NovelToon NovelToon

Aku Sudah Memaafkan

Bab 1 : Menyusuri Lembaran Masa Lalu

Kau pernah menjadi terang

dalam gelapku saat tersesat

Tapi kau juga pernah menyentuh

Rasa sakitku

Kepergian itu mengajarkan aku

Bahwa tak ada yang abadi

Sejak kau putuskan

Untuk melepaskan hidup ... (Lirik lagu Jikustik_tak ada yang abadi)

.

.

Sebuah lagu lama dari salah satu band yang pernah populer pada masanya mengawali perjalananku ke suatu tempat. Lagu itu seolah membangkitkan kembali kenangan kelam bersama seseorang yang pernah kupeluk erat dalam doa. Dia yang pernah menumbuhkan cinta dalam hatiku, tapi kemudian ikut menanam luka. Dia yang pernah menghadirkan asa di hidupku, tapi juga menenggelamkan aku dalam derai tangisku.

Ini adalah musim sendu yang berkepanjangan di hidupku. Semua terasa masih sama seperti dahulu, kecuali perasaanku untuknya. Rasaku yang dulunya tak terukur habis, kini tinggal menjadi debu. Meski begitu, goresan beling-beling sakit itu masih terasa acap kali mengingatnya.

"Bunda, kita mau ke mana?" tanya anak lelaki yang duduk di sampingku. Dia adalah putra tunggalku yang saat ini berusia tujuh tahun.

"Kita akan ke rumah sakit," jawabku sambil memperbaiki posisi jaketnya.

"Oh, kita mau ketemu ayah lagi, ya?"

Aku bergeming sejenak. Tanganku yang sedang memegang resleting jaket, mendadak membeku. Namun, sudut bibirku segera mengembang tatkala melihat binar matanya yang berkilau cerah. Hanya anggukan ringan yang dapat kulakukan untuk menjawab pertanyaannya. Bagaimana mungkin seorang ibu mematahkan keceriaan anaknya? Bahkan, jika keceriaan itu berasal dari sumber penderitaan sang ibu sendiri, tak mengapa ....

Aku melarikan pandangan ke jendela kaca mobil yang kami tumpangi. Masih berada di kota Metropolitan yang terus digempur dengan modernisasi. Kondisi jalan yang penuh dengan kendaraan, membuat perjalanan kami terasa semakin lama untuk sampai ke tempat tujuan.

Pemandangan dua insan muda-mudi yang saling berboncengan mesra melintas dalam pandanganku. Senyum ringkih lantas tercipta di bibirku. Seperti sedang melihat masa mudaku saat bersamanya. Ternyata sudah lama aku mengakrabkan diri dengan kesendirian yang tak terperi. Bukankah sudah saatnya beri kesempatan hati untuk sedikit bahagia? Sayangnya, cinta telah menjadi topik yang memuakkan bagiku. Membicarakannya hanya membuatku pusing dan mual.

Menurutku cinta hanyalah sebuah permainan kata. Dalam cinta, kita tak akan tahu apakah kita menjadi pihak yang tersakiti atau menyakiti, terluka atau melukai, dan melupakan atau dilupakan. Mungkin, inilah yang membuatku mengalami philophobia¹.

Aku kembali menoleh ke arah putraku ketika dia menarik lengan bajuku.

“Bunda, ceritakan dong gimana Bunda sama ayah bisa ketemu!”

Aku tersentak mendengar permintaan polos putraku. Sambil mengelus rambutnya, aku berkata, “Ayah dan bunda bertemu seperti orang-orang pada umumnya.”

“Tapi Bunda, kan, bukan orang Jakarta! Gimana sampai bisa ketemu ayah?

“Arai ....” Aku menyebut namanya dengan lembut.

“Please ... Arai pingin tahu!” Ia menangkup kedua tangannya di hadapanku.

“Karena Bunda pernah satu kampus dengan ayahmu,” jawabku seadanya.

