Dia duduk di bangku piano, melepaskan sarung tangannya satu per satu, mengekspos jemarinya yang kotor. Dia menekan pedal piano, jari-jarinya bergerak lincah di atas tuts piano.
Jubah coklat panjang, menyerupai mantel penjelajah. Masker gas yang menutupi wajahnya, serta rompi armor dengan hiasan boneka panda yang nampak telah kadaluarsa, menjadi pelindung dari segala ancaman yang datang.
Zeus duduk disana, di tengah lobi hotel. Memainkan sonata yang indah, not demi not mengalir dari jemarinya, membawa kehidupan baru ke dalam ruangan yang telah lama mati.
Hanya beberapa meter darinya, seorang wanita berjas putih sedang terduduk lesu. Hanna membenamkan wajahnya disamping sebuah kasur dorong. Kasur dorong yang berisi seorang pasien yang sekali lagi, gagal dia selamatkan.
Tangannya yang berlumuran darah kering, memeluk dirinya sendiri dalam ketakutan.
Musik yang dimainkan beresonansi memenuhi ruangan. Berusaha mengubah lantai marmer kembali berkilau, dengan menghibur setiap orang disana walau nyatanya percuma.
Mungkin ada beberapa yang tertawa, ada yang dapat terlelap dalam tidurnya, ada juga yang masih berupaya untuk menghangatkan diri dengan berkumpul di sebuah tong dengan api didalamnya. Namun tetap saja, ini bukanlah kehidupan yang mereka inginkan. Semuanya dapat terlihat dari mata mereka yang putus asa, sama seperti lantai marmer yang kusam akibat terlalu sering terguyur darah.
Musik klasik dari piano terganggu dengan suara mesin mobil yang berhenti didepan pintu lobi. Getaran dari mesin dapat dirasakan orang-orang disana, sebelum akhirnya digantikan oleh suara percakapan seorang wanita dari radio komunikasi, sama, suaranya berasal dari luar pintu lobi.
Pintu terbuka, tiga orang masuk, dua pria dan satu wanita yang berdiri paling depan. Wanita itu mengangkat walkie talkie ke bibirnya.
"Kami sudah sampai, Kolonel."
"Baik, Kolonel."
"Mengerti."
Ketiga orang berpakaian loreng itu telah siap dengan pistol yang menggantung ditangan kanan mereka.
Zeus samasekali tidak terganggu dengan tatapan ketiga orang itu terhadapnya. Dia tetap asyik bermain piano, tidak menoleh sedikitpun.
"Keenan Albert, Anda ditahan," kata wanita itu sambil menodongkan pistolnya.
...[Breathless Dawn]...
Kunang-kunang yang menyelinap masuk tidak mampu menerangi ruangan itu, biru dari cahaya bulan yang merembet masuk melalui celah papan kayu di jendela juga tidak banyak membantu.
"Kau yakin ini ruangannya?"
Tentara itu mengangguk serius menanggapi pertanyaan rekannya.
Mereka berdua melangkah masuk, membiarkan sedikit cahaya masuk melalui pintu yang dibiarkan terbuka.
"Berhenti disana."
Bulir keringat tentara itu membanjiri wajahnya yang bersembunyi dibalik masker gas. Setelah mendengar peringatan mendadak itu, mereka meletakkan senapan, lalu mengangkat kedua tangannya ke udara.
Adam berdiri di belakang mereka dengan sebuah pistol yang melekat dalam genggamannya. Wajahnya tegas, tatapan matanya tajam, tidak ragu untuk membuat lubang di kepala mereka.
"Kami hany—"
"Hanya ingin menghapus Artemis?" Potong Adam, saat dirinya perlahan menutup pintu, dengan mempertahankan posisi senjatanya. "Kami tidak bodoh, kalian tahu jika organisasi itu telah lama hancur."
"Kami samasekali tidak ada kaitannya dengan hal itu," bantah pria berseragam hijau loreng.
"Sersan Ridwan, masuk."
"Sersan, dimana posisi Anda? Ganti."
Mata Ridwan bergeser ke sumber suara barusan, tepatnya ke sebuah radio yang tergantung di rompinya. Namun, hal itu tidak berlangsung lama, setelah sebuah titik merah terlihat berjalan menaiki tubuhnya, mulai dari dada, hingga berhenti tepat dikeningnya.
Sersan Ridwan menelan ludahnya, matanya kini terkunci pada wanita yang sedang duduk dibalik kegelapan.
Ia duduk dengan anggun di kursi berlengan, punggungnya lurus seperti busur panah, bahunya tegak.
Kemeja putih lengan panjang nampak kontras dalam gelapnya ruangan, serupa dengan garis merah dari laser bidik pistol yang mengarah tepat di kening Sersan Ridwan.
"Suruh atasanmu untuk berkemas," kata wanita berambut pendek, nada bicaranya santai namun mengancam.
Tentara itu mematung, angin dingin seakan menembus masuk ke sekujur tubuhnya, apalagi rekannya yang sudah pucat sejak awal.
Aurora memainkan titik merah yang keluar dari pistolnya, membuatnya berputar-putar di wajah pria itu, lalu turun hingga berhenti di area yang paling vital.
"Tu-tunggu Nona Aurora, kami tidak bermaksud apapun? Mana mungkin kami berniat jahat kepada orang penting sepertimu!?"
