Sejak saat itu, melihat kak Evan dari balkon gedung kosong, telah menjadi aktivitas favoritku di luar jam mata kuliah. Setiap hari, setiap sore, di waktu yang seperti biasa dan di tempat yang sama. Ya, hanya di sanalah aku dapat menemukannya dengan begitu mudah, sekaligus memandang sepuasnya.
Aku tidak sendirian. Tentu saja ada Arai yang menemani. Sekarang, aku semakin mengakrabkan diri dengan mahasiswa asal Belitung itu. Setiap sore kami akan bertemu di sana untuk melihat kesukaan kami masing-masing. Aku memantau kak Evan dalam diam, dan dia menunggu kedatangan senja yang mengingatkannya pada kampung halaman. Meski perkuliahan sudah mulai padat dengan tugas. Beberapa kali, kami mengerjakan tugas di tempat itu.
Di tempat itu pula, kami banyak bertukar cerita tentang latar belakang masing-masing. Ternyata Arai juga merupakan mahasiswa penerima beasiswa. Dia menjadi satu-satunya pemuda yang dikuliahkan oleh pemerintah daerahnya dan berhasil lolos di fakultas kedokteran kampus ini.
"Kau mengaku dari keluarga tak berada, tapi pakaianmu selalu bagus-bagus. Bermerek lagi!" Aku kembali melihat penampilannya yang begitu modis sesuai perkembangan fashion.
Dia mengangkat kerah bajunya sambil berkata, "Pakaian ini pemberian anak majikan aku. Banyak pakaian bekasnya dikasih ke Aku."
"Anak majikan?" Aku mengernyit.
"Ya, aku tinggal sama pamanku di sini. Dia dan istrinya bekerja puluhan tahun di Jakarta sebagai supir dan ART salah satu konglomerat yang punya perusahaan farmasi terbesar di negara ini. Aku disuruh ikut tinggal di rumah itu buat bantu-bantu mereka membersihkan taman rumah konglomerat itu. Ya ... lumayan, ndak perlu ngekos tapi malah dapat makanan enak tiap hari. Dapat upah pula!"
"Enak dong, kamu juga dapat tempat tinggal gratis."
"Ya, jelas! Mana mampulah aku ngekos di Jakarta. Buat nelepon umak aku aja, harus nunggu bonus telepon gratis tengah malam. Makanya aku ndak mau pacaran, nanti bonus telepon gratis malah kupakai buat nelepon pacar aku bukan umak."
(Umak: ibu)
Aku lantas tertawa. Aneh, aku langsung bisa mengobrol dengan Arai meski kami memiliki karakter yang bertolak belakang. Mungkin, karena kami sama-sama berasal dari perantauan luar pulau yang berhasil masuk di universitas ini lewat program beasiswa. Namun, hanya di tempat inilah aku dan dia bisa sedekat ini. Sebab, saat di kelas dia adalah milik semua orang.
Semua orang tampak senang padanya. Teman-teman menjadikannya ketua kelas yang selalu bisa diandalkan, sementara kakak senior dari berbagai fakultas selalu mengejarnya untuk menjaringnya masuk ke organisasi mereka. Dosen-dosen sendiri sering terkesan padanya karena ia sangat aktif dan juga kritis. Sementara aku, menjadikannya sebagai orang yang paling dekat denganku, tentunya selain kak Evan.
"Pujaan hatimu udah datang, tuh!" Arai menunjuk ke arah pohon mahoni yang menjadi favorit kak Evan.
Aku segera menoleh. Setelah sekian kali melihatnya di sini, kini aku tahu kapan tepatnya dia berada di sana dan juga berapa lama dia akan duduk di sana seorang diri. Ya, kehadirannya di tempat itu selalu beriringan dengan senja. Hanya sebentar, tapi mampu membuat suasana hatiku menghangat.
"Menurut kamu, kenapa kak Evan selalu duduk diam sendiri kayak gitu?" tanyaku pada Arai.
Arai menghela napas sejenak, lalu ikut memandang kak Evan yang selalu melakukan ritual rutinnya itu. Sambil mengangkat bahunya, dia berkata, "Kita ndak bisa menyimpulkan seseorang hanya dengan melihatnya saja. Kadang-kadang kita perlu menyelami kehidupannya untuk mencari tahu lebih dalam."
Ya, Arai benar. Namun, untuk ukuran pria seperti kak Evan, tentu tidak mudah masuk ke kehidupannya. Apalagi, hingga saat ini aku tak mengetahui apa pun tentangnya. Dia seperti sebuah misteri bagiku.
"Dia sudah pergi!" Ya, setelah lima belas menit duduk terdiam, pria itu akan beranjak.
Aku pamit pada Arai, meninggalkan balkon lebih dulu untuk bisa mengejar kak Evan seperti yang sudah-sudah. Saat menghampiri pria itu, aku selalu berlagak sedang berpapasan dengannya, berharap dia akan memanggilku dan berakhir dengan berjalanan beriringan seperti biasa. Skenario ini kulakukan berulang kali dan selalu berhasil.
"Mau pulang bareng?" tanya kak Evan setelah memanggilku.
Aku tak berani mengiyakan langsung. Meski begitu, bahasa tubuhku tak menunjukkan penolakan.
"Ayo!" ajaknya.
Kami berjalan pelan beriringan menuju gerbang. Beberapa kali jari-jari kami bersenggolan, menciptakan perasaan kikuk yang memberikan sengatan listrik pada jantung. Aku menikmati perasaan ini. Aku juga menyukai adegan yang berulang ini. Kubiarkan diri ini terus diselimuti emosi mewah yang mendambanya. Dan kuharap, segala kenaifan yang kulakukan ini tak akan pernah kusesali.
Dalam keheningan yang terpelihara, tiba-tiba perutku memberi sinyal borborygmus. Lebih gawatnya lagi, sinyal yang diberikan begitu nyaring bergemuruh keluar terus-menerus. Sungguh memalukan! Aku menutupi perutku dengan kedua tangan agar bunyi geraman itu tak menembus pendengarannya. Meski kutahu itu sia-sia karena dia pasti sudah mendengarnya.
(Ket. borborygmus: bising usus/perut keroncongan)
"Aku lapar! Kamu mau temani aku makan, gak?" tawar kak Evan tiba-tiba.
"Heh?" Aku tergemap. Alih-alih menanyakan 'kau lapar?' dia malah langsung mengajakku makan dengan dalih dialah yang lapar. Sama seperti waktu dia meminta nomor ponselku dengan maksud agar aku dapat menyimpan nomor ponselnya. Begitulah cara dia berkomunikasi padaku.
Kami berjalan keluar gerbang untuk pertama kalinya, menuju deretan kafe dan rumah makan yang berdekatan dengan kampus. Karena memasuki jam pulang sebagian besar mahasiswa, maka tempat-tempat makan di sekitarnya tampak penuh dan ramai. Untungnya, dia memilih sebuah rumah makan yang sepi, di mana hanya kami berdua yang menjadi pengunjung saat ini. Kami pun duduk di meja panjang paling dekat dengan jendela kaca yang besar.
"Kamu mau makan apa?"
"Terserah kak Evan aja."
"Oke ... aku pilihkan, ya!"
Senang rasanya karena hubungan tanpa status ini kini sedikit berkembang. Jika biasanya kami hanya sebatas jalan bersama hingga sampai di pintu gerbang, sekarang aku bisa duduk berhadapan dengannya sambil menyantap makanan. Tak lama kemudian, sekelompok mahasiswa yang terdiri dari tiga perempuan dan empat laki-laki masuk berbondong-bondong di rumah makan ini.
"Evan?" tegur mereka yang terkejut melihat kami berdua.
"Siapa, nih? Maba, ya?" tanya mereka sambil menatap ke arahku.
"Cie ... lagi nge-date, ya?" serbu mereka.
Kak Evan melirik ke arahku, sementara aku hanya bisa menunduk.
"Enggaklah! Ada-ada aja kalian!"
"Jangan bohong! Jangan bohong! Gue sering lihat kalian jalan berduaan!" Seorang pria berkacamata malah memaksa kak Evan mengakui hubungan kami yang memang tidak ada status. "Gue minta nih nomor hpnya kalo Lo gak mau ngaku pacaran ma nih adek," ancamnya.
Kak Evan tertawa sembari berusaha menahan tangan kawannya yang hendak menghampiriku.
"Kalo gitu kita ikut duduk di sini gak papa, kan?" tanya salah satu perempuan pada kami.
