Bab 12

Telah lebih dari satu bulan lamanya, sejak ledakan besar mulai meruntuhkan kota-kota besar di seluruh dunia. Orang-orang dengan masker gas dan granat yang berisi zat kimia beracun menguasai istana negara, mengkudeta setiap penguasa, serta membunuh setiap manusia yang dilaluinya.

Langit malam yang bertabur bintang seketika berubah menjadi merah seperti lautan darah. Tangisan setiap orang yang menjadi korban, seakan tidak terjawab. Tuhan seakan membiarkan semuannya terjadi, atau memberikan petunjuk atas kesombongan umat manusia, yang telah jauh melampaui batas.

Jadi disinilah kita sekarang, berada didunia baru dengan malam yang lebih panas dari neraka, dan siang yang tidak lebih dingin dari waktu malam.

...[Breathless Dawn]...

"Katamu mereka tidak akan keluar saat matahari terbit?"

Setiap keringat menuruni rahangnya yang tegas. Adam berniat mengintip keluar, namun Aura menarik kemejannya. "Itu hanyalah asumsi, kita masih tidak tahu apa yang sebenarnya sedang kita hadapi," kata wanita yang duduk santai di sofa.

Adam berhenti, berjongkok didepan Aura lalu berkata. "Jadi, apa rencananya?"

Kipas yang menggantung diatas mereka perlahan mulai berputar, menghembuskan setiap debu yang melekat di setiap sisinya.

Pada waktu yang sama, Tama masuk ke ruangan mereka dengan menenteng shotgun ditangan kirinya. "Adam, sepertinya ada seseorang diluar," wajahnya tegang.

"Listriknya menyala, apakah bantuan sudah datang?" Tanya Ashylin yang berdiri cemas dibelakang suaminya, namun secercah harapan terlihat di kedua bola matanya.

"Selamat pagi pemirsa! Seluruh penonton dimana pun anda berada, kita bertemu lagi di acara Rumpi Pagi!"

Televisi yang menyala dengan sendirinya mengejutkan mereka berlima, meninggalkan garis kerutan di kening. Dimas yang biasanya pendiam, kini menangis ketakutan. Tidak ada yang salah dengan anak berumur 7 tahun itu. Ashylin memeluk anaknya, Tama mengokang senjatanya, sedangkan Aura terus menatap Adam, seakan memberi isyarat kepadanya bahwa sesuatu yang buruk sedang terjadi.

Semua elektronik dirumah itu menyala. "Pak, ini sebenarnya rumah siapa?" Tanya Adam penasaran.

"Kita hanya mampir kesini karena kebetulan mobil kita mogok, aku hanya bercanda saat mengatakan jika ini adalah rumahku."

Bel rumah berbunyi. "Paket!" Suara seorang pria terdengar ramah tepat dari balik pintu utama. Suaranya sangat jelas.

Mereka saling menatap.

Tidak lama setelahnya, keadaannya sekitar menjadi lebih ramai, sangat ramai, seperti ada yang sedang beraktivitas seperti biasanya. Suara motor, langkah orang yang lalu lalang, suara anak kecil tertawa, dan sebagainya.

Rahang mereka tergantung ketakutan, mustahil jika dunia tiba-tiba menjadi normal.

"Jangan ada yang melihat keluar," tegas Aura.

"A-apa? I-ini semua nyata, kan?" Ashylin bersandar ke tubuh suaminya, air matanya keluar namun bibirnya memberi senyuman palsu. "Mas, kita selamat, Mas. Dunia sudah kembali normal."

"Ashylin."

Suaminya tidak dapat berbuat banyak, dia menoleh ke Adam dan Aura, namun tidak bisa menolak senyuman istrinya. Padahal Dimas terus menarik rok ibunya dengan menangis.

"Ashylin, dengarkan a—"

"Lihatlah, Mas! Kita selamat!"

Wanita itu membuka gorden jendela dengan paksa, memudarkan senyuman tipis diwajahnya. Cahaya dari luar merangsek masuk menerangi ruangan, menyilaukan pandangan mereka, sekilas.

Lalu "orang-orang" yang mereka maksud, kompak melihat kearah mereka berlima.

