This Feeling

"Rene, loe lagi ngapain?" Tanya Gisel, karna sepagi ini Irene udah ada di perpustakaan, gak biasanya. Mereka kan biasa nongkrong di kantin atau ruang senat, tapi kali ini Irene ada diperpus, kan aneh.

"Gw gak sempet ngerjain tugas, makanya gw ada disini." Ujar Irene, membuat Gisel tau ada yang tak beres dari Irene.

"Anak-anak tau loe disini?" Tanya Gisel, memilih duduk disamping Irene yang sibuk dengan tugasnya.

"Nggak, mereka gak ada jadwal pagi, Wendy masih tidur tadi." Ujar Irene, tersenyum.

"Jadwal gw pagi sih, wkwk." Ujar Gisel, terkikik pelan. "Oh ya, soal hubungan loe sama Axelle, gimana?"

Irene menghentikan pekerjaannya, ia menghela nafas kasar. "Gak usah ngomongin dia!!" Ujarnya, membuat Gisel yang benar-benar tak tahu apapun heran.

"Kenapa? Loe marah lagi sama doi?" Tanya Gisel, penasaran.

"Nggak, gw gak marah, tapi jangan omongin dia di depan gw." Ujar Irene, mencoba terdengar tenang.

"Eh, loe pake kacamata lama loe? Yang kemarin mana?" Tanya Gisel, lagi.

"Sel, berisik, gw gak konsen nih." Ujar Irene, kesal.

"Loe kenapa sih? Kan gw nanya, kok nyolot." Ujar Gisel, sebal.

"Ini diperpus, Gisel!! Loe gak boleh berisik..." Ujar Irene, membuat Gisel menatapnya kesal.

"Loe marah sama Axelle lagi?" Tanya Gisel, membuat Irene menghela nafas. Gisel itu takkan berhenti bertanya, kecuali ia mendapat jawaban yang bisa memuaskannya. "Rene?"

"Hmm, gw gak marah, gw cuman balikin kacamata yang dikasih dia lewat Bryan, tapi ternyata tuh kacamata dari Bryan." Ujar Irene, membuat Gisel terdiam kaget.

"Lha, bukannya loe suka ya sama kaca matanya? Sampe loe pake kemana-mana, kan?" Ujar Gisel, membuat Irene lagi-lagi menatapnya tajam. "Itu pertama kalinya loe mau pake barang hadiah, lho." Ujarnya, lagi. "Kenapa dibalikin? Kacamatanya bagus kok, juga..."

"Udah gw bilang, gw gak mau bahas dia, Sel. Udah deh, lupain aja." Ujar Irene sambil mengibaskan tangannya, ia kembali fokus pada tugasnya.

"Loe... Gak beneran suka sama Axelle, kan?" Tanya Gisel, membuat Irene menghela nafas. "Rene, loe gak pernah kayak gini selama gw kenal sama loe. Loe gak pernah sesensitif ini sama seseorang, loe gak pernah seexcited ini sama orang, loe juga gak pernah mau sedeket ini sama seseorang, apalagi cowok. Tapi gw liat, sikap loe ke Axelle beda sama sekali."

Irene mencoba untuk tak memedulikan ocehan Gisel, tangannya masih berusaha aktif mengerjakan tugas yang seharusnya minggu depan baru dikumpulkan. Ia ingin mengalihkan pikirannya dari Axelle, ia ingin melupakan tatapan mata Axelle saat bersamanya, dan juga saat ia merasa dibohongi pria itu. Tatapan yang seolah memojokkannya, padahal Axelle harusnya merasa bersalah padanya, Axelle harusnya minta maaf, bila perlu...

Apa sih yang Irene harapkan? Axelle dari awal tak pernah benar-benar peduli padanya, tak pernah ingin mengenalnya, apalagi menginginkannya. Harusnya ia sadar diri untuk menjauh dari pria itu, walau bagaimana pun umur mereka terpaut cukup jauh. Axelle hanyalah juniornya, harusnya Irene mencari pria yang lebih dewasa darinya, harusnya Irene bisa melupakan pria itu dalam sekejap, harusnya Irene bisa menganggapnya sebagai adik, harusnya...

Kenapa sih sama perasaan gw? Ada yang salah sama perasaan ini, apa yang gw rasain? Kecewa atau marah? Takut kehilangan atau... Takut berharap? Balas budi atau... cinta?

