Love Letter

Axelle berjalan menjauh dari keramaian, untung saja Bryan ada jadwal, jadi dirinya tak perlu menghadapi Bryan yang mendesaknya agar jujur. Ia sendiri tak tahu perasaannya bagaimana, hanya saja pipinya memanas saat melihat Irene memakai kacamatanya. Axelle menutup mulutnya yang terus tersenyum, tanpa bisa ia kendalikan. Damn!! She's cute!!

Axelle menyandarkan tubuhnya di depan loker miliknya, suasana disana cukup hening karna sepertinya semua orang tengah sibuk dengan kegiatannya. Ia lebih nyaman seperti ini, kondisi sepi dan hening membuatnya mampu berpikir tentang semua hal yang ia alami. Tapi sayangnya, hari ini fokusnya menghilang, dan itu semua hanya karna Irene yang pagi ini pakai kacamata. Sebenarnya ia tak tahu pasti apa Irene sama seperti dirinya yang harus memakai kacamata kemana-mana atau tidak, tapi ia tahu kerjaan Irene yang seorang sekretaris senat, bisa aja kacamata itu Irene butuhkan saat harus berhadapan dengan laptopnya. Jadi Irene tak pernah ia lihat memakai kacamata, bahkan saat ospek waktu itu.

Axelle menghela nafas panjang, ia melihat ponselnya. "Apa sih yang gw pikirin? Kan gw disini buat belajar, bukan nyari cewek." Gumamnya, tapi Irene itu bikin goyah, Irene bikin Axelle tak bisa berhenti memikirkannya, Irene bikin Axelle gak bisa fokus sama apa yang menjadi tujuannya selama ini. Tapi Axelle tak boleh goyah seperti itu, payah sekali. Hanya karna seorang gadis, ia harus melupakan tujuan awalnya. Axelle gak tau perasaan apa ini? Entah kagum, suka, atau bahkan... Cinta?

Stop it, Axelle!! Loe gak boleh over thinking, itu bukan hal yang penting!! Loe harus fokus sama tujuan loe, berhenti ngurusin hal kayak gitu!!

Axelle berbalik dan membuka lokernya, betapa kagetnya ia menemukan berbagai amplop yang didominasi warna pink dan biru memenuhi lokernya. "Apa-apaan nih?" Ujarnya, kaget. Ia melihat sekelilingnya, mencoba mencari siapapun yang menaruh amplop sebanyak itu disana. "Aishh, childish banget sih, bikin repot!!" Ujarnya sambil memeriksa salah satu dari sekian banyak amplop itu, ia menghela nafas, ia tau isi suratnya hanya omong kosong tak penting, ia tak bisa mengharapkan apa-apa dari isi surat menyebalkan itu. Axelle mengambil semuanya, lalu membuangnya ke tempat sampah terdekat, ngerepotin aja.

"Eh, loe lagi ngapain?" Ujar seorang gadis, membuat Axelle menoleh kearahnya, gadis yang tempo hari menimpuknya dengan sepatu.

"Kepo!! Urus urusan loe sendiri sana, gak usah liat gw!!" Ujar Axelle, entah kenapa emosinya naik bila bertemu dengan gadis barbar itu.

"Surat cinta, ya? Ck, masih ada aja yang suka sama loe, padahal udah liat gw kemarin." Gerutu Ryn, gadis yang Axelle tak mau kenal sebenarnya.

"Emang gw pernah minta?" Ujar Axelle sambil mengambil sebuah buku dilokernya, Ryn berdiri disampingnya.

"Loe gak pernah ngehargain perasaan orang, ya? Seenggaknya loe buka gitu, siapa tau ada duitnya." Ujar Ryn, membuat Axelle tersenyum sinis.

"Ngelawak loe? Dasar matre!! Minggir!!" Ujar Axelle sambil berjalan melewati Ryn begitu saja, membuat gadis itu kesal sendiri.

"Awas ya loe, gw bilangin ke pengirim surat-surat itu!!" Teriak Ryn, penuh ancaman.

Axelle hanya melambaikan tangannya, tak peduli pada ucapan Ryn, membuat Ryn semakin membenci pria dingin itu.

***

"Loe gak papa, Rene?" Tanya Wendy, karna ia melihat Irene terlihat tak fokus dengan kerjaannya.

"Eh, gak papa." Jawab Irene, tersentak sedikit.

"Loe yakin? Loe gak sakit kan, Rene?" Tanya Joy sambil memeriksa kening Irene, membuat gadis itu menepis tangan gadis itu.

"Gw gak papa, gw baik-baik aja." Ujar Irene, meyakinkan.

"Eh, gw gak mau ya, loe tiba-tiba ngedrop, gara-gara kerjaan loe gak selesai-selesai. Mau gw bilangin ke Kak Stuart sekalian?" Ancam Joy, kesal.

"Ada apa nih? Kalian ngumpul mulu, gak di ruang senat, gak di kantin." Ujar Stuart, selalu muncul tiba-tiba, kali ini sama anggota senat yang lain.

"Namanya juga sefakultas, Kak." Ujar Joy, tapi tangannya masih memeriksa kondisi Irene.

"Kenapa?" Tanya Sean, salah satu teman Stuart.

"Irene gak fokus dari tadi, kayak orang linglung, mungkin dia sakit." Ujar Gisel, tanpa mengalihkan perhatiannya dari ponsel.

"Kamu sakit, Rene?" Tanua Stuart sambil menghampiri Irene, membuat Irene refleks mundur, saat tangan Stuart menyentuh kulitnya. "Aku calon dokter, Rene!!"

"Aku gak papa, Kak, tenang aja." Ujar Irene, tampak risih dengan perlakuan semua orang. Irene tak suka disentuh sembarangan, apalagi cuman karna sakit. Ia tau kondisinya sendiri, tanpa perlu diperiksa orang lain.

"Ok, tapi kalo kamu sakit, kamu ijin aja, biar Wendy yang kerjain proposalnya." Ujar Stuart, lembut.

"Gw lagi..." Ujar Wendy sambil mengerucutkan bibirnya, membuat pria yang tak jauh darinya tersenyum. "Gw bantuin kok, Wen!!" Celetuknya, membuat Wendy menatapnya.

"Gw gak mau dibantuin sama loe, mending dibantuin Malik, loe gak bisa diandelin." Ujar Wendy, tanpa sadar menyebut musuh bebuyutannya.

"Waaa, Wendy, loe ngarepin apa dari Malik?" Goda Joy, membuat Wendy menatapnya tajam.

"Gw gak ngarep apa-apa, emang kerjaan tuh anak lebih rapi." Ujar Wendy, pelan. "Tapi gw cuman suka hasil kerjanya, bukan orangnya." Ujarnya, lagi.

"Iyalah tuh, siapa juga yang bilang loe harus suka sama orangnya." Ujar Joy, membuat semua orang tertawa karna Wendy mendelik tajam ke arahnya.

Irene hanya tersenyum, bersyukur semua teralihkan pada Wendy. Mereka tak lagi mengkhawatirkannya, karna Irene sendiri tak mengerti kenapa pikirannya terfokus hanya pada seseorang saja seharian ini.

Axelle.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!