Terik matahari pada siang itu sungguh menyilaukan bagi siapapun yang melihatnya secara langsung. Jalanan yang begitu sepi, menyisakan mobil dan motor yang berserakan layaknya sampah.
Matahari berada dititik paling atas, menyinari semua rongsokan itu tanpa terkecuali. Namun semua kekuatan, seperti sinar matahari contohnya, pasti memiliki batasan didalamnya.
Dari semua sinar hangat yang menyelimuti sebagian bumi, kegelapan tetap hidup dengan berlindung dibawahnya.
"Jadi kita disini," kata wanita itu menunjuk ke sebuah map di layar ponselnya.
"Perumahan berlian indah ya?"
Aura mengangguk, lalu kembali menopang wajahnya sambil duduk dilantai. "Beruntung aku masih menyimpan map ini sebelum internet mulai padam."
Pakaian mereka nampak baru, setelah mengambil barang bawaan keluarga itu. Ukuran Pak Tama bisa dibilang pas dengan ukuran pakaian Adam, sedangkan milik Ashylin nampaknya sedikit terlalu besar bagi wanita berambut pendek itu.
"Walaupun tanpa listrik dan internet, kita tetap harus bersyukur, masih mempunyai pakaian ganti."
Aura mengerucutkan bibirnya, merasa terpanggil dengan perkataan pria didepannya. Sedangkan Adam terlihat sibuk menghitung makanan kaleng dan air serta perbekalan lainnya, setelah dia menyerah memperbaiki mobil SUV yang mogok didalam garasi.
"Adam, apa tujuan kamu sekarang?"
"Aku akan membeli rumah, membuat perkebunan dan kolam ikan yang besar dibelakang, lalu membuat tempat nyaman disana, seperti kursi empuk dan sebuah kanvas yang bisa aku pakai untuk melukis semua hasil kerja kerasku, tanpa lagi harus memikirkan dirimu."
Mendengar jawaban Adam, wanita itu bangkit lalu mengambil sebuah pistol tergeletak diatas meja. "Aku pernah dengar dari Hanna, jika kamu dulunya ingin menjadi pelukis, benar?" Matanya memperhatikan setiap detail senjata di tangannya.
"Benar. Tapi orang bodoh mana yang mengharapkan uang untuk dapat menghidupi kebutuhan sehari-hari hanya dengan melukis, apalagi penulis, rasanya mustahil."
"Leonardo da Vinci, Picasso, William Shake—"
"Persetan orang-orang itu, pasti mereka berasal dari keluarga kaya," sela Adam sambil membawa sebuah kotak ransum ke meja, tempat lawan bicaranya berdiri.
"Tapi sungguh, Adam, apa tujuan kamu sekarang?"
"Yah, jika dilihat dari situasi saat ini, kita hidup di dunia yang gila dan ditambah adanya wanita sepertimu di dekatku... jawabanku akan sederhana saja." Adam sibuk dengan makanan itu, mengeluarkan semua kemasan makanan beserta alat masaknya. "Bertahan hidup." Wajahnya terlihat serius.
Mendengar jawaban pemuda itu, Aura menelan ludahnya, menyimpan pistolnya lalu duduk dengan sikap sempurna.
"Huh, sejak kapan terakhir kali aku makan makanan seperti ini?" Adam meraih sebungkus makanan ransum. Bungkusan itu tampak sederhana, berwarna hijau tentara dengan tulisan berbahasa Inggris yang berarti 'Makanan Siap Saji'. Dia mengamati bungkusan itu sejenak, memperhatikan setiap tulisan yang ada di belakang kemasan.
Aura menatap Adam dari seberang meja, menonton ekspresi wajahnya yang terpaku pada bungkusan itu. "Makanan Amerika?"
Adam mengangkat bungkusan itu, memperlihatkannya pada Aura. "Darimana kau tahu, kau sudah pernah memakannya?" suaranya datar.
