“Kalau sudah begini, aku tahu ini nggak beres,” lirih Rain sambil mengawasi sekitar.
“Ya Allah, aku hanya ingin hidup tenang. Jika memang ada yang tidak menyukai hamba dan mereka melakukan cara yang menyimpang, tolong mudahkan hamba dalam menghindarinya,” batin Rain.
Ketika akhirnya Rain membuka matanya, ada seorang kakek-kakek yang lewat dan mengamatinya penuh senyuman. Kakek-kakek tersebut sudah tongkok dan memakai tongkat kayu, selain berpakaian serba hitam. Atasannya merupakan lengan sesiku, sementara bawahan merupakan celana yang panjangnya persis di bawah lutut. Celana maupun baju tersebut sama-sama kedodoran. Yang membuat penampilan kakek tersebut berbeda dari kebanyakan, ialah ikat kepala yang menutupi sebagian kepala botaknya.
“Inna lillahi wa inna ilaihi raji'un, penampilannya mencurigakan, tapi telanjur kontak mata,” batin Rain seiring ia yang menunduk. Ia bahkan jadi menahan napas.
Rain menyesali keputusannya yang asal menatap keadaan di sana. Termasuk membiarkan kedua matanya berkontak mata dengan si kakek. Si kakek yang bagi Rain berpenampilan jadul, khas dukun.
“Kalau capek, istirahat Mas. Silakan mampir ke gubug saya. Sekalian shalat magrib,” ucap si pria.
“Orang ini menawariku shalat? Bentar deh jangan langsung percaya. Yang namanya jin dan silum.an kan selalu punya banyak cara buat menyesa.tkan targetnya. Termasuk menjadikan agama sebagai kedok,” batin Rain lagi masih membatasi komunikasi dengan kakek tersebut.
Tanpa menggubris kakek-kakek tadi, Rain memutuskan pergi. Di mata Rain, jalan yang ia ambil merupakan jalan aspal menuju kota. Namun ia justru memilih jalan menuju pesawahan.
Paling mencolok, kakek-kakek tadi tak hanya langsung menghilang setelah berkomunikasi dengan Rain. Karena warga sekitar dan sudah menjadikan Rain perhatian, justru tak melihat pria tua tersebut.
“Eh malah ke sana.”
“Enggak bener ini, enggak bener. Pasti ada yang enggak beres!”
“Kasu.s binat.ang bu.as yang mener.kam anaknya si Lamun saja, belum terpecahkan. Meski beberapa warga ada yang melihat seorang ibu-ibu seperti gendong pocong, terus pas balik dari sana jadi gendong wanita mirip kuntilanak.”
“Iya bener. Wanita itu memang bolak-balik ke arah tempatnya ki Asnawi! Namun enggak semuanya melihat dia bawa pocong maupun kuntilanak seperti yang diceritakan sebagian warga khususnya anak kecil!”
“Masalahnya, biasanya anak kecil malah lebih peka pada hal yang begitu. Mereka masih bisa lihat,” ucap ibu-ibu yang mengemban bocah berusia dua tahun.
Setelah obrolan barusan, sebagian warga memutuskan ke masjid terdekat untuk menunaikan shalat magrib berjamaah. Sementara anak-anak yang ikut serta memang akan menjalani ngaji rutin. Namun para laki-laki yang ke masjid berdalih akan menyusul Rain, selepas mereka selesai shalat maghrib berjamaah.
Di mata Rain, galengan atau itu pembatas sawah yang ia lewati dengan mudah merupakan jalan aspal menuju jalan raya. Padahal, Rain tengah menuju jalan keberadaan gubuk pak Asnawi berada. Hanya saja, perjalanan Rain sangat dimudahkan. Malahan, kakek-kakek tadi membonceng Rain, dan Rain tak menyadarinya.
“Ini sudah magrib, berarti aku sudah menjalani perjalanan sangat lama. Padahal harusnya aku sudah sampai rumah dan bertemu Hasna,” pikir Rain.
Di gubuk pak Asnawi, penampilan ibu Unarti sudah sangat berbeda. Ibu Unarti juga memakai pakaian serba hitam. Rambutnya tak lagi ditutup hijab, melainkan dibiarkan disanggul rapi. Kini, ia sudah kembali mengurus Echa. Pernikahannya dan pak Asnawi yang membuat mereka menarik Echa pulang ke gubuk pak Asnawi dengan sangat mudah. Hingga karena kenyataan tersebut juga, lagi-lagi ibu Unarti makin percaya kepada pak Asnawi.