“Terus?”

Aku menghela napas sesaat. Ternyata ia menuntut untuk diceritakan lebih jauh. Dia memang senang bertanya dan mencari tahu apa yang ingin diketahuinya. Namun, aku tak pernah melihatnya seantusias seperti ini.

Kenangan lampau lantas kembali mengaduk-aduk pikiranku saat ini. Kukunjungi kembali masa lampau yang berbaring tenang di sudut ingatanku. Memberanikan diri memundurkan memori lebih jauh, menyusuri setiap lembaran masa lalu di mana tawa, senang, dan sedih pernah menjadi satu.

Grittania Zefanya adalah nama yang diberikan orangtuaku untukku. Orang terdekat menyingkat namaku menjadi 'Ita'. Dulu, aku seorang remaja yang mabuk belajar. Bisa dikatakan, aku adalah pribadi yang tertutup dari dunia pertemanan dan pergaulan. Bahkan melewati masa-masa pubertas, semacam kenalan dengan lawan jenis, PDKT, hingga pacaran seperti yang marak dilakukan remaja seusiaku. Masa putih abu-abu yang menyenangkan untuk sebagian orang pun terasa biasa-biasa saja bagiku. Tak ada sahabat, tak ada kekasih. Tak ada pula memori indah yang bisa kukenang.

Semua itu karena aku terbiasa menjadi pribadi yang mandiri dan tidak bergantung pada siapapun di keluargaku. Di keluargaku, aku adalah anak kedua dari tiga bersaudara. Aku memiliki orangtua yang lengkap, seorang kakak dan juga adik laki-laki. Menjadikanku anak perempuan satu-satunya di keluarga inti. Kami tinggal di pulau Sulawesi, tepatnya di sebuah kota kecil yang mungkin tak tercantum dalam peta. PNS, Polisi, TNI dan pegawai bank adalah pekerjaan yang didewakan di kota ini.

Anak perempuan di keluarga besar kami hanya dipersiapkan untuk berlomba-lomba mendapatkan lelaki yang mapan. Tolak ukur cantik di keluarga besarku, bukan seberapa langsing tubuhmu atau seputih apa kulitmu, tetapi siapa dan apa jabatan pria yang akan melamarmu kelak.

Ibuku adalah sosok yang mendominasi keluarga. Dalam kehidupan bertetangga, beliau memiliki sifat tak mau kalah. Lingkungan tetangga yang saling bersaing, membuat ibu selalu menuntut kami agar lebih hebat dibanding anak tetangga. Sementara ayahku hanya memiliki fungsi sebagai pencari nafkah. Beliau tidak pernah berperan sebagai ayah yang semestinya. Sekadar mengobrol dengan kami pun jarang.

Finansial keluargaku bisa dikatakan berada dalam golongan menengah, tidak miskin dan tidak juga kaya. Setidaknya, kami tidak pernah merasakan kelaparan atau menunggak biaya pendidikan.

Sebagai anak tengah, aku tidak pernah menjadi satu-satunya seperti kakak sulungku, dan juga tidak punya banyak waktu menjadi yang paling dimanjakan seperti adik bungsuku. Aku harus sabar dengan sifat keras kepala kakakku. Begitu juga dengan sifat manja adikku. Tak jarang, aku menjadi penengah di saat kakak dan adikku bertengkar.

Karena aku menjadi anak perempuan tunggal di antara saudaraku, maka kerap dituntut untuk lebih banyak mengalah dibanding kakak dan adikku. Ketika duduk di bangku SMA, ibu sering meminta agar aku bisa menahan segala kebutuhanku, dengan alasan mereka sedang fokus membiayai kakak yang sebentar lagi tamat kuliah. Ketika aku mengatakan ingin kuliah ke luar kota, lagi-lagi ibu meminta meredam keinginanku karena mereka harus menghemat uang agar bisa mempersiapkan masa depan adikku kelak. Itulah kenapa aku bertekad meraih cita-cita dengan jerih payahku sendiri, meski harus melewati masa-masa indah remaja.

