Bab 15 : Setelah Kejadian Itu

Aku memandang diriku di depan cermin. Umurku baru akan menginjak sembilan belas tahun, tetapi hari ini aku sudah melepas status gadisku. Apakah ada yang berubah dari wajahku? Kurasa tidak! Tunggu, sebuah tanda merah kebiruan terlihat jelas di leherku. Tanda yang ditinggalkan kak Evan itu, menjadi bukti percintaan yang kami lakukan semalam. Aku lantas memasang plester untuk menutupi jejak kemerahan itu.

Aku bersiap pergi ke kampus. Saat keluar kamar, kulihat perempuan di sebelah kamarku sedang bersandar sambil merokok. Dia tersenyum padaku sambil mendekat.

"Cowok yang pagi-pagi sekali keluar dari kamar lo itu pacar lo, ya?" tanyanya dengan raut penasaran.

Aku mengangguk pelan. Rasa malu menghinggapi diriku karena dia mungkin mengetahui apa yang kami lakukan semalam.

"Cakep banget, gila! Motornya juga keren abis. Nemu di mana, sih, cowok keren gitu? Padahal lo kelihatan pendiam banget." Dia menggandeng tanganku seolah kami akrab.

Perempuan ini tidak pernah menyapaku sebelumnya, bahkan selalu menatapku dengan sinis. Namun sekarang, dia malah berlagak akrab denganku. Dia tak malu memintaku mengenalkannya pada lelaki setipe kak Evan. Benar-benar tipe manusia yang memuakkan! Inilah yang membuatku tak ingin mengekspos hubunganku dan kak Evan di kampus. Apalagi jika sampai diketahui teman-teman jurusan.

Telah berada di kampus, kini aku beringsut pelan menuju gedung fakultasku. Saat aku masih sekolah, ada mitos yang beredar jika ingin mengetahui perempuan yang sudah tak perawan, maka amatilah cara berjalannya. Konon katanya, perempuan yang sudah tidak perawan, jalannya akan terlihat sedikit terkangkang. Karena itulah, terkadang para laki-laki di kelasku senang memerhatikan cara berjalan para perempuan yang melintas, hanya untuk menebak-nebak keperawanan.

Meski aku tahu secara kedokteran itu terbukti tak benar, tetap saja aku tergiring mitos tersebut. Aku khawatir, ada yang berubah dengan cara berjalanku pagi ini. Maka dari itu, aku berusaha mengatur langkahku agar tak terlihat seperti itu.

"Gurita!" Suara teriakan Arai mendadak terdengar.

Aku mengerutkan dahi dengan kesal saat Arai memanggilku. Berpura-pura tak dengar, aku terus berjalan dengan kaki yang merapat.

"Gurita! Gurita!" Arai terus memanggil sambil berlari menghampiriku. "Hei, kenapa dengan kakimu? Kok jadi aneh gitu jalan kau!" tanyanya sambil memerhatikan cara berjalanku yang kaku.

Napasku tertahan seketika, meski begitu aku berusaha menampilkan raut yang biasa-biasa saja.

"Ja–jadi aneh gimana maksudnya?"

"Hhmm ...."

Arai malah semakin mencermati gaya berjalanku dan itu semakin membuatku khawatir. Apakah mitos tersebut benar adanya?

"Kayak pinguin!" celetuknya sambil ikut mempraktekan gaya berjalan pinguin.

Aku bernapas lega sambil tertawa. Namun, sedetik kemudian dia langsung menunjuk ke arah leherku, tepatnya pada sebuah plester yang kupakai menutupi cumbuan kak Evan.

"Kenapa dengan leher kau?"

Dengan gugup, aku berkata, "Ini ... cuma luka."

"Luka apa?"

"Lu–luka gigitan," jawabku asal-asalan.

"Hah? Gigitan apa?" tanyanya khawatir.

"Gigitan ... kucing!" jawabku spontan.

"Apa? Kucing? Kucing peranakan vampirkah? Barusan kudengar ada kucing gigit leher orang! Ndak bisa dibiarkan! Kau harus periksa ke rumah sakit sekarang. Jangan sampai kucing yang gigit kau tuh rabies! Ingat rabies itu salah satu penyakit paling mematikan di dunia. Ayo, kita ke rumah sakit buat suntik rabies!" Dia menarik tanganku untuk ikut bersamanya.

"Dia enggak rabies!" tandasku sambil melepas pegangan tangannya.