Dua Enigma berdiri di taman, mereka berpakaian layaknya manusia, baju, kaos, celana panjang, sepatu, mereka memakainya dengan rapi. Namun, kepala mereka bervariasi, yang memakai baju batik, kepalanya menyerupai pot bunga, lengkap dengan tanaman yang tumbuh diatasnya. Lalu yang sedang membawa selang air, berkepala seperti kotak surat. Yang membedakan adalah, sebuah jaringan sel darah seperti nadi yang merekatkan pot dan kotak surat agar kokoh berdiri diatas mereka.

Pupil wanita itu mengecil, bergerak tidak karuan. "Mas, i-itu... ," lirih wanita itu menunjuk keluar dengan lemas.

Pada saat itu juga, semua elektronik kembali mati, dan suasana menjadi sepi. Adam tidak berkedip sekalipun, matanya menatap setiap detail dari monster diluar rumah.

Hingga entah daun ke berapa yang telah gugur dari pohon yang menjulang tinggi di ujung sana, Ashylin terlempar keluar jendela, menembus kaca, melesat cepat dan berhenti tepat di depan Enigma berbaju batik. Sebuah mata besar berwarna biru yang menyala terbuka vertikal tepat di tengah badan makhluk itu. Ukurannya sangat besar hingga hampir memenuhi badannya dan merobek bajunya.

Ashylin melayang didepan mata itu, menjerit namun suaranya seakan terpotong-potong. Bola matanya berputar keatas, dan tubuhnya mulai tertekuk paksa tidak beraturan. Suara gemertak tulang mengiringi setiap bagian tubuhnya yang hancur, dan hujan darah menjadi penutupan yang mengenaskan.

"JaNgAn MeNaNgIs AdIk KeCil."

Semuanya makin panik saat melihat makhluk itu mulai berbicara, suaranya dapat berubah-ubah, terdengar seperti suara orang dari radio yang putus-putus.

Mata di badan Enigma itu menutup, lalu akar berwarana merah yang berdetak seperti urat nadi, membentuk sesuatu yang besar dan tajam di tangan kanannya. "BiArKan AkU MeNgHiBuRmU." Makhuk itu berlari mendekat dan menjebol pintu kaca.

"Pergilah, Adam!"

Adam mengabaikan seruan Aura. Dia menembak Enigma itu tepat di kepalanya yang berbentuk pot bunga. Tidak mempan, cairan merah seperti darah mengalir dari lubang bekas tembakannya, membuat wajah Adam berkerut, jijik.

"ITu SaKiT!" Jerit makhluk itu kembali membuka mata besarnya.

Adam mengangkat tangan, menutupi kedua matanya. "Pak Tama!" Berharap orang itu melakukan sesuatu untuk menolongnya, orang itu malah kabur dengan menggendong anaknya.

Suara gemerincing selongsong peluru yang jatuh terdengar, setelah suara tembakan keras menggema di sudut lain ruangan.

Beberapa peluru menembus mata biru itu, hingga akhirnya Aura kehabisan peluru. Wanita itu meletakkan pistolnya, entah apa yang harus dia lakukan saat ini, setelah kedua kakinya sangat sakit untuk digerakkan. "Kumohon, pergilah." Tatapan wajahnya kali ini berbeda. "Bawa barang itu, temui Hanna dan yang lainnya, aku yakin mereka selamat, mengerti?"

Adam melihat Enigma bermata besar itu meraung kesakitan, darah mengucur deras dari matanya saat dirinya sempoyongan pergi keluar. "Tidak, tidak ada jalan keluar," kata Adam menggeleng pelan.

Dia merebut tas dari Aura, mengeluarkan jarum suntik beserta tabung berisi cairan biru yang disebut vial. Dia mengambil cairan itu, menyuntikkannya ke leher Aura.

Jarum menembus perban putih yang membalut lehernya. Aura tidak menolak sama sekali, tidak juga tersenyum angkuh seperti biasanya.

"Kau tahu betapa diriku membencimu, betapa orang-orang membencimu. Tapi makhluk yang berkeliaran diluar sana...." -menunjuk keluar- "adalah yang terburuk. Jadi angkatlah kepalamu, kita pergi bersama... Atau mati bersama," tegas Adam.

...[Karya ini merupakan karya jalur kreatif]...

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!