Dua cewek langsung menghampiri kami, lalu duduk di sisi kiri dan kanan kak Evan. Sementara yang lainnya ikut bergabung di meja kami, membuat posisi dudukku berada paling sudut sedikit berjauhan dari kak Evan.
Menjengkelkan! Suasana berdua antara aku dan kak Evan menjadi terganggu karena kedatangan mereka. Terhimpit keramaian seperti ini membuatku kehilangan selera makan. Apalagi, mereka malah sibuk membahas kegiatan BEM yang sebentar lagi akan dilaksanakan.
Mereka terus mengobrol, saling mengejek, hingga bersorak riang. Sementara aku, hanya terdiam lesu sambil terus menundukkan kepala. Bukan salah mereka. Akulah yang bermasalah karena tidak terbiasa berkumpul dengan orang-orang.
Tiba-tiba ponselku membunyikan satu pesan masuk. Aku langsung membuka pesan yang ternyata dikirim oleh kak Evan.
Kak Evan : Membosankan, ya?
Begitu membaca pesannya, aku langsung menatapnya yang juga tengah menatap ke arahku. Dia langsung berdiri dari posisi duduknya dan berpamitan pada teman-teman.
"Kami duluan, ya!"
"Eh, dah mau pergi?" tanya kawan-kawannya.
"Iya gua mau pulang istirahat. Jangan lupa besok rapat. Kasih tahu ke ketua-ketua himpunan."
Kak Evan lalu berjalan ke posisi dudukku yang berada paling pojok. "Ayo kita balik," ucapnya sambil menggenggam tanganku dan menarikku keluar dari meja tersebut.
Dia terus menggenggam tanganku tak peduli dengan sorakan teman-temannya. Lagi-lagi, kak Evan seperti bisa menebak isi hatiku. Dia tahu aku tak nyaman berada di antara mereka. Aku jadi sedikit khawatir, jangan-jangan dia selalu menawarkan mengantarku ke gerbang, karena dia tahu aku ingin dekat dengannya. Semoga saja tidak.
Tak terasa, langit telah berubah menjadi gelap saat kami keluar dari tempat makan. Aku dan kak Evan berdiri saling berhadapan di tepi jalan. Suara bising kendaraan yang berlalu lalang sedikit memekakkan telinga.
"Aku anterin ke kos, ya?"
"E ... enggak usah, Kak. Aku ... pulang sendiri aja," ucapku sedikit gagap. Meskipun masih ingin bersamanya, tapi aku sungkan untuk diantar pulang olehnya.
"Ya, udah. Hati-hati di jalan!" Dia menepuk kepalaku dengan lembut.
Aku lantas pamit pergi. Kami berpisah tepat di depan pintu gerbang. Baru berjalan beberapa meter meninggalkannya, aku mendengar dia seperti tengah menelepon seseorang.
"Halo, udah pulang?"
Aku menghentikan langkahku seraya berbalik kembali ke arahnya. Dia masih berdiri di tempat sebelumnya dengan posisi membelakangiku sambil menelepon.
"Pulang bareng, yuk! Gue tunggu di parkiran depan, ya. Soalnya motor gue terparkir di sana ...." Setelah menutup telepon, kak Evan langsung kembali masuk ke kampus.
Siapa yang diteleponnya? Apakah perempuan? Pacarnya?
Mataku membeliak seketika. Rasa penasaranku membawa langkah ini untuk membuntutinya diam-diam. Pria itu terus berjalan menuju halaman parkir. Tiba-tiba seseorang datang dari arah samping dan langsung merangkulnya. Kak Evan pun turut membalas rangkulannya sambil terus berjalan menuju parkiran depan. Mereka terlihat begitu dekat dan akrab satu sama lain. Detik itu juga, mataku terbelalak saat melihat sosok yang berada di samping kak Evan.
"Arai?"
.
.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 138 Episodes
Comments
gyu_rin
gk di sangka2 arai pekerja keras dan keluarga nya bkn holang kaya. salut sih tetep gk ada takot2 nya 🤩
2025-03-26
0
Ve
dunia dalam novel memang sempit yah.. klo luas namanya dunia real 😅
2025-02-23
1
gyu_rin
lah arai??? evan jangan2 anak konglomerat tempat paman nya arai kerja
2025-03-26
0