Bab 15

Adam memandang pisau yang tergeletak di lantai dengan tatapan kosong, namun ada sesuatu yang menghipnotis tentang benda itu. Pisau itu tampak begitu sederhana, namun begitu berbahaya.

Bilah yang panjang dan ramping, berkilauan terpapar sinar matahari yang masuk melalui jendela. Bilah itu tampak begitu tajam, begitu mematikan, namun begitu indah. Ada sesuatu yang begitu mempesona tentang cara cahaya memantul dari permukaannya, menciptakan semacam aura yang mempesona.

"Ambil pisau itu! Bunuh dia dengan cepat dan rasa sakitmu akan sirna."

"Wanita itu tidak ada artinya bagimu. Dia hanya terus memanfaatkan kebaikanmu, dan membiarkanmu menderita seperti yang sudah-sudah."

Namun, sebuah ingatan seketika muncul dalam pikirannya. Senyuman Anissa, kekasihnya, berdiri melihat kearahnya di padang rumput yang luas. Senyuman yang begitu manis, begitu tulus, dan selalu bisa membuat hatinya menjadi hangat.

Wajahnya kini makin memerah, matanya membelalak, dan napasnya terengah-engah. Aura berusaha membantunya, tapi Adam masih tidak merasakan kehadirannya.

Dari beberapa menit yang terasa begitu lama, rasa sakitnya seakan berkumpul jadi satu, diwaktu yang sama. Telinganya berdengung, tubuhnya lemas, matanya terbuka lebar menatap Aura, dan diikuti dengan darah yang perlahan mengalir keluar dari hidungnya.

"Adam kamu baik-baik sa—"

"Aku perlu ke kamar mandi."

Adam berdiri cepat, bergegas pergi meninggalkan wanita itu.

Tangannya bergetar hebat saat menutup pintu kamar mandi, dia mengambil sebuah handuk yang tergantung untuk membersihkan darah di bawah hidungnya, lalu menatap ke sebuah cermin besar diruangan itu.

Jantungnya berdegup kencang seiring dengan napasnya yang tersengal. "Ya Tuhan, kapan semua ini akan berakhir," gumamnya saat membenamkan wajah.

...[Breathless Dawn]...

Pintu kamar mandinya diketuk dari luar. "Adam, kamu didalam?" suara wanita itu terdengar lirih namun cemas.

Adam menghela napas, melihat wajahnya di cermin. Terkadang dia bingung, sejak kapan wanita itu mulai peduli padanya. Apakah saat dirinya tertangkap di distrik, atau lebih jauh sebelum itu.

"Kita harus segera pergi, sore akan segera tiba," kata pemuda itu saat keluar dari kamar mandi.

"Kemana?"

"Seperti yang sudah sering kita katakan sebelumnya, berkumpul di dekat perpustakaan kota, bertemu Hanna, Abbas, dan Keenan."

Garis senyuman muncul di sudut bibir Aura. "Sedikit aneh mendengar kamu menyebut mereka dengan nama asli. Tapi aku rasa sekarang kita memang tidak lagi memerlukan nama samaran itu."

Adam memakai jaket dan meraih tas ranselnya. "Setidaknya nyonya Nadine telah berhasil membuat orang-orang kebingungan dengan nama-nama itu," ujarnya tersenyum miring.

Mereka menyiapkan semua perbekalan dan peralatan yang diperlukan, karena mobilnya mogok. Sambil menarik napas dalam-dalam, Adam menguatkan nyalinya untuk membuka pintu.

"Kamu yakin baik-baik saja, Adam?"

"Ya, yang paling penting sekarang adalah memastikan diluar aman."

Hangatnya sinar matahari menyambut mereka berdua, angin yang berhembus menggerakkan rambut dan pakaian mereka.

Mereka melangkahkan kaki di jalanan yang sepi. Kota Jakarta yang dulunya ramai, kini bak kota hantu. Mobil dan motor tersebar disepanjang jalan dengan pintu yang dibiarkan terbuka. Beberapa kendaraan bahkan terlihat gosong dan hancur.