"Dia?" Arai menurunkan alisnya.

"Maksud aku ... kucing yang di kosku. Dia enggak rabies." Bicaraku semakin tak karuan.

Arai tampak tercenung sebentar. "Oh," sahutnya pendek dengan mulut yang membentuk lingkaran.

Aku dan Arai bersama-sama menuju kelas. Sepanjang jalan, aku berusaha menjaga jarak dengan Arai. Tak bisa kutampik, setelah kejadian semalam, ada perasaan hina, bersalah, hingga takut yang mengepul dalam diriku. Di saat aku berusaha menjaga jarak, Arai justru terus berdempet ke sisiku.

"Semalam Abang Evan ndak pulang ke rumahnya. Padahal sebelumnya dia bilang mau tidur di kamarku," kata Arai.

"Dia gak ada di kosku!" imbuhku cepat.

Arai ternganga. "Perasaan aku juga ndak bilang dia ada di kos kau."

Aku menunduk seraya menenangkan diriku sendiri. Kenapa aku jadi panik seperti ini?

***

Seperti biasa, setelah mata kuliah berakhir, aku menjadi orang terakhir yang keluar dari kelas. Bertepatan dengan itu, aku melihat kak Evan baru saja keluar dari ruang praktikum yang berada di samping kelasku. Lelaki yang memakai jas snelli itu tengah asyik mengobrol dengan beberapa mahasiswa angkatanku yang beda kelas. Tampaknya, dia menjadi asisten dosen di kelas itu.

Dia berjalan ke depan bersama para perempuan yang sibuk tebar pesona dengannya. Setelah membiarkannya pergi, aku lantas berjalan lambat seorang diri menyusuri koridor yang baru saja ia lewati. Tiba-tiba, tanganku tertarik oleh seseorang yang membawaku ke sudut tangga.

"Kak Evan?" Aku terkesiap karena ternyata kak Evan melihatku.

"Mana Arai?" tanyanya sambil memegang bahuku.

"Dia lagi sibuk dengan organisasi barunya."

"Mau temani aku makan?"

"Hum ...." Aku mengangguk karena tahu itu cara dia mengajakku makan bersama.

"Aku tunggu di parkiran, ya?"

Kami langsung berpisah ke jalur yang berbeda untuk menuju tempat parkiran motornya. Aku melangkah kaki dengan cepat karena tak sabar bertemu dengannya lagi. Sesampainya di sana, ternyata dia lebih dulu tiba. Senyum kami pun terurai secara spontan. Beginilah cara kami bersama dengan memanfaatkan waktu di sela-sela kesibukan sebagai mahasiswa kedokteran.

Selang tiga hari kemudian, kak Evan benar-benar mencarikan kos baru yang lebih luas untukku. Ia dan Arai bergotong royong membantu kepindahanku. Kos baru yang sudah kak Evan bayarkan selama setahun, jaraknya juga masih dekat dengan kos sebelumnya, tetapi lebih luas dan sudah memiliki fasilitas seperti spring bed, penanak nasi, kulkas mini, hingga pendingin ruangan/AC. Juga memiliki toilet sendiri.

"Gimana perasaan kau? Kau pasti senang pindah ke tempat yang bagus. Enggak bakal ada lagi kucing rabies yang gigit leher kau," celetuk Arai setelah membantuku membereskan barang-barang.

"Siapa yang rabies?" tanya kak Evan dengan cepat.

"Kau ndak tahu tiga hari yang lalu pacarmu digigit kucing di lehernya?"

Aku berusaha menutup mulut Arai, tapi percuma ... cerocosnya sudah lebih dulu keluar.

Aku dan kak Evan sempat terdiam sambil saling memandang selama beberapa detik.

"Arai, tolong belikan cemilan yang bisa kita makan sekarang!" pinta kak Evan sambil melempar kunci motornya.

"Mau beli apa?" tanya Arai.

Kak Evan menoleh ke arahku. "Kamu pengen makan apa?"

Aku menggeleng. Arai lantas menghampiriku dengan cepat.

"Hei, ndak usah malu-malu. Langsung aja bilang pengen pizza, donat, burger!"

"Kalo begitu, beli semua yang kamu sebutin!" ucap kak Evan sambil tertawa.

Begitu Arai pergi, aku buru-buru mengambil stok bahan makanan yang dibeli, lalu menyalin beras ke wadah yang terletak di atas meja dapur. Kak Evan mendekat, memosisikan berdiri di sampingku lalu bersandar di meja itu sambil bersedekap.

"Aku baru tahu kalo aku dijuluki kucing rabies sama pacarku sendiri," ketusnya dengan wajah merajuk.

"A ... itu ... itu ... karena ...."

Aku kelabakan menjawab karena takut kak Evan tersinggung. Namun, senyum di bibirnya langsung mengembang diiringi tawa halus.

"Tapi kamu senang digigit sama kucing rabies, kan?" ucap kak Evan sambil melempar senyum menggoda.

Aku tertunduk dengan wajah merona. Sebenarnya kami belum membahas atau menyinggung kejadian malam itu. Hubungan kami pun masih berjalan normal seperti biasa. Dia lalu memutar tubuhku menghadap ke arahnya hingga posisiku tersandar di meja.

"Mau digigit lagi, enggak?" tanyanya dengan sudut bibir terangkat.

Ia memiringkan kepalanya, seraya memajukan wajahnya ke wajahku. Di saat yang sama, pintu kos terbuka seketika diiringi dengan masuknya Arai kembali. Aku dan kak Evan lantas terkejut dan menjauh secara refleks.

"Aku lupa minta uang. Bagaimana bisa membeli kalo uangnya ndak ada!" protes Arai.

Kak Evan langsung mengambil dompetnya dan menyerahkan pada Arai.

"Oke, aku pergi dulu!"

Arai kembali menutup pintu. Begitu dia pergi, aku dan kak Evan saling melirik. Kak Evan membungkuk, menempatkan kedua tangannya di sisi kiri dan kanan pada meja yang kupakai bersandar. Wajahnya kembali maju ke arahku, sengaja mempertemukan hidung kami. Saat kedua tangannya meraih pinggangku, kenop pintu kembali terbuka secara tiba-tiba. Lagi-lagi Arai masuk melenggang dengan santai. Sementara kami kembali berlagak tak acuh sambil pura-pura sibuk.

"Aku lupa mengambil helm! Nanti yang ada aku dikasih surat cinta sama polantas."

Begitu Arai pergi, kami sama-sama menghela napas seraya saling memandang. Ka Evan kembali mendekat ke arahku. Tiba-tiba Arai kembali membuka pintu dan memunculkan setengah kepalanya.

"Ngomong-ngomong, di mana aku harus beli semua ini? Aku kan belum terlalu kuasai jalan Jakarta!" ucapnya menyengir.

Kak Evan mendengkus dengan kepala mendongak. "Kenapa juga aku nyuruh kamu!" ketusnya kesal.

Aku hanya bisa tersenyum melihat kak Evan yang menghampiri Arai dan langsung menjepit kepalanya di sela ketiak lalu membawanya keluar.

.

.

.

Like dan komeng

Terpopuler

Comments

༎ຶ⁠‿⁠༎ຶBENERAN ☞JOMBLO

༎ຶ⁠‿⁠༎ຶBENERAN ☞JOMBLO

bukan mitos itu
nyata lah
aduhhh
mosok tak jelasin wkwkwk

kalian sadar gak sih saat maltam alias malam pertama itu perasaan baru aja ngunci pintu kamar
bergelut di bawah selimut tau tau pintu digedor mertua katanya dah subuh
elaah perasaan sebentar kok udah pagi.
nahh kerasanya pas jalan sakit gimana gak jelek cara jalannya mana boyok dengkek en misan🤣🤣🤣

efek dari malam malam selanjutnya karena sering diajak Olga malam pinggul kan mengembang ... itu lah bedanya per*W*n dan tidak

