Mahasiswa kedokteran adalah mahasiswa yang paling sibuk di antara mahasiswa fakultas lainnya. Sibuknya anak fakultas kedokteran adalah belajar. Setiap hari kami akan dihadapkan dengan ujian blok mendadak, pretest, post test dan Osce¹. Ya, dosen kami yang notabene adalah para dokter ahli, tidak akan memberi nilai yang bagus hanya karena mahasiswanya rajin, kasihan atau pun dekat dengan mereka. Satu-satunya kunci mendapat nilai bagus hanya dengan belajar yang tekun.
(1. Osce: ujian praktik kemampuan dalam menangani pasien)
Sebagai mahasiswa penerima beasiswa hingga terbebas dari biaya semester yang memakan belasan juta, aku diwajibkan memiliki IPK tinggi. Jika turun, aku akan mendapat surat teguran dan jika terus-terusan turun, beasiswaku akan dicabut. Oleh karena itu, aku harus gila-gilaan belajar. Untungnya, ada kak Evan yang banyak membantu dan menemani belajar, sehingga nilaiku selalu aman dari pengulangan.
Seperti malam ini, kak Evan datang untuk membantuku menerjemahkan jurnal dan buku-buku penunjang berbahasa inggris. Dia membuka almamater seraya menurunkan ranselnya.
"Yang mana mau aku terjemahin?"
Kak Evan duduk bersila di depan meja pendek tempat aku meletakkan laptop. Aku menyodorkan sebuah buku tebal berbahasa inggris.
"Ini Kak. Pakai google translate cuma bikin aku tambah bingung."
"Ya ... karena bahasa yang digunakan bahasa medis."
"Teman-teman aku rata-rata minta tolong sama anak bahasa inggris, tapi aku gak punya kenalan," ucapku.
"Semalam juga Arai minta tolong sama aku," ucapnya sambil mengambil buku tersebut.
"Oh, ya? Kalo aku tahu, aku hubungi Arai aja."
"Kalo kayak gitu, kita gak ketemu dong hari ini!" ucapnya sambil tersenyum.
Aku menekuk lutut, bersiap untuk duduk di sebelahnya. Tiba-tiba ia menarikku hingga terduduk di pangkuannya. Aku tak bisa ke mana-mana karena sebelah tangannya langsung melingkar di pinggangku.
Dia mulai menerjemahkan kalimat di paragraf yang sudah kutandai. Aku yang berada di pangkuannya, lantas berusaha fokus mengetik apa yang dia ucapkan. Dia memantau apa yang kuketik dengan menyandarkan dagunya di bahuku. Sesekali dia mengecup lembut rambutku. Ya, kurasa dia adalah tipe pria yang membahasakan cintanya lewat sentuhan romantis. Karena ini jugalah, aku merasa termanjakan olehnya.
"Ah, ini ilmu biomedik dasar mengenai sistem saraf. Sistem saraf tersusun dari dua jenis sel, yang pertama neuron dan yang kedua neuralgia. Dalam pembelajaran sehari-hari kita lebih sering dengar neuron, tapi sebenarnya neuralgia yang ada di tubuh kita jumlahnya lebih banyak," jelas kak Evan setelah membaca buku panduan dalam bahasa inggris tersebut.
Dia mengambil tanganku, merentangkan ke depan sambil berkata, "Neuron itu sel yang berfungsi mengirim sinyal. Misalnya ketika kita gerakin tangan kek gini." Dia menggerakkan tanganku naik turun, kemudian kembali berkata, "di saat itu, otak bakal ngirim sinyal melalui neuron kita ke otot tangan kita agar bisa gerak-gerak gini. Atau misalnya ...."
Kali ini dia menuntun jari-jariku untuk meraba wajahnya. Posisi tubuhku saat ini bersandar di lengan kirinya sehingga kami bisa saling menatap meski saling berpangkuan.
"Ketika jari-jari tangan sedang meraba sebuah permukaan seperti ini. Maka neuron di jari kita akan mengirim sinyal di otak," jelasnya lagi, "Apa yang kamu rasakan saat meraba wajahku?" tanyanya.