Tanpa mereka sadari, seseorang mendengarkan obrolan mereka. Seseorang itu menutup bukunya dengan kasar, tangannya mengepal erat. Dia menghela nafas kasar, lalu berjalan pergi.

***

Axelle sedang berada diruang senat seorang diri, entah kenapa ia jadi suka berada disini. Sepertinya hari ini adalah hari keberuntungannya, karna sedari pagi, ia tak bertemu dengan Irene. Entah gadis itu bersembunyi atau memang dirinya yang pandai menghindar, Axelle tak lagi peduli. Toh memang seharusnya seperti ini, dari awal mereka memang tak seharusnya dekat. Axelle bisa dengan mudah melupakan Irene, begitupun dengan gadis yang membuatnya labil itu.

Axelle menghela nafas, kala menemukan jar madu yang tinggal setengahnya itu di rak gantung. Ia mengambilnya, tersenyum miris mengingat nasibnya yang sepertinya sama dengan jar madu itu, setelah isinya habis, ia akan dibuang.

Lagi-lagi Axelle menghela nafas, sejak kapan ia jadi sok dramatis? Sejak kapan dia jadi cengeng? Sejak kapan hatinya menjadi semellow ini? Ah, Axelle tak mengerti dengan keadaannya sendiri. Harusnya Axelle bisa melupakan Irene, harusnya Axelle tak terjebak bersamanya, harusnya Axelle sedari awal tak mengenal Irene. Axelle mendadak pusing, terlalu banyak kata seharusnya didepan kalimat yang ia pikirkan.

Apa yang sebenarnya terjadi? Perasaan apa yang ia miliki untuk Irene? Kagum? Suka? Cinta? Gak mungkin sejauh itu, kan? Gak mungkin Axelle menyimpan perasaan sebesar itu pada Irene? Apa yang sebenarnya ia rasakan?

Tiba-tiba Axelle mendengar pintu ruang senat terbuka, terdengar seseorang masuk kedalam.

"Axelle?"

"Eh, Kak, sedang apa disini?" Tanya Axelle, bingung kala menemukan Stuart disana sepagi ini.

"Seharusnya gw yang nanya, loe kok bisa disini sepagi ini? Dan yang lain kemana? Tumben sepi, biasanya pada nongkrong disini." Ujar Stuart, tersenyum.

"Saya gak tau, saya kan pegang kuncinya, jadi harus saya buka, ntar yang lain gak bisa masuk." Ujar Axelle, tersenyum kikuk.

"Oh, begitu." Ujar Stuart sambil mengambil gelas di rak gantung, lalu menuangkan air minum. "Btw, thanks ya, loe mau bantuin bikin proposal. Gak nyangka gw loe bisa juga diandelin." Ujarnya, lagi.

"Ah, itu cuman masalah kecil kok." Ujar Axelle, tersenyum malu. "Kakak gak ada kelas?"

"Hm, gw ada praktek doang sih hari ini." Ujar Stuart sambil meminum minumannya, membuat Axelle mengangguk pelan. "Oh, loe mau ikut makan malam gak hari ini sama anak-anak?" Ujarnya, tiba-tiba.

"Ha? Malam ini?"

"Kita mau makan-makan, setelah proposal selesai. Maklumlah, biar Irene juga bisa ikut. Tuh anak selalu menghindar, susah banget diajakin." Ujar Stuart, tersenyum.

"Hmm, saya harus..."

"Oh, ini hari terakhir loe dihukum kan? Anggap aja sebagai tanda terimakasih kita, loe udah banyak bantuin kita juga. Loe juga boleh bawa Bryan, Ryn, Rima juga." Ujar Stuart, membuat Axelle terdiam. "Kenapa? Gak bisa? Yaaa, sayang banget, padahal bakal seru lho, kalo kalian ada." Ujarnya, lagi.

"Saya... Mau kok, Kak!! Saya bakal bawa mereka, nanti saya kabari lagi." Ujar Axelle, akhirnya ia tak bisa menolak ajakan pria itu hanya karna senyuman yang terlihat tulus itu.

"Ok, gw tunggu ya..." Ujar Stuart, tersenyum.

Gak ada salahnya ikutan, Al, itung-itung akrab sama kating, biar gak diledekin anti-sosial sama Bryan mulu.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!