Part 4. Jemput Aku Sekarang!

Malam telah tiba di kota Stockholm, dan kesejukan udara Skandinavia membentang di sepanjang jalan-jalan yang beraspal. Lampu-lampu jalan yang bersinar redup memancarkan cahaya oranye yang hangat, menciptakan suasana yang damai di sekitar bangunan bersejarah dan modern. Di tepi sungai, cahaya bulan dan lampu-lampu jembatan menciptakan pantulan gemerlap di permukaan air. Beberapa kapal layar kecil berseliweran di kejauhan, menambah keindahan pemandangan malam yang tenang. Gedung-gedung bergaya arsitektur Nordik yang menjulang tinggi nampak megah dengan pencahayaan yang lembut, menciptakan siluet yang elegan di langit malam yang berwarna hitam arang.

Dinginya malam di Stockholm membuat Ivy mengeratkan coat warna cokelat almondnya, mengingat sebentar lagi akan memasuki musim dingin. Karena itu, suhu semakin hari semakin rendah. Wanita berkacamata itu kini sudah sampai di apartemennya. Setelah tadi pukul enam sore dia selesai bekerja, karena ada dokumen penting yang akan dikirim ke para investor France, dan tentunya semua itu karena ulah Ezra.

Seiring pintu apartemen terbuka, terbentang kehangatan dan aroma parfum ruangan, yang memeluknya. Setelah seharian di kantor, apartemen ini menjadi tempat healing kecilnya untuk pulang dan merilekskan diri.

Ivy meluruskan punggungnya dan melepaskan sepatu hak tinggi yang membuat kakinya terasa pegal. Dengan langkah ringan, dia melewati ruang tamu yang didominasi warna putih tulang. Hal yang membuat Ivy senang bekerja di perusahaan France adalah, dia bisa mendapat fasilitas apartemen gratis.

Tentunya sangat menghemat uang, karena Ivy punya adik laki-laki yang bersekolah di SMA ternama di kota ini. Meskipun adiknya mendapat beasiswa sepenuhnya dari pihak sekolah, akan tetapi untuk keperluan sehari-hari dan biaya asrama Ivy harus menanggungnya. Tidak mengapa, karena dia berjanji akan menyekolahkan adiknya dan mensupportnya terus agar menjadi pria yang bermartabat, yang tidak akan bisa dipandang rendah orang lain. Dan yang paling utama, Aldrich tidak menjadi pria yang sering mereka sebut sebagai ayah. Setelah melepas jaketnya,Ivy memutuskan untuk langsung mandi.

Hanya sepuluh menit Ivy membutuhkan untuk mandi, wanita dengan rambut setengah basah dan memakai sweater tidur itu, lalu merebahkan tubuh dan pikiran, yaitu dengan membaca buku. Salah satu hobi Ivy adalah membaca buku tentang Filsafat, dan pengembangan diri. Menurutnya, sebagai seorang wanita juga harus punya pendidikan bagus, dan banyak mempelajari ilmu supaya kedepannya bisa menjadi calon ibu, untuk generasi selanjutnya. Juga dengan menjadi wanita yang memiliki ilmu yang banyak, kita tidak akan mudah terpengaruh oleh tipu daya manusia. Termasuk dalam memilih pasangan. Ivy yakin jika wanita baik akan dipertemukan dengan pria yang baik, begitu juga dari kualitas pendidikan yang tidak beda jauh. Dengan lembut, dia menyapu tumpukan buku-buku yang menanti untuk dijelajahi. Kali ini dia memilih tema Psikologi tentang perempuan.

Ivy menemukkan diri di kursi empuknya, menyelam ke dalam dunia cerita yang membawa kedamaian. Sambil menikmati aroma kopi yang melayang dari dapur, Ivy memutuskan untuk memanjakan diri dengan secangkir di tangan. Seiring musik jazz yang mengalun lembut di latar. Hingga getaran ponsel mendistraksi konsentrasi Ivy, kemudian dia mengambil ponsel yang diletakan di dekat speaker.

Bibir Ivy membentuk senyum tipis, ketika Aldrich lah yang mengirimnya sebuah pesan.

[Vivi, terima kasih untuk uang jajan nya. Aku berjanji akan mendapatkan nilai terbaik.]

“Manis sekali dia,” puji Ivy lalu dia mengirimkan balasan.

Aku tahu kau akan menjadi pria sukses kelak. Jangan lupa jaga kesehatan

[Aku merindukanmu Vi. Selamat Malam]

Sekali lagi, Ivy tersenyum membaca pesan manis dari adik satu-satunya, anggota keluarga yang membuatnya semangat untuk bertahan hidup dan bekerja keras.

Aku juga Didi. Selesai membalas pesan Aldrich, wanita dengan rambut dicepol itu memutuskan untuk memasak hidangan lezat. Malam ini dia memasak Salad Tuna Mayo saja, karena menjelang malam Ivy memang tidak terlalu suka makan berat.

Dengan apik, dia menghidangkan hidangannya.

Saat malam berganti malam, Ivy duduk di balkon apartemennya, seraya menikmati makan malamnya dengan disuguhi pemandangan gemerlap kota yang menjelang tidur. Sejenak, dia merenung, bersyukur akan keindahan di sekitarnya dan kehidupan yang mengisi setiap sudut apartemen kecil yang ia panggil pulang. Meskipun kedepannya tidak akan tahu kejadian apa yang akan menimpanya, dan dia harus siap menghadapinya kelak dengan segenap kekuatan yang penuh. Terlepas dari masalah - masalah yang menimpa dirinya sebelumnya.