Obsesi gila belajar yang merasukiku bertahun-tahun tentu tidak sia-sia. Begitu tamat SMA aku meraih beasiswa di salah satu perguruan tinggi Jakarta. Tak tanggung-tanggung, aku lolos di fakultas kedokteran yang menjadi salah satu jurusan paling bergengsi. Lalu, dari sinilah semua kisah ini dimulai.

Hai, kau yang dulunya pernah sedekat embusan napas, tapi kini sejauh matahari. Sekarang, aku masih berjalan merangkak bahkan setelah kepergiaanmu bersama lipatan kenangan yang masih kugenggam erat. Jangan khawatir, aku sudah memaafkan! Tapi satu yang harus kau tahu, kau tak akan pernah menemui aku sebagai pribadi yang sama seperti dulu.

***

Jejak kaki

Philophobia adalah istilah yang mengacu pada rasa takut untuk jatuh cinta. Biasanya disebabkan trauma pada hubungan sebelumnya atau pernah gagal dalam hubungan asmara.

Catatan author.

Hai, saya Aotian Yu. Terima kasih telah singgah dan membaca karya ke delapan saya. karya ini sebelumnya diadaptasi dari cerpen saya dengan judul yang sama dan menjadi top 1. Terima kasih pada pembaca setia yang masih mengikuti jejak tulisanku hingga detik ini.

Novel ini memakai alur mundur dengan menggunakan multiple POV. Tolong baca loncat-loncat bab dan baca dengan berbeda-beda akun. Bisa ngerusak retensi novel! Jangan lupa berikan komentar pertama kalian di novel ini sebagai bentuk dukungan.

Bab 2 : Semuanya Berawal dari Pertemuan itu ....

Kumulai menjelajahi waktu belasan tahun yang lalu, menuju zaman ketika Blackberry menjadi telepon genggam termewah dan Facebook menjadi sosial media terpopuler. Demam Kpop baru menyerang Indonesia lewat boyband yang jumlah personelnya melebihi satu tim sepak bola. Orang yang berjoget-joget depan ponsel mereka di tempat umum mungkin akan disangka stress. Kata bucin dan baper pun belum tercipta. Apalagi pelakor.

Aku baru saja menginjakkan kaki ke universitas tempatku menimba ilmu. Sebagai orang baru yang datang dari perantauan luar pulau, tentu saja aku tak memiliki teman maupun kenalan. Namun, berada di lingkungan baru tanpa sanak-saudara ternyata tidak terlalu buruk. Kepribadian orang metropolitan yang apatis, justru membuatku nyaman. Sebab, aku seorang introvert.

Sibuk menjelajahi lingkungan kampus membuatku sadar kalau aku mulai tersesat. Universitas ini terlalu besar. Terlalu banyak bangunan dan jalan-jalan kecil yang membuatku semakin bingung. Sekadar untuk berbalik ke tempat awal pun aku buta arah. Semakin berjalan, yang kudapati malah ruang-ruang kosong yang sepi.

Mataku lalu terarah pada sosok pria yang tengah menyendiri di bawah pohon rindang. Pria itu duduk tenang dengan earphone yang menyumbat telinganya. Matanya terpejam, sedang kedua tangannya bersedekap dengan satu kaki yang berpangku pada paha sebelahnya.

Aku mengumpulkan segenap keberanian untuk mendekatinya. Satu langkah. Dua langkah. Tiga langkah. Aroma khas parfum lelaki mulai meraba masuk indra penciumanku. Pada langkah kelima menuju ke arahnya, kelopak matanya terbuka seketika. Sepertinya, dia memiliki insting waspada yang kuat.

