 : Nol Persen
63
Bab 63 : Kehidupan Baru
64
Bab 64 : Hal yang Tertinggal
65
Bab 65 : Akulah yang Ditinggalkan
66
Bab 66 : Manusia dan Penyesalannya
67
Bab 67 : Yang Tak Lagi Sama
68
Bab 68 : Mungkin Sudah Tepat
69
Bab 69 : Lini Masa
70
Bab 70 : Kalau Saja ....
71
Bab 71 : Yang Selalu Menuju Ke arahku
72
Bab 72 : Cemburu yang Tak Semestinya
73
Bab 73 : Sudah Waktunya, kah?
74
Bab 74 : Tenanglah!
75
Bab 75 : Orang-orang yang Tahu
76
Bab 76 : Bersama tapi Tak Bersama
77
bab 77 : Senja Terindah
78
Bab 78 : Kau yang Dekat, tapi Tak bisa Kudekap
79
Bab 79 : Aku yang Tertohok
80
Bab 80 : Tuntutan Keluarga
81
Bab 81 : Dari Tempat Persembunyianku
82
Bab 82 : Setangkai Bunga Mawar
83
Bab 83 : Dari Balik Tirai
84
Bab 84 : Kepada Waktu ....
85
Bab 85 : Bodohnya Aku
86
Bab 86 : Sembunyi
87
Bab 87 : Perasaan yang Masih Berkutat
88
Bab 88 : Ke mana dia?
89
Bab 89 : Foto Bersama
90
Bab 90 : Demi Satu Hal
91
Bab 91 : Kebersamaan Kita
92
Bab 92 : Mari Jadikan Penantian
93
Bab 93 : Jaga Jarak
94
Bab 94 : Apa yang Harus Kulakukan?
95
Bab 95 : Panggil Namaku!
96
Bab 96 : Di Luar Dugaan
97
Bab 97 : Aku Memang Bukan Dia, Tidak Seperti Dia ....
98
Bab 98 : Mantan Terindah
99
Bab 99 : Seseorang yang Jadi Tujuanku
100
Bab 100 : Memulai Perang
101
Bab 101 : Yang Sengaja Kurahasiakan
102
Bab 102 : Mengatur Pertemuan
103
Bab 103 : Kuakui, Aku cemburu
104
Bab 104 : Panggilan yang Mendebarkan
105
Bab 105 : Di Tengah Rinai
106
Bab 106 : Aku Bisa Apa?
107
Bab 107 : Kita Hanyalah Sebuah Koma
108
Bab 108 : Inikah Waktunya?
109
Bab 109 : Bagaimana Mungkin ....
110
bab 110 : Kebohongan yang Terbongkar
111
Bab 111 : Harimau tidak Memakan Anaknya?
112
Bab 112 : Situasi Rumit
113
Bab 113 : Menyambung Kisah
114
Bab 114 : Lebih dari Seorang Teman
115
Bab 115 : Sang Pemilik Senyum Merenyuhkan
116
Bab 116 : Si Pemilik Pelukan Terhangat
117
Bab 117 : Yang Baru Kuketahui
118
Bab 118 : Terlalu Sulit Untuk kupahami
119
Bab 119 : Sebuah Permintaan
120
Bab 120 : Aku Tak Menyukai Perasaan Ini
121
Bab 121 : Kami Tak Mungkin Bersama
122
Bab 122 : Catatan Darinya
123
Bab 123 : Catatan Terakhir Darinya
124
Bab 124: Aku Tak Cukup Jauh Mengenalnya
125
Bab 125 : Aku Pernah Sebahagia Itu
126
Bab 126 : Reset Kehidupan
127
Bab 127 : Cinta yang Merumpun
128
Bab 128 : Alam yang Menyatukan Kebersamaan
129
Bab 129 : Sebuah Keputusan
130
Bab 130 : Pengagum Rahasia
131
Bab 131 : Selangkah Demi Selangkah
132
Bab 132 : Semoga Berjalan Mulus
133
Bab 133 : Genggam Tanganku
134
Bab 134 : Hal yang Tertunda
135
Bab 135 : Melepas Rindu yang Mendayu
136
Bab 136 : Seonggok Jiwa yang Layak Bahagia.
137
All About Novel Ini
138
Novel Baru Yu Aotian

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!