2024-02-16

28

𒁍⃝🦊𝑛𝑜𝑣𝑖𝑡𝑎 ➳ᴹᴿˢ᭄

𒁍⃝🦊𝑛𝑜𝑣𝑖𝑡𝑎 ➳ᴹᴿˢ᭄

𝐴𝑟𝑎𝑖 𝑖𝑛𝑖 𝑠𝑎𝑖𝑦𝑡𝑜𝑛𝑖𝑟𝑜𝑗𝑖𝑚 𝑎𝑡𝑎𝑢 𝑝𝑒𝑛𝑦𝑒𝑙𝑎𝑚𝑎𝑡🤣

2024-05-09

0

Lala_lela067

Lala_lela067

nangis aku😭😭

2024-05-11

0

lihat semua
Episodes
1 Bab 1 : Menyusuri Lembaran Masa Lalu
2 Bab 2 : Semuanya Berawal dari Pertemuan itu ....
3 Bab 3: Seseorang yang Lain, Selain Dia
4 Bab 4 : Dua Pria yang Hadir di Hidupku
5 Bab 5: Menjadi Penguntit Dadakan
6 Bab 6 : Masa Puberku yang Tertunda
7 Bab 7 : Senja yang Mempertemukan Kita
8 Bab 8 : Sesuatu yang Tidak Kuketahui
9 Bab 9 : Pemandangan Berbeda di Balkon
10 Bab 10 : Punggung yang Telah Termiliki
11 Bab 11 : Momen Kecil Bersamanya
12 Bab 12 : Aku dan Dia adalah Persamaan
13 Bab 13 : Melepas Rindu
14 Bab 14 : Surga yang Kami Ciptakan
15 Bab 15 : Setelah Kejadian Itu
16 Bab 16 : Dia yang Memengaruhi Sistem Saraf di Otakku
17 Bab 17 : Momen Kebersamaan
18 Bab 18 : Untuk Dikenang
19 Bab 19 : Ternyata Banyak yang Belum Kuketahui Tentangnya
20 Bab 20 : Sepotong Jiwa yang Bersatu
21 Bab 21 : Keluarga yang Bukan Keluarga
22 Bab 22 : Menempati Posisi Terbaik di Hidupnya
23 Bab 23 : Bahagia Bersamanya
24 Bab 24 : Sebuah Insiden
25 Bab 25 : Dilindungi dan Terlindungi
26 Bab 26 : Kita yang Menabung Rindu
27 Bab 27 : Masa Depan yang Belum Terencana
28 Bab 28 : Mulai Berongga
29 Bab 29 : Genggaman Tangan dan Pelukan Hangat darinya
30 Bab 30 : Dia yang Penuh Tanda Tanya
31 Bab 31 : Rasa Manis yang Dia berikan
32 Bab 32 : Tatap Aku!
33 Bab 33 : Masih Tak Percaya
34 Bab 34 : Serba Terlalu
35 Bab 35 : Jiwa Baru Bersama Ragaku
36 Bab 36 : Awal Kehidupan Baru
37 Bab 37 : Dear Calon Anakku
38 Bab 38 : Kembali Berteman Kehilangan
39 Bab 39 : Dua Orang yang Tergabung Dalam Satu
40 Bab 40 : Hai, Masa Depan!
41 Bab 41 : Kelu!
42 Bab 42 : Kembali Bersitatap
43 Bab 43 : Selamat Tinggal
44 Bab 44 : Ini Aku
45 Bab 45 : Keluarga Top 1%
46 Bab 46 : Revolusi Hidup
47 Bab 47 : Seseorang yang Didatangkan Untukku
48 Bab 48 : Kehadiranmu di Batas Senja
49 Bab 49 : Kita yang Saling Menemukan dan Ditemukan
50 Bab 50 : Aku dan Kau yang Menjadi Kita
51 Bab 51 : Rindu yang Mencekikku
52 Bab 52 : Kau Adalah Pijar Terang Bagiku
53 Bab 53 : Meski Kita Saling Menginginkan
54 Bab 54 : Kehadirannya
55 Bab 55 : Dari Sini
56 Bab 56 : Pertemuan Dua Keluarga
57 Bab 57 : Sesuatu yang Tidak Kuduga
58 Bab 58 : Aku yang Terhimpit
59 Bab 59 : Ketika Dilanda Dilema
60 Bab 60 : Caraku Mencintaimu
61 Bab 61 : Jejak Lipstikmu di Bibirku
62 Bab 62 : Nol Persen
63 Bab 63 : Kehidupan Baru
64 Bab 64 : Hal yang Tertinggal
65 Bab 65 : Akulah yang Ditinggalkan
66 Bab 66 : Manusia dan Penyesalannya
67 Bab 67 : Yang Tak Lagi Sama
68 Bab 68 : Mungkin Sudah Tepat
69 Bab 69 : Lini Masa
70 Bab 70 : Kalau Saja ....
71 Bab 71 : Yang Selalu Menuju Ke arahku
72 Bab 72 : Cemburu yang Tak Semestinya
73 Bab 73 : Sudah Waktunya, kah?
74 Bab 74 : Tenanglah!
75 Bab 75 : Orang-orang yang Tahu
76 Bab 76 : Bersama tapi Tak Bersama
Episodes