"Itu makanan yang sering dibagikan saat di hotel. Beberapa hari setelah Jakarta lumpuh, bantuan internasional datang dengan menerjunkan beberapa suplai yang berisi makanan dan senjata."
"Apa mereka membantu dengan militer juga?"
"Iya, namun, semuannya berhenti setelah kekacauan yang sama juga terjadi di negara mereka."
"Oh iya, Adam," lanjut Aura.
"Katakan saja, aku mendengarkan."
Wanita itu membuang wajahnya. "Dimana kamu mengubur mereka?" suaranya hampir tidak terdengar.
Adam menatap Aura sejenak sebelum menjawab. "Di taman belakang," katanya, suaranya tetap tenang. "Aku membuat sebuah tanda untuk mereka, jika kau ingin melihatnya."
Aura menggeleng cepat. "Tidak, terima kasih," katanya, suaranya bergetar sedikit. "Aku sudah terlalu banyak membunuh orang. Melihat kuburan mereka tidak akan menebus dosa-dosa yang telah aku lakukan."
Adam mengangguk. Dia kembali fokus pada makanan ransumnya, membuka bungkusan itu dengan sebilah pisau. Lalu memasak makanan itu dengan peralatan masak portabel yang tersedia di dalam kotak, aroma makanan itu mulai mengisi ruangan.
"Aku tahu kau tidak bermaksud malakukannya, tapi setidaknya kunjungi anak itu," Adam menatap langsung wanita itu, walaupun ekspresinya mungkin tidak ramah.
"Entahlah, aku rasa aku... ." Aura menggeleng pelan, wajahnya tertunduk lesu.
"Jangan dipaksakan jika kau memang tidak ingin melakukannya."
Aura terkejut dengan perkataan Adam. Pemuda itu sedang makan ransum itu dengan lahap, rasanya seperti dia sudah tidak makan berhari-hari, tapi memang itu adanya. "Kenapa? Makanlah, yang didekat gelas itu milikmu. Kau tidak kesulitan makan, kan? Perban menutup sebagian wajahmu."
"Tidak samasekali," Aura menggeleng pelan. "Terimakasih."
Saat sibuk menyantap makanan mereka, Adam yang tadi makan dengan lahap, mulai batuk-batuk. Dia mencoba menelan makanannya, tapi tampaknya sesuatu telah tersangkut di tenggorokannya. Kursinya terguling ke belakang saat dia berusaha bangkit, dan dia jatuh dengan keras di lantai.
"Adam?" Aura berlari ke sisi Adam, berusaha membantunya. Tapi Adam tampak tidak bisa bernapas, matanya membelalak dan wajahnya memerah.
"Lihatlah dirimu, Adam," sesuatu berbisik di dalam kepalanya. "Kau bahkan tidak bisa menelan makanan dengan benar. Bagaimana kamu bisa bertahan di dunia ini? Itulah kenapa anjing kampung sepertimu tidak dapat melindungi kekasihmu."
"Diamlah, bajingan!" Adam meronta-ronta, kakinya menghantam meja dan membuat barang diatasnya berhamburan jatuh ke lantai.
Aura terus mencoba menyadarkan pemuda itu dengan kedua tangannya. "Adam! Apa yang terjadi?" Namun Adam seakan tidak mendengar suaranya samasekali.
"Kau punya kekuatan sekarang, wahai anjing kampung yang beruntung," bisik suara itu lagi, kali ini lebih jelas. "Jadi... Tunggu apa lagi? Lepaskan seluruh rasa sakit yang kau terima darinya selama ini, balaskan dendam kematian kekasihmu."
"Apa yang kau inginkan dariku!?"
"Bunuh."
"Apa!?"
"Bunuh Aura Rebecca sekarang juga!"
Mata Adam seketika melotot ke sebilah pisau yang tergeletak di lantai.
...[Karya ini merupakan karya jalur kreatif]...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 53 Episodes
Comments