Di sebuah sudut yang tenang di dalam bar yang bercahaya remang, tiga pria duduk di sekitar meja bulat kayu gelap, sementara deretan gelas bir dan cangkir kopi menghiasi permukaan meja. Sorot lampu gantung menghasilkan kilauan keemasan, menciptakan atmosfer yang hangat di sekitar mereka. Ketiga pria ini tampaknya tengah terlibat dalam percakapan intens, tertawa-tawa dan mengobrol dengan semangat.

Pria, bermanik hitam dengan rambut yang rapi, memegang cangkir kopi di tangan kanannya sambil mengedipkan mata cerdiknya. Dia terlihat sebagai pendengar yang baik, tersenyum-senyum sambil memberikan pertanyaan pada sahabatnya, tentang wanita yang tengah mereka bahas. “Sekarang kekasihmu Sophia Sophia itu ya?”

“Yah, begitulah,” jawab pria bernetra biru terang itu dengan seadanya, lalu menyesap bir yang diberikan Julio tadi. Hari ini Ezra berjanji untuk datang ke bar baru milik Julio Castano, satu lagi teman karibnya di masa kuliah dulu. Carlen, Julio dan Ezra adalah The Most Wanted di kampus mereka dulu, karena ketampanan dan kecerdasan yang mereka punya, mampu menghipnotis para gadis di sana. Meskipun Julio dulunya mengambil jurusan Bisnis Manajemen, karena keluarga Castano turun menurun menerapkan ilmu bisnis kepada anak-anaknya.

“Ezra selalu mendapatkan wanita-wanita dengan tubuh sempurna,” sambar Carlen seraya menghisap rokoknya, hingga asap putih melebur ke atas.

“Belum lama kau pisah dengan putri Politikus bulan lalu, sekarang kau mengencani Sophia,” ujar Julio merasa heran dengan kelakuan karibnya ini yang tidak bosan bersikap brengsek.

Netra biru terang Ezra menatap Julio sinis. “Mereka yang mengejarku, kau tahu wanita jika melihat dompet tebal, wajah tampan sepertiku mana mau melewatkan,” jawab Ezra merasa bangga dengan apa yang dia punya.

“Cih, kau tahu! Itu artinya mereka tidak tulus padamu. Coba kau miskin sialan!” maki Carlen dengan nada bercanda, sehingga sukses membuat Julio tertawa keras. Sedangkan Ezra langsung memasang ekspresi kesal. “Bilang saja kau iri denganku, karena susah mendapatkan wanita sexy. Kenapa? Apa karena kau trauma ditinggal menikah?” ledek Ezra kepada Carlen.

“Tutup mulutmu itu sialan!” umpat Carlen, dan langsung menenggak birnya.

“Lagipula, wanita sekarang lebih mementingkan realistis. Mereka tidak mau hidup susah, makanya untuk mencari pasangan mereka cenderung yang sudah sukses. Yah, pastinya dengan alasan, mereka sudah susah-susah sekolah tinggi, di didik bermoral oleh orang tua mereka,” komentar Julio dengan bijak.

Ezra menggelengkan kepalanya. “Let me explain, Tuan Castano. Kau pikir, para pria seperti kita tidak sekolah tinggi? Orang tua kita juga tidak mendidik kita menjadi pria bermoral? Kita juga sama, mencari ilmu, bekerja keras, dan tentunya terus berkembang menjadi pria yang bertanggung jawab dan bermartabat,” papar Ezra panjang lebar, karena agak tidak setuju dengan penuturan Julio.

“Tapi, pria yang baik tidak akan membiarkan pasangannya dalam kesusahan,” lanjut Ezra tegas, lalu menenggak botol birnya sampai habis. Kalimat yang dia lontarkan membuat kedua sahabatnya bertepuk tangan.

“Aku sangat terkejut Ez, selain pemain wanita kau juga pandai berkata bijak. Pantas saja semua wanita rela memujamu,” puji Carlen menepuk punggung tegap Ezra.

Ezra menatap Carlen diam, dalam hatinya itu tidak benar. Tentu saja ada wanita yang tidak memandangnya, ya siapa lagi jika wanita bernama Ivy. Wanita yang terang-terangan menolaknya.

Dalam suasana yang penuh dengan canda tawa, ketiganya saling bertukar pandangan dan berbagi cerita, menciptakan momen keakraban yang hangat dan berkesan di dalam bar yang ramai. Tidak dapat disangkal bahwa percakapan mereka tentang wanita tampaknya menjadi pusat perhatian, menggambarkan berbagai sudut pandang dan pengalaman hidup mereka. Hingga malam semakin larut dan akhirnya Ezra yang sedikit mabuk memutuskan untuk mengirim pesan, siapa lagi kalau bukan sekretarisnya. Memang gila, menyuruh wanita untuk menjemputnya di bar, tapi dia tidak peduli karena ini bentuk hukuman darinya karena Ivy telah berani menolaknya. Jemari besarnya lalu mengetikan sebuah pesan yang berisi. [Vy, jemput Aku sekarang, aku kirim lokasinya.]

“Kau bisa menyetir dengan kondisimu?” tanya Carlen karena dia sendiri dijemput sopir, matanya sudah merah karena mabuk.

“Hmm, aku bisa, tenang saja,” jawab Ezra dengan senyum tipis, tidak sabar untuk menunggu kedatangan wanita itu.

——

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!