Aku terpaku sejenak. Mata kami saling bersirobok. Pada saat itu, aku terkesima melihat wajahnya yang rupawan dihiasi sepasang mata yang begitu hidup dan bercahaya. Rahang tegas dan hidungnya yang mancung dan lancip seolah menguatkan kesan maskulin di wajahnya. Hanya menatap matanya, serasa tersedot ke lautan biru yang dalam. Menjadikan mataku tak bisa berpaling darinya.

"Ada apa?" Suara datarnya membangunkan lamunanku.

Aku yang masih membeku, lantas gelagapan. "E ... a ... anu ... mau nanya, Kak. Arah keluar dari sini sebelah mana, ya?" tanyaku sembari mengelus tengkuk leherku tanpa mengalihkan pandanganku dari wajahnya yang menyejukkan mata.

Pria itu menurunkan earphone yang terpasang di telinganya dengan santai. Lalu berdiri dari duduknya, menghampiriku yang diam terpaku.

"Sebelah sana! Terus aja, nanti belok kiri sebelum ada gedung laboratorium. Jalan terus lagi," tunjuknya sambil berdiri di sampingku dengan jarak yang sangat dekat.

"Makasih, ya, Kak!" ucapku cepat-cepat berbalik karena sedikit gugup.

"Eh, mau diantar, enggak?" tanyanya.

"Hah?" Mataku terbelalak.

"Mau gue temani sampai ke pintu keluar, enggak?" ulangnya.

Aku malah jadi salah tingkah sendiri, sementara dia berjalan mendahuluiku dengan santai.

"Ayo, ikut gue!" ajaknya tanpa menunggu balasanku.

Aku segera mengekornya sambil menatap punggungnya. Postur badannya sangat tinggi, menjadikanku hanya sebatas pundaknya. Gayanya yang cool dan modis, benar-benar merepresentasikan anak gaul ibukota.

"By the way, mahasiswa baru, ya?" tanyanya sambil menoleh ke arahku.

"Iya, Kak."

"Dari mana?"

"Dari Sulawesi, Kak!" Aku terlalu malu menyebut asal kotaku.

"Oh, pantes logatnya beda," ucapnya sambil tersenyum miring.

Aku tidak tahu apakah itu sebuah ejekan atau bukan. Sulit untuk menebak karena aku kurang pergaulan. Yang pasti, senyumnya begitu memikat, hangat, mampu membuat jantungku berdegup-degup tak keruan. Aku tidak mengerti dengan maksud dari detakan jantungku saat ini.

"Ambil fakultas apa?"

"Kedokteran, Kak," ucapku sambil menunduk.

"Sama dong! Mau gue ajak keliling fakultas dulu, gak?"

"Hah?"

Lagi-lagi aku menunjukkan ekspresi gamam hingga tak menjawab ucapannya. Sialnya, dia mampu membuat kakiku terus mengikuti arah langkahnya, seolah mendapat tarikan medan magnet yang kuat.

Dia lalu mengajakku berkeliling area fakultas kedokteran sambil memperkenalkan ruangan-ruangan yang akan sering digunakan, seperti ruang perkuliahan, praktikum, dan laboratorium. Dia juga menjelaskan tentang perkuliahan dan hal-hal umum yang harus diketahui mahasiswa kedokteran.

“Ini ruang BEM FK. Kalo kamu butuh bantuan atau mengalami kesulitan selama proses perkuliahan, datang aja ke sini. Bakal banyak senior yang bantu.”

Aku hanya bisa mengangguk. Dia lalu menggiringku ke sebuah laboratorium. Kami melangkah masuk ke ruangan itu dengan mata yang berkeliling. Dia berhenti tepat di sebuah manekin anatomi tubuh manusia.

"Lo tahu, gak, kenapa gue milih jadi dokter?"

"Hhmm ... karena itu cita-cita Kakak?" tebakku tak yakin.