Echa yang tak sadarkan diri kembali dibaringkan di meja persembahan. Tubuh Echa ditutupi kain kafan bekas, dan tengah ibu Unarti mandikan menggunakan air kembang tujuh rupa. Sementara di sebelahnya, meja sesajen kembali penuh. Asap pekat dari pembakaran dupa dan kemeyan menjadi aroma mencolok mengalahkan harumnya kembang tujuh rupa.
“Cha, ... akhirnya kamu akan menikah dengan Rain Cha! Setelah ini, kamu bisa membu.nuh Rain maupun Hasna dengan leluasa. Karena menurut hasil terawangan bapak Asnawi, bayi yang Hasna kandung itu indigo.”
“Jadi, sampai kapan pun, kita tidak bisa menjalani misi balas dendam kita, jika kamu belum dinikahkan dengan Rain!” Ibu Unarti tersenyum bahagia memandangi wajah putrinya yang memang jadi jauh lebih bersih setelah ia mandikan.
Akan tetapi, apa yang terjadi pada Rain maupun apa yang sedang ibu Unarti lakukan, lagi-lagi menghiasi benak Hasna. Semuanya terlihat sangat jelas tak lama setelah Hasna selesai shalat maghrib.
“Inna lillahi wa inna ilaihi raji'un,” ucap Hasna, hingga kedua wanita yang awalnya masih khusyuk berdoa di sebelahnya, langsung terusik.
Ibu Rere dan Binar, langsung menjadikan Hasna sebagai fokus perhatian. Sesekali, keduanya juga akan saling tatap.
“Ma, papanya anakku dalam bahaya. Dia disesatkan, dan akan dinika.ahkan dengan Echa yang sudah menjadi kuntilanak!” ucap Hasna dengan logat bicara sangat berbeda dari biasanya.
Ibu Rere dan Binar sampai merasa ada yang tidak beres. Kenapa Hasna yang sudah mereka sangat kenal, jadi bersuara laki-laki tua.
“Merin.ding Ma!” bisik Binar menunjukkan kedua tangannya kepada mama mertuanya yang memang merinding.
Ibu Rere yang sebenarnya tak kalah takut sekaligus bingung, berangsur mengangguk-angguk. “Terus, kita harus bagaimana? Benar, itu Echa yang sebelumnya sempat berurusan dengan kita?” ucapnya hati-hati.
Hasna yang jadi sangat serius layaknya diarahkan oleh makhluk lain, mengangguk. “Iya, Ma. Ayo kita susul papanya anakku, Ma!”
Ibu Rere berangsur mengangguk-angguk. “Ayo, ... ayo kita susul!” sanggupnya.
“Tapi Mama enggak takut ke aku. Niatku pinjam tubuh Hasna, baik.” Kali ini Hasna mengakhiri ucapannya dengan jauh lebih manis. Ia sampai tersenyum manis kepada ibu Rere.
Akan tetapi, ulah Hasna justru membuat ibu Rere nyaris linglung. Ibu Rere nyaris pingsan karena harus berurusan dengan hal gaib nan mistis layaknya sekarang.
“Kuat, Re. Kuat! Kuaaat! Demi anakmu. Demi kelangsungan keluarga kecil anakmu!” yakin Rere dalam hatinya. Ibu Rere membulatkan tekadnya, yang mana kemudian ia juga mengajak Binar sang menantu untuk membantunya.
Di desa terpencil yang sempat membahas Rain. Desa yang juga menjadi lokasi Echa mem.akan seorang bayi, pencarian sedang dilakukan besar-besaran. Mereka yang kebanyakan bapak-bapak dan pemuda desa, membawa kentongan maupun perabotan. Perabotan tersebut mereka tabuh, hingga menghasilkan suara riuh. Namun karena suara riuh tersebut pula, mereka akan memanggil sekaligus menyelamatkan Rain.
Rain sendiri sudah sampai di depan gubuk pak Asnawi. Yang di mata Rain, itu merupakan rumah orang tuanya. Rumah yang memang menjadi alasannya buru-buru meninggalkan lokasi syuting. Sebab Hasna yang ada di dalamnya, sedang sakit parah.
Diam-diam, kakek tua tadi dan merupakan pak Asnawi, makin tersenyum girang. Pak Asnawi turun dari motor Rain dengan sangat hati-hati.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 46 Episodes
Comments
ㅤㅤㅤㅤ😻Kᵝ⃟ᴸ⸙ᵍᵏ نَيْ ㊍㊍🍒⃞⃟🦅😻
niat jahat yang kayak gitu mah pasti gak bakalan berjalan lancar
astaga cepet lah Hasna datang dan selamatin misuamu
2024-04-22
0
🥰Siti Hindun
semoga Rain bisa selamat dari jebakan tersebut😣😣
2024-02-19
0
Firli Putrawan
y allah jgn sampe kejadian dia d kawinin sm echa
2024-02-15
0