"Padahal baru satu bulan, tapi tanaman liar sudah mulai menguasai kota," kata Adam saat tangannya menyentuh tanaman hijau yang melekat di bodi mobil.

"Kau tahu Adam, saat beberapa hari kemunculan makhluk-makhluk itu... Kami tidak berpikir memberi nama mereka Enigma."

Adam menoleh ke samping, menatap wanita itu dengan penasaran. "Lalu?"

"Awalnya kami menyebut mereka dengan sebutan Alam."

"Alam?"

"Benar." Aura mengedarkan pandangannya ke barisan rumah kosong. "Aku berpikir jika mereka muncul bukan karena ulah teroris atau karena vaksinasi masal itu, melainkan karena respon alam terhadap kehidupan manusia yang mulai melampaui batas."

"Jadi maksudmu semua ini semacam bencana alam?"

"Aku rasa begitu."

"Ikut aku," kata Adam yang berjalan cepat menuju ke sebuah mobil yang tampak masih dalam kondisi baik. "Sialan, kuncinya tidak ada."

"Lebih baik kita berpencar, Adam. Bisa bahaya jika kita terus berjalan kaki."

"Kau benar."

Mereka berdua terus mengecek setiap kendaraan yang terlihat memungkinkan untuk mereka pakai. Namun, sebagian besar dari kendaraan itu sudah tidak lagi memiliki kunci, atau bagian bannya telah bocor.

Setidaknya mereka telah memasuki belasan mobil hingga akhirnya sebuah mobil sedan Adam temukan dengan kuncinya yang masih tergantung. Dia memutar kunci dengan penuh harapan. "Kumohon, ayolah." Keajaiban terjadi, mesin mobil menyala.

Suaranya terdengar sangat keras di tengah kondisi perumahan yang begitu sepi. Suara raungan aneh terdengar dari dalam salah satu rumah.

"Aura!" Adam melambaikan tangannya ke wanita itu yang kebetulan juga sedang berlari kearahnya. "Kau dengar itu?"

"Iya, kita harus segera pergi."

Roda mobil berputar, dan mereka melaju di tengah kota yang hanya tinggal kenangan dan dihiasi puing-puing bangunan.

...[Breathless Dawn]...

"Kau yakin mereka masih menunggu kita?"

Duduk di sebelah Adam, Aura membuang pandangannya ke luar jendela. "Aku tidah tahu," jawabnya menyandarkan kepala di kursi.

Mereka terlelap dalam diam, barisan pohon di pinggir jalan terlihat jauh lebih rimbun dibandingkan hari biasanya. Cafe, restoran, toko, hotel dan bangunan lainnya disepanjang jalan sudah tidak lagi utuh. Maksudnya, lubang pada dinding, kaca jendela yang pecah, hingga atap yang roboh, meyakinkan jika bangunan-bangunan itu dapat roboh kapan saja.

"Jalanan ini seperti sudah dibersihkan," kata Adam tanpa menoleh, fokus dengan jalan didepannya. "Semua kendaraan seakan disisihkan ke tepi jalan."

"Militer yang melakukannya. Kau tahu kan, kendaraan lapis baja seperti tank dapat menggusur apapun dengan mudah."

"Tentu saja aku tahu." Adam tersenyum miring. "Akhirnya aku dapat melihat sisi positif dari adannya militer di dunia yang sekarang."

Senyumannya tidak bertahan lama setelah sebuah rudal jelajah melesat tepat jauh diatas mereka.

"Apa itu?" tanya Adam, terkejut.

"Nuklir."

Adam menoleh. "Apa maksudmu?"

Aura terlihat tidak terkejut sedikitpun, bahkan dia tidak menoleh kearah lawan bicaranya. "Sia-sia saja," kata wanita itu dengan datar.

...[Karya ini merupakan karya jalur kreatif]...

Terpopuler

Comments

Kavirajasena

Kavirajasena

ceritanya udah semakin seru

2024-02-29

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!