Dia tersenyum simpul, lalu berkata, "Karena menjadi dokter adalah sebuah kehormatan. Kita diizinkan orang-orang untuk masuk ke aspek yang paling intim dalam hidup mereka," ucapnya dengan jari tangan yang menyentuh setiap organ tubuh dan berhenti pada organ hati.

Dia menoleh ke arahku. Memandang wajahku dengan saksama. Cukup lama. Pada posisi ini, aku tak tahu harus berbuat apa. Hanya bisa tertunduk dalam untuk menyembunyikan wajahku yang memerah. Tiba-tiba kurasakan belaian tangannya di kepalaku.

Dia tertawa kecil sambil mengusap rambutku. "Kenapa rambut lo penuh daun kering?"

Dia membungkuk, mengintip wajahku yang tengah malu. Tatapannya benar-benar membuatku ingin menenggelamkan diri di saat itu juga.

"Ayo keluar!" ucapnya sambil berbalik meninggalkan ruangan ini.

Aku lantas buru-buru mengekornya. Kami kembali berjalan menuju area yang bukan lagi bagian dari wilayah fakultas kedokteran. Dia mengulurkan tangannya ke arahku secara tiba-tiba. Aku yang tak mengerti hanya bisa mengernyit.

"Tangan lo mana?"

"Heh?"

"Pengen gue genggam."

Aku melebarkan mata sembari meneguk ludah.

"Boleh, ya?" Tanpa menunggu konfirmasiku, dia menarik tangan mungilku, membawanya dalam genggaman jari-jemarinya yang besar.

Kami lalu berjalan menyusuri gang di mana beberapa mahasiswa yang berpenampilan urakan tengah mengobrol. Bau aroma rokok yang pekat langsung menerobos hidungku. Suara siulan lantas terdengar saat kami lewat di hadapan mereka. Aku hanya bisa menunduk sambil bersembunyi di belakang punggungnya. Sementara dia berjalan lurus dengan tangan yang tak lepas menggenggam jemariku.

Sepanjang jalan, aku dapat merasakan jantungku terpompa cepat. Bukan karena mendapat banyak tatapan buas dari para lelaki, melainkan karena baru pertama kali sedekat ini dengan seseorang.

Kepada jantung, tolong jangan bereaksi seperti itu. Aku takut dia bisa mendengar suara detakanmu yang kacau balau ....

"Mereka Mahdi, mahasiswa abadi. Bisa dibilang penguasa kampus. Itu markas mereka. Kalo lo tadinya cuma jalan sendiri, bisa-bisa ditahan sama mereka," jelasnya setelah kami berhasil lolos dari tempat itu.

Genggaman tangannya mulai melonggar secara bertahap, hingga akhirnya jemariku benar-benar terlepas dari tautannya. Meski begitu, mataku belum lepas pandang dari punggungnya yang tegak dan kakiku masih setia menyusuri jejak langkahnya.

Setelah hampir satu jam mengelilingi fakultas kedokteran, akhirnya kami pun harus berpisah begitu dia menerima panggilan telepon dari seseorang. Dia pun mengantarku sampai ke pintu gerbang keluar universitas.

"Boleh minta nomor HP, enggak?" pintanya tiba-tiba.

Mataku melebar seketika.

"Gak boleh, ya? Ya, udah gak papa kok kalo gak mau ngasih," ucapnya sambil menatap lembut padaku.

Tanpa sadar, bibirku langsung berucap, "Nomorku ...."

Dia tersentak saat aku hendak memberitahu nomor ponselku. Ia segera mengambil ponselnya dan mencatat nomor ponselku.

"Disimpan atas nama siapa, Nih?" tanyanya.

“Grittania Zefanya. Ita juga boleh,” jawabku pelan.

Dia terdiam sejenak sembari memandangiku. "Nama lo bagus," ucapnya sambil tersenyum lembut.

Tak lama kemudian, ponselku berdering, aku mengernyit melihat nomor tanpa nama di layar.

"Itu nomor gue. Save, ya!" ucapnya sambil berjalan mundur dengan cepat.

"Eh, mau di-save atas nama siapa?" tanyaku setengah berteriak.

"Tulis aja 'sayang' di situ," teriaknya sambil berbalik.

"Hah?!" Aku tersentak sembari menatap punggungnya yang telah berlalu.

Sejak awal aku tahu, cinta akan datang sepaket dengan luka. Untuk itu, aku tak pernah mau coba-coba merasakan jatuh cinta. Namun, dia menjadi pengecualianku. Untuk pertama kali dalam hidupku, aku merasakan debaran jantung yang tak normal saat berhadapan dengan seorang lelaki. Sulit menampik diri bahwa mulai detik itu, pandanganku selalu tertuju padanya. Punggungnya pun menjadi pemandangan favoritku sejak pertemuan itu.

Bab 3: Seseorang yang Lain, Selain Dia

Malam telah menunjukkan eksistensinya. Aku merebahkan tubuh di atas kasur tipis setelah selesai mempersiapkan atribut ospek yang akan kupakai besok. Pandanganku tertuju pada layar ponsel di mana nomornya masih tersimpan di riwayat panggilan tak terjawab. Hingga kini, aku masih belum menyimpan nomor itu.

Aku menggambar wajahnya di ingatan dengan jelas. Bahkan senyum dan suaranya ikut terekam dalam benakku. Setiap teringat pertemuan tadi, bibirku tak urung melebarkan senyum. Jari-jari di kakiku pun refleks menekuk. Semacam ada yang terus-menerus bergemuruh di dalam dada.

Apa ini yang disebut orang-orang dengan istilah jatuh cinta pada pandangan pertama? Cinta memang tidak datang terencana, tapi apakah begitu mudah untuk menyimpulkan sebuah rasa yang hadir tiba-tiba adalah sebuah cinta?

Rasanya sudah lelah mata ini memandangi layar ponsel hanya untuk menunggu sebuah pesan atau telepon darinya. Apakah cowok ibukota memang suka meminta nomor ponsel seseorang tanpa maksud ingin menghubunginya? Tunggu, kenapa juga aku jadi berharap dia meneleponku?

Aku lantas menyimpan ponselku di bawah bantal yang kugunakan. Tak sampai semenit, deru panggilan masuk mendadak mengejutkanku. Aku buru-buru mengambil kembali ponselku. Bahkan aku sampai terbangun dari posisi tidurku. Namun, sinar mataku meredup seketika tatkala yang terlihat di layar tak sesuai dengan harapanku.

"Halo, Ma ...."

Aku kembali merebahkan tubuh sambil menerima panggilan yang ternyata berasal dari ibuku. Setiap malam, ibu menelepon hanya sekadar menanyakan apa yang kulakukan. Tak lupa untuk memberi pesan dan nasihat supaya aku tak boros dan tergerus pergaulan bebas.

"Kak Ita ada ketemu artis di sanakah?" teriak adikku yang spontan membuatku menahan senyum.

"Ta, ingat .... mama dan papa tidak bisa datang ke sana kontrol kamu. Jadi kamu harus jaga kepercayaan orangtua. Kuliah yang betul! Jangan bilang datang kuliah tiap hari, padahal cuma datang baku liat dengan cowok! Awas memang pulang kemari bukan bawa gelar malah pulang bawa anak!"

"Iya, Ma ...."

Entah sudah ke berapa kalinya ibuku mengatakan ini. Awalnya ibu sangat menentang aku berkuliah di luar kota. Namun, berkat beasiswa dan diterima di fakultas kedokteran, pertentangan ibu berubah menjadi dukungan penuh.

"Mama macam tidak tahu Ita saja. Dia pemalu sekali. Ditembak temanku saja dia lari." Suara ledekan kakakku terdengar dari sambungan telepon.

Baru seminggu menetap di Jakarta, aku sudah merindukan mereka semua. Padahal, ada masa di mana dulunya aku muak dengan ibu yang selalu pilih kasih, ayah yang jarang mengobrol dengan kami, kakak yang semena-mena, dan adik yang tidak bisa mandiri.

***

Hingga fajar datang menjemput pagi, pria itu belum juga menghubungiku. Saat ini, aku sudah berada di kampus lengkap dengan atribut ospek di saat warna kehitaman langit belum sepenuhnya memudar. Rambutku terkuncir empat dengan pita warna-warni dari tali rafi. Kupakai pula topi kerucut dan tas yang terbuat dari kardus serta kalung bermatakan empeng bayi. Tak lupa tanda pengenal yang ditulis di kertas karton dan digantung di leher.

Ospek menjadi kegiatan wajib yang biasa dilakukan sebelum perkuliahan dimulai. Meski begitu bukan rahasia umum lagi kalau kegiatan ini menjadi ajang perundungan, adu nasib, drama bentak-membentak dan tebar pesona para kakak tingkat. Belum lagi, kami dihadapkan dengan tugas absurd lainnya dari panitia, seperti membawa gelas air mineral berisi kacang hijau yang hanya boleh dimasukkan di lubang tusukan sedotannya.

Kegiatan ini terbagi menjadi dua, yaitu ospek universitas dan ospek fakultas. Ospek pertama yang harus kami jalani adalah ospek universitas di mana semua fakultas dari tiap-tiap jurusan akan dikumpulkan. Sebelum dikumpulkan dengan Maba dari fakultas lainnya, kami berkumpul di sebuah aula khusus kedokteran.

Kami diminta untuk berbaris berjajar rapi. Mataku tak lepas memandang deretan panitia ospek, berharap mungkin dia akan menjadi salah satu bagian dari mereka. Nyatanya, dia tak berada di sana. Apa dia bukan bagian dari panitia ospek? Entahlah. Rasa penasaranku terus menuntut untuk mencari tahu sosok pria yang bahkan namanya pun belum kuketahui.

Ketika salah satu panitia ospek sedang mengarahkan kami, di saat itu pula ponselku mendadak membunyikan suara panggilan. Sialnya, aku lupa mengaktifkan mode tanpa suara. Aku terlalu berharap pria itu akan menghubungiku di pagi hari. Dengan volume yang maksimal, tentu nada pemanggil di ponselku itu terdengar hingga di telinga para panitia.

"Hpnya siapa tuh yang bunyi?" tanya salah satu panitia perempuan yang wajahnya menyerupai pemeran antagonis sinetron.

Hening. Semua Maba saling memandang dan mencari sumber suara tersebut. Sementara aku mendadak gemetar dan ketakutan.

"Gak ada yang mau ngaku?!" teriaknya dengan suara menggelegar.

"Bukannya udah dibilang, ponsel wajib dimatiin saat ospek berlangsung!" imbuh salah satu panitia laki-laki.

Aku sangat takut hingga tak bisa bergerak apalagi bersuara. Apalagi ekspresi seluruh panitia seakan hendak menelan kami hidup-hidup. Kukepal jari-jariku dengan erat sambil memejamkan mata. Keringat dingin sudah keluar dari pori-pori telapak tanganku. Bagaimana kalau gara-gara ini mereka menghukumku?

Di saat kepanikan melandaku, seorang lelaki yang berada tepat di sampingku, mengangkat tangannya dan mengakui sumber suara itu berasal dari ponselnya. Aku lantas terperanjat. Jelas yang berdering itu adalah ponselku, tapi kenapa dia bertindak seakan itu berasal dari ponselnya? Apa pun itu, aku sangat ingin berterima kasih padanya karena telah menyelamatkanku.

Atas pengakuannya, dia mendapat hukuman disuruh bernyanyi lagu Jablay sambil berjoget di hadapan kami semua.

"Lay ... Lay ... Lay ... Lay ... Lay ... Lay ... panggil aku si Jablay ...."

Dia terus mengulang lirik lagu tersebut sambil menggoyangkan pinggulnya tanpa rasa malu. Gelak tawa bergemuruh di ruangan ini. Kesempatan itu kugunakan untuk segera mematikan ponselku.

Aku menoleh ke arahnya tepat saat ia kembali berdiri di sampingku. Kucoba mengintip papan nama besar yang tergantung di dadanya. Arai Al-Ghifari. Nama yang unik dan tak pernah kudengar sebelumnya. Sayangnya, aku tak bisa mendeskripsikan rupa lelaki itu karena maba laki-laki tampak sama di mataku. Mereka semua diwajibkan berkepala plontos. Wajah mereka pun penuh dengan semiran tinta hitam.

Setelah diberikan arahan oleh wakil ketua BEM fakultas kedokteran, kami pun akhirnya berkumpul di lapangan bersama para Maba dari fakultas lainnya. Dari sinilah ujian mental dan fisik dimulai. Kami disuruh berlari-lari, berguling, bertiarap hingga berbaring di atas aspal sambil menghadap teriknya matahari.

Ini seperti berada di lingkungan militer. Setelah semuanya telah dilakukan, kami masih diharuskan berkeliling lapangan dengan berjalan jongkok. Sungguh! Aku sudah tidak sanggup lagi. Napasku memburu, dadaku terasa sesak. Kuyakin semua Maba merasakan hal yang sama sepertiku, tapi tak berani membantah perintah panitia yang merasa superior. Aku mengambil jeda istirahat sebentar sambil memegangi dadaku.

"Woi, kenapa lu gak jalan jongkok?" Teriakan salah satu panitia membuatku terhenyak.

Kupikir, akulah yang sedang ditegurnya. Namun, saat menoleh ke belakang, ternyata yang mendapat teguran adalah cowok yang berada di sebelahku tadi. Kulihat dia berdiri tanpa melakukan apa yang diperintah para kakak senior.

“Kenapa lu gak jongkok kek teman lu yang lain?” teriak salah satu panitia dengan gaya yang songong.

Dia hanya membisu. Namun, tatapan matanya tak menunjukkan rasa ketakutan sedikit pun. Justru kami yang berada di barisannya yang cemas karena sikap tak patuhnya mungkin bisa membuat kami semua menerima hukuman.

"Woi, gua lagi ngomong sama lu! Lu dengar apa enggak? Atau jangan-jangan budek lagi!"

Pria itu masih bergeming dengan bibir yang terkatup rapat.

“Jongkok! Gua bilang jongkok kayak teman-teman lu yang lain!”

Bukannya segera melakukan apa yang diperintah panitia, ia malah menatap tajam pria yang meneriakinya, lalu berkata dengan nada lantang dan suara yang besar, “Bahwa sesungguhnya Kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan."

Suara pria itu seketika mampu menyedot atensi banyak orang. Para Maba yang sedang berjalan jongkok seketika berhenti dan menoleh ke arahnya. Sementara para kakak senior yang sedari tadi marah-marah mendadak diam dan tercengang memandangnya. Semua mata kini tertuju padanya. Bahkan ia mampu mendatangkan seluruh panita ospek dari berbagai fakultas ke barisan kami.

“Lu ngomong apa, hah?”

“Pembukaan Undang-Undang Dasar, Kak!”

“Gua juga tahu itu pembukaan UUD. Terus, ngapain lu baca undang-undang dasar di sini? Lu kata mau upacara bendera apa?”

“Supaya Kakak tahu cara memanusiakan manusia. Siapa tahu aja Kakak lupa,” jawabnya tanpa rasa gentar.

.

.

.

3 chapter utama, gays. Gimana menurut kalian, suka gak? jangan lupa like dan komeng ya....

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!