Wanita itu hanya tersenyum, seperti psikopat.
"Kolonel juga tidak pernah sekalipun berniat untuk menghancurkan perjanjian awal!" tambah pria itu, panik brutal.
"Perjanjian?" Tanya Adam penasaran.
"Awalnya, Artemis yang pertamakali menduduki gedung ini, namun pihak militer datang untuk mengambil alih dengan alasan keamanan warga sipil. Akan tetapi... Mereka justru memanfaatkan kebaikan kami. Bukankah begitu, Sersan?"
Setelah mendengar penjelasan singkat Aurora, tentara itu naik pitam. "Kau ini bicara apa!?"
Suaranya yang meledak diikuti suara letusan peluru dari luar.
Adam mengintip keluar. "Sepertinya dari lobi." Wajahnya terlihat bingung, nyatanya dia memang berada diantara kedua pihak, dia tidak percaya akan keduanya. Walaupun dia tahu, untuk saat ini pihak militer lah yang menjadi masalah utamanya.
"Sersan Ridwan, masuk!"
"Dinding pelindung Utara telah jebol, Kolonel memintamu untuk membersihkan mereka segera, lalu mulai evakuasi warga!"
Suara dari radio komunikasi terdengar heboh, ledakan dan hujan tembakan sedang terjadi dimana-mana, suaranya bahkan juga terdengar sampai ke tempat mereka berdiri. Cahaya biru dari rembulan yang merembet masuk dari jendela, kini bercampur dengan warna oranye api yang mulai melahap apapun di area hotel.
"Membersihkan mereka, katamu?" Wanita berambut pendek itu menggigit bibirnya lalu tersenyum tipis.
"No-Nona Auror—"
Satu peluru untuk Sersan, memotong ucapannya, dan satu lagi untuk pria pucat yang berdiri disebelahnya. Semuannya tepat di kepala, tubuh mereka ambruk seketika. "Ayo kita berkemas, Adam."
Aurora berjalan, melangkahi mayat-mayat itu dengan santai, seolah nyawa mereka tidak lebih berharga dari kerikil yang berserakan. "Kenapa? Bukankah kamu juga sudah sering melakukannya?"
Adam masih terpaku pada dua orang pria yang tergeletak tak bernyawa disamping kakinya. Pupilnya mengecil, bergerak tidak beraturan, sama seperti detak jantungnya.
Setelah beberapa saat terdiam, Adam menyadari wanita itu telah pergi keluar, dia segera menyusulnya.
Satu tarikan panjang bunyi sirine terdengar memekakkan telinga.
"Cepat! Masuk kedalam bis!"
Rentetan tembakan sudah seperti hujan deras yang tidak kunjung reda, teriakan panik dari warga dan jerit isak tangis yang melengkapi hujan tembakan itu layaknya badai petir.
Dari koridor, Adam bisa melihat kekacauan di area lobi.
"Lewat sini, Adam."
"Bagaimana dengan yang lainnya?"
Aurora menggeleng pelan, "Jangan biarkan usaha mereka sia-sia, ikuti saja aku."
Persetan, tidak ada pilihan lain selain mengikuti wanita gila ini. Semuanya berjalan begitu cepat, masih banyak pertanyaan yang menumpuk di benaknya. Kenapa dia diselamatkan, kenapa dirinya seakan dianggap penting, dan kenapa kekacauan seperti ini dapat terjadi disaat eksistensi manusia sedang diujung tanduk. Tentu saja Adam bingung. Apalagi, dia tidak mau mengatakannya pada siapapun, tapi... luka ditubuhnya yang dapat sembuh dengan cepat juga masih menjadi misteri.
Mereka berjalan ke arah yang berlawanan dengan arah orang-orang pergi. Mereka pergi ke basement, sedangkan orang-orang pergi keluar melalui pintu utama, dimana sebuah bis sedang menunggu.
Perhatian Adam masih tertuju pada lobi. Beberapa kali dia menoleh kesana, hingga terakhir kali yang dia lihat membuat dirinya mempercepat langkah, panik. Enigma tipe 1 yang bernama Sleepwalker, kenalan pertamanya, terlihat menyambar seorang wanita yang sedang berdiri histeris ditengah lobi.
"Mereka disini!" Kata Adam dengan panik sampai-sampai hampir menginjak bagian belakang sepatu wanita didepannya, wanita itu berjalan terlalu santai.
"Awasi jika ada yang mengejar kita," jawab Aurora setengah menoleh.
Mereka berdua menuruni tangga menuju basement. Suasananya sangat gelap dan sepi, tidak ada satu orang pun.
"Kenapa? Ada masalah?"
"Umm... Mobilnya tidak ada."
"Maksudmu?"
Lampu sorot dari Jeep ditembakkan ke arah mereka. Basement yang gelap seketika terang benderang, mereka ditodong oleh enam orang tentara bersenjata lengkap. Satu diantara mereka berdiri paling depan, siluet hitam dari jubahnya terlihat jelas, jika orang itu adalah Kolonel Garant.
Dihadapan mereka, Pria tua itu berkata dengan lantang. "Kau yang memulai semua ini, Aura Rebecca, semuanya tidak akan terjadi jika ayahmu mati sejak dulu."
...[Karya ini merupakan karya jalur kreatif]...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 53 Episodes
Comments