Api diatas lilin terlihat menari-nari, menimbulkan bayangan seekor kuda yang gagah di dinding itu. Kuda hitam itu terlihat berlari kencang, bahkan terbang tinggi walaupun tanpa sepasang sayap.
"Apakah kak Bima yang membuat boneka itu?" tanya seorang gadis berlindung di balik selimut. Walaupun matanya cekung karena kantuk, dia tetap terjaga untuk menemani seorang anak laki-laki yang memiliki wajah yang mirip dengannya itu bermain.
Anak laki-laki itu berusia sekitar 5 tahun, dia sibuk mengangkat kedua tangannya untuk menggerakkan kaki depan dan belakang sebuah boneka kuda yang sederhana.
Gadis dengan rambut hitam sebahu itu perlahan bangkit, