"Gimana, Rene? Gimana?" Tanya Wendy, tak ingin ketinggalan cerita Irene tentang si hoodie hitam itu.
"Apanya yang gimana? Sebel gw, mau minta maaf kaku bener." Gerutu Irene, sebal.
"Minta maaf? Gara-gara kemarin?"
"Katanya sih gitu, tapi keliatan gak ikhlas banget. Nyebelinnya lagi, omongan gw dipotong mulu." Ujar Irene, kesal.
"Sabar, Rene..." Ujar Gisel sambil menepuk pundak Irene, prihatin. "Terus loe maafin dia?"
"Mungkin, tapi dia langsung pergi gitu aja, gak ada basa-basi lagi." Ujar Irene, membuat sahabatnya terdiam.
"Mungkin anaknya emang kayak gitu kali, Rene." Ujar Wendy, membuat Joy mendelik.
"Loe kok aneh belain dia mulu, suka ya loe sama si hoodie item?" Ujar Joy, curiga.
"Bukan suka, tapi berpikir dewasa."
"Dewasa apanya? Temen loe sedih nih, hibur kek." Ujar Gisel, ikut menghakimi Wendy.
"Iya, gw salah." Ujar Wendy, mengalah. "Sabar ya, Rene. Dia pasti bakal kena batunya, soalnya dia gak sopan." Ujarnya, lagi. "Tapi... Sebentar, ada yang ngerasa aneh gak?" Lanjutnya, membuat ketiganya menatap gadis itu.
"Aneh gimana?" Tanya Gisel, penasaran.
"Gw rasa, si hoodie item itu bukan type orang yang mau minta maaf deh."
"Kan kata gw, dia gak ikhlas gitu minta maafnya, gak ngasih waktu gw buat ngomong juga." Ujar Irene, sebal.
"Makanya itu, ada yang aneh. Jangan-jangan dia..."
"Loe mau bilang si hoodie item kepincut Irene?"
"Atau dia caper, huh?"
"Well, ada kemungkinan kayak gitu. Ya aneh aja, kemarin dingin, tiba-tiba minta maaf." Ujar Wendy, lagi.
"Lebih baik loe gak usah pikirin dia lagi deh, Rene. Loe jadi gak fokus, anggap aja loe lagi sial ngadepin si hoodie item." Ujar Joy, pelan.
"Ada baiknya sih gitu, gak usah mikirin orang kayak gitu, buang-buang waktu. Dia udah minta maaf, anggap aja clear." Ujar Gisel lagi, membuat Irene menghela nafas.
"Bener sih kata kalian, dia emang udah nyita pemikiran gw dari awal. Gw jadi gak konsen sama hal lain, selalu penasaran sama dia. Tapi..."
"Rene, kalau menurut gw, dia itu cuman caper sama loe." Ujar Joy, membuat Gisel mengangguk. "Dari awal dia bertingkah seolah gak suka sama loe, terus tiba-tiba aja minta maaf depan loe dengan sifat tsundere-nya dia. Gw gak mau, loe kejebak permainan dia." Ujarnya, lagi.
"Kalo menurut loe, Wen?" Tanya Irene, karna Wendy sedari tadi diam seperti tengah memikirkan sesuatu.
"Gw gak tau, tapi gak ada salahnya juga loe turutin ucapan Joy sama Seulgi. Kita khawatirin loe, Rene. Cuman..."
"Loe kayak tau sesuatu, Wen. Ngomong deh sama kita, ada yang salah?" Tanya Joy, curiga.
"Hei, kalian semua!!"
Tiba-tiba Stuart datang, membuat perhatian keempatnya terarah padanya. "Ngapain ngumpul disini? Gak ada kerjaan? Jadwal?"
"Kerjaan mulu yang diurusin, Kak, pantes jombs." Ujar Joy, setengah meledek Stuart.
"Gw jomblo bukan karna kerjaan, temen kalian yang nolak gw. Bujuk dia napa, biar gw gak jomblo." Ujar Stuart sambil duduk disamping Irene, membuat Joy tertawa.
"Bisa ae ngelesnya, Kak." Ujar gadis itu, tak sadar suasana tengah berubah canggung, antara Stuart dan Irene.
"Katanya tadi kamu bicara sama junior, Rene. Mau ngapain dia?" Tanya Stuart, menatap Irene yang menunduk.
"Dia mau minta maaf, soal yang kemarin." Ujar Irene, Joy segera menutup mulut Gisel yang ingin mendahului omongan Irene.
"Jadi yang kemarin udah selesai?" Tanya Stuart, tersenyum.
"Ya, aku maafin dia kok, Kak." Ujar Irene, membuat Stuart tersenyum lega. "Ntar siang ada rapat, kalian jangan pulang dulu, terutama Wendy."
"Lha, kok gw?"
"Loe suka mojok bareng Minhyun sih, nah kan..." Ujar Joy, menggoda Wendy yang tak terima dirinya diutamakan.
"Ih, apa? Malik si nyebelin sok baik itu? No!!" Ujar Wendy, jijik. "Gw gak mojok sama dia, jangan percaya sama Joy, Kak!!" Ujarnya, kesal.
"Iya, intinya senat harus kumpul. Kita bakal bahas camping tahunan yang akan diadakan bulan depan." Ujar Stuart, senyum malaikat itu terus menghiasi bibirnya.
"Cepet banget, Kak. Kita kan perlu tau kondisi tempat campingnya gimana, belum lagi harus rencana jerit malam."
"Gw juga baru diingetin kemarin, makanya gw suruh Sean sama Kai buat pergi meriksa tempat biasa kita kemping." Ujar Stuart, Gisel menatapnya. "Kenapa?"
"Kenapa Kakak gak bilang sama aku? Aku juga mau ikutan travelling ke puncak, Kakak tau aku udah biasa." Ujar Gisel, sedikit kesal.
"Namanya juga dadakan, Gisel. Ntar kita bahas pas rapat ya, gw pergi dulu." Ujar Stuart, tatapannya teralih ke Irene yang sedari tadi diam. "Aku pergi dulu, Rene."
"Iya, Kak." Jawab Irene, tersenyum. Stuart mengusap kepalanya lembut, lalu beranjak dari sana.
"Bye!!"
***
Irene baru saja keluar dari kelasnya, kala Bryan tiba-tiba berdiri dihadapannya. Gadis itu hampir meloncat mundur, karna kaget atas kehadiran Bryan.
"Mingyu, jangan ngagetin orang!!" Ujar Irene, kesal.
"Hehe, maaf, Kak. Aku hanya ada perlu sebentar, kita bicara ditempat lain. Ayo!!" Ujar Bryan, setengah berbisik.
"Ada apa? Kalo ini masalah sahabat loe, gw udah maafin dia." Ujar Irene, angkuh.
"Kemari sebentar, Kak." Ujar Bryan yang akhirnya dituruti Irene, sepertinya gadis itu tak bisa mengabaikan apapun yang berhubungan dengan Axelle.
Bryan membuka tasnya, lalu mengambil sebuah kotak dari sana. Irene tampak memperhatikan, lebih tepatnya penasaran dengan kotak yang ada digenggaman Bryan.
"Ini..." Ujar Bryan sambil menyerahkannya pada Irene, membuat Irene menautkan alisnya bingung. "Tadi Axelle udah nyiapin hadiah buat Kakak, karna dia ngerasa bersalah banget sama Kakak." Ujarnya, lagi. "Axelle tadi gugup mau ketemu Kakak, jadinya dia lupa sama ini. Kakak tau sendiri kan, dia orangnya kaku, dia gak biasa berhadapan sama cewek, jadi harap maklum ya, Kak."
"Jadi ini buat gw?" Tanya Irene, membuat Bryan mengangguk. "Kenapa dia gak kasih langsung ke gw?" Tanyanya, lagi.
"Dia... Malu, Kak. Harusnya ini dikasih pas dia minta maaf, tadinya dia juga mau kasih ke Kakak langsung. Tapi dia orangnya gugupan, jadi dia gak yakin bakal bisa ngomong ke Kakak." Ujar Bryan, membuat Irene terdiam. "Dia nyuruh aku kasih, karna aku udah biasa berhadapan sama cewek, gak kayak dia." Ujarnya, lagi. "Jadi menurut dia, kalo aku yang kasih, Kakak juga gak bakal salah paham." Ujarnya, penuh senyuman.
Irene masih menatap Bryan penuh selidik, tapi ia mengambil kotak kecil itu pada akhirnya. "Ini apa isinya?"
"Buka aja, Kak." Jawab Bryan, diam-diam tersenyum puas.
Irene membuka kotak itu,... Tunggu, kacamata?
"Hmm, Axelle tau persis kerjaan Kakak." Ujar Bryan, saat Irene menatapnya penuh tanya. "Pasti Kakak butuhin itu untuk bekerja sebagai sekretaris senat, kan?"
"Ha?"
"Axelle bukan type orang yang romantis, Kak, tapi dia tau apa yang dibutuhkan orang lain. Mungkin dia pikir, Kakak butuh kacamata baru." Ujar Bryan, tapi Irene masih terlihat tak puas dengan jawabannya. "Sebenarnya dia memikirkan semalaman untuk memberi hadiah ini, dia pengen Kakak terkesan sama hadiah yang dia kasih."
Irene terdiam, Axelle sampai segitunya ingin minta maaf padanya, dan dia malah memikirkan hal yang aneh-aneh tentang pria itu.
"Hei, aku cari kamu kemana-mana, taunya disini." Ujar Stuart sambil merangkul Irene, membuat gadis itu kaget.
"Hm, saya pergi dulu, Kak. Dipakai, ya?" Ujar Bryan, tersenyum kikuk, lalu ia pergi.
"Ada apa?" Tanya Stuart, penasaran akan isi kotak yang ada ditangan Irene.
"Ah, bukan apa-apa." Jawab Irene, tersenyum. "Oh, ada apa, Kak? Tumben nyamperin ke kelas..."
"Ck, lupa kan? Kita ada rapat siang ini..."
"Ah, iya, aku lupa. Ayo pergi..." Ujar Irene, tersenyum.
"Ayo!!" Ujar Stuart sambil menggandeng Irene, lalu pergi dari sana. Diam-diam pria itu menatap punggung Bryan yang mulai menghilang dari pandangannya, senyuman masam menghiasi bibir pria itu untuk pertama kalinya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 36 Episodes
Comments