Updated 76 Episodes

1
Bab 1 : Menyusuri Lembaran Masa Lalu
2
Bab 2 : Semuanya Berawal dari Pertemuan itu ....
3
Bab 3: Seseorang yang Lain, Selain Dia
4
Bab 4 : Dua Pria yang Hadir di Hidupku
5
Bab 5: Menjadi Penguntit Dadakan
6
Bab 6 : Masa Puberku yang Tertunda
7
Bab 7 : Senja yang Mempertemukan Kita
8
Bab 8 : Sesuatu yang Tidak Kuketahui
9
Bab 9 : Pemandangan Berbeda di Balkon
10
Bab 10 : Punggung yang Telah Termiliki
11
Bab 11 : Momen Kecil Bersamanya
12
Bab 12 : Aku dan Dia adalah Persamaan
13
Bab 13 : Melepas Rindu
14
Bab 14 : Surga yang Kami Ciptakan
15
Bab 15 : Setelah Kejadian Itu
16
Bab 16 : Dia yang Memengaruhi Sistem Saraf di Otakku
17
Bab 17 : Momen Kebersamaan
18
Bab 18 : Untuk Dikenang
19
Bab 19 : Ternyata Banyak yang Belum Kuketahui Tentangnya
20
Bab 20 : Sepotong Jiwa yang Bersatu
21
Bab 21 : Keluarga yang Bukan Keluarga
22
Bab 22 : Menempati Posisi Terbaik di Hidupnya
23
Bab 23 : Bahagia Bersamanya
24
Bab 24 : Sebuah Insiden
25
Bab 25 : Dilindungi dan Terlindungi
26
Bab 26 : Kita yang Menabung Rindu
27
Bab 27 : Masa Depan yang Belum Terencana
28
Bab 28 : Mulai Berongga
29
Bab 29 : Genggaman Tangan dan Pelukan Hangat darinya
30
Bab 30 : Dia yang Penuh Tanda Tanya
31
Bab 31 : Rasa Manis yang Dia berikan
32
Bab 32 : Tatap Aku!
33
Bab 33 : Masih Tak Percaya
34
Bab 34 : Serba Terlalu
35
Bab 35 : Jiwa Baru Bersama Ragaku
36
Bab 36 : Awal Kehidupan Baru
37
Bab 37 : Dear Calon Anakku
38
Bab 38 : Kembali Berteman Kehilangan
39
Bab 39 : Dua Orang yang Tergabung Dalam Satu
40
Bab 40 : Hai, Masa Depan!
41
Bab 41 : Kelu!
42
Bab 42 : Kembali Bersitatap
43
Bab 43 : Selamat Tinggal
44
Bab 44 : Ini Aku
45
Bab 45 : Keluarga Top 1%
46
Bab 46 : Revolusi Hidup
47
Bab 47 : Seseorang yang Didatangkan Untukku
48
Bab 48 : Kehadiranmu di Batas Senja
49
Bab 49 : Kita yang Saling Menemukan dan Ditemukan
50
Bab 50 : Aku dan Kau yang Menjadi Kita
51
Bab 51 : Rindu yang Mencekikku
52
Bab 52 : Kau Adalah Pijar Terang Bagiku
53
Bab 53 : Meski Kita Saling Menginginkan
54
Bab 54 : Kehadirannya
55
Bab 55 : Dari Sini
56
Bab 56 : Pertemuan Dua Keluarga
57
Bab 57 : Sesuatu yang Tidak Kuduga
58
Bab 58 : Aku yang Terhimpit
59
Bab 59 : Ketika Dilanda Dilema
60
Bab 60 : Caraku Mencintaimu
61
Bab 61 : Jejak Lipstikmu di Bibirku
62
Bab 62 : Nol Persen
63
Bab 63 : Kehidupan Baru
64
Bab 64 : Hal yang Tertinggal
65
Bab 65 : Akulah yang Ditinggalkan
66
Bab 66 : Manusia dan Penyesalannya
67
Bab 67 : Yang Tak Lagi Sama
68
Bab 68 : Mungkin Sudah Tepat
69
Bab 69 : Lini Masa
70
Bab 70 : Kalau Saja ....
71
Bab 71 : Yang Selalu Menuju Ke arahku
72
Bab 72 : Cemburu yang Tak Semestinya
73
Bab 73 : Sudah Waktunya, kah?
74
Bab 74 : Tenanglah!
75
Bab 75 : Orang-orang yang Tahu
76
Bab 76 : Bersama tapi Tak Bersama

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!