"Halus," ucapku pelan sambil membelai wajahnya. Kali ini kulakukan tanpa tuntunannya.
"Apa itu gombalan?" tanya kak Evan dengan sudut bibir terangkat.
"Beneran tahu!" ucapku sambil perpaling menyembunyikan wajah malu.
Aku menarik kembali tanganku dari wajahnya. Namun, dia mencegatku seolah masih ingin aku menyentuh wajahnya.
"Berbeda dengan neuron yang mengirim sinyal, neuralgia berperan sebagai cheerleader yang mendukung neuron bekerja secara maksimal," lanjutnya.
Dia lalu menuntun jari-jariku untuk merayapi pahatan wajahnya, mulai dari alisnya yang tebal teratur, sudut matanya yang berkilau, tulang pipi yang menonjol indah, hidungnya yang bak perosotan, dan berakhir di bibirnya yang lembut.
Sambil membimbing tanganku untuk mengelus sela bibirnya, dia berkata "Di antara neuron, ada senyawa organik endogenus yang disebut neurotransmitter. Tugasnya membawa sinyal sesama neuron ke berbagai jaringan tubuh, seperti otot. Misalnya ...." Dia terdiam sejenak sembari memandangku. "Saat kita sedang berciuman."
Entah kenapa kami mendadak mematung di saat ujung jari telunjuk dan tengahku masih menyentuh bibirnya. Dua pasang mata kami saling bersitatap lembut. Pada waktu itu juga, kak Evan langsung meminggirkan tanganku dari bibirnya dengan pelan. Sebaliknya, wajahnya mulai mendekat secara perlahan, diikuti kepala yang miring ke kanan.
Suasana hening, membawa bibir kami bertemu. Dengan mata terpejam, aku merasakan tekanan halus bibirnya yang menjamah bibirku. Bibir kami mulai beradu lembut seolah sedang mempraktikkan fungsi neurotransmitter atau yang dikenal dengan zat penghubung syaraf.
Menurut ahli, bibir manusia dipenuhi dengan ujung saraf sensitif sehingga sedikit sapuan saja, langsung mengirimkan informasi bak riam ke otak manusia. Berciuman banyak membutuhkan koordinasi otot. Di sini jugalah peran neurotransmitter yang memicu tubuh melepaskan hormon dopamin, oksitosin, dan serotonin. Hormon dopamin muncul karena adanya gairah. Hormon oksitosin pun hadir untuk memunculkan rasa sayang dan cinta. Ada pula serotonin yang membuat perasaan ingin memiliki pasangan. Semua inilah yang kurasakan saat bibirnya menyusup masuk ke sela bibirku.
Wajahnya yang memenuhi penglihatanku, sentuhan bibir sensualnya di bibirku, deru napasnya yang hangat, serta remasan lembut tangan kekarnya di sela-sela jariku, tak bisa kutolak. Tak dapat kuhentikan. Tak mampu kulepas. Atau mungkin akulah yang tak mau mengakhiri semuanya.
Aku benar-benar hanyut. Terbawa oleh arus perasaanku yang mengalir deras padanya. Terombang-ambing dengan kenyamanan yang selalu dia hadirkan di tubuhku. Hingga akhirnya aku sadar, dialah yang telah memengaruhi sistem kerja saraf di otakku.
***
Sejak aku pindah kos, kak Evan menjadi sering datang mengunjungiku, meski hanya sekadar mengantarkan makanan atau membantuku mengerjakan tugas. Dia melakukan itu bahkan di sela-sela kesibukannya meneliti untuk bahan skripsi nanti.
Tak jarang, Arai pun turut serta meramaikan suasana kosku. Kadang, dia datang membawakan makanan yang dimasak bibinya untuk dicicipi olehku dan juga kak Evan. Mereka berdua sering sekali bermain catur bersama atau sekadar membicarakan tentang organisasi. Kehadiranku justru menjadi obat nyamuk bagi mereka. Dari sini aku tahu, hubungan antara kak Evan dan Arai, jauh lebih dekat dari diriku sendiri. Meski begitu, aku senang berada di antara mereka.
Kedua lelaki ini memberiku kebahagiaan dengan cara yang berbeda. Kak Evan melimpahkan seluruh kasih sayangnya sehingga aku merasa sangat dicintai, sedang Arai selalu menjadi penghiburku dengan gayanya yang lucu dan blak-blakan sehingga aku yang dulunya sulit melengkungkan senyum, kini bisa tertawa lepas.
Aku dan Arai berdiri di balkon yang dulunya menjadi markas favorit kami. Di bawah sana, tengah duduk diam seperti biasa. Dia masih menjadi pemandangan favoritku di tempat ini.
"Hei, kau dan bang Evan ... tolong jangan sampai putus! Karena kalo hubungan kalian berakhir, aku yang akan paling dilema." Arai melontarkan kalimat itu tiba-tiba.
Aku langsung menoleh ke arahnya. "Kenapa kamu bilang gitu?"
"Aku sayang kalian berdua. Aku ndak mau ada di posisi harus berpihak salah satu di antara kalian. Andaikata kalian putus, aku harus berdiri di sisi salah satu di antara kalian. Kurasa ... aku tetap akan berdiri di sisi Abang Evan. Maaf ...."
"Jangan khawatir, aku ngerti kok. Dia yang lebih dekat sama kamu dibanding aku," ucapku sambil terkekeh.
"Bukan itu ... tapi, kurasa Abang Evan lebih membutuhkan aku. Selain itu, alasan bibi mengajakku tinggal di rumah itu, buat menemani Abang Evan," ucap Arai sambil memandangku.
Atas ucapan Arai, aku hanya bisa menyimpulkan bahwa jika hubunganku dan kak Evan berakhir, maka berakhir pula persahabatan antara aku dan Arai.
.
.
.
Catatan author:
Gua mau disclaimer dulu ya. Gua lupa seharusnya dari kemarin.
Perbuatan atau kebiasaan tokoh yang ada di sini, tidak mewakili suatu daerah yang menjadi identitas mereka. Melainkan mewakili individu mereka masing-masing. Aku perlu disclaimer ini, untuk mengantisipasi "protes" atau "ketersinggungan" oleh pembaca dari tempat atau asal daerah yang disebutkan. Ini sama kayak aku bikin disclaimer di novel sebelah, kalo novel tersebut tidak membawa cerita religi untuk mencegah perdebatan agama di kolom komentar.
Kemarin-kemarin pada Herman ya, Ita kan anak perempuan satu-satunya, seharusnya dimanjakan gak disisihkan. Ow... Ow... Kalian lupa gays, di Indonesia sebagian besar masyarakat masih menganut paham patriarki kental dan tak sedikit orang 'sadar' kalo diri mereka itu sebenarnya misoginis.
Di DOSA gua udah jelasin apa itu patriarki, apa itu misoginis, double standar people, self block, fatherless, boundaries, dll. Di sini gak perlu lagi gua bikin catatan kaki, tapi semua itu udah gua kasih contoh melalui karakter Ita dan orang-orang sekitarnya. Dan tentunya ada kaitannya dengan bonding parent child.
Novel ini mengandung genre metropop (genre yang mengangkat kehidupan masyarakat menengah di kota-kota besar dengan segala sisi kehidupannya), jadi gua bakal ceritain apa adanya, sesuai realitas dan tentunya bakal memuat banyak sisi gelap kehidupan seperti gaya hidup bebas pemuda-pemudi ibukota. kalian pasti tahu ketika gua ambil setting novel, cerita bakal gua sesuaikan dengan gaya hidup setting yg gua ambil.
Dah itu aja. Jangan lupa like dan komeng.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 138 Episodes
Comments
Ve
masih penasaran sama nama anaknya kan Arai 🤔
2025-02-24
1
Siti Hany
siap kk lanjutkan 😍
2024-11-03
0
dyul
Perempuan kl father less..... pasti gampang terbuai....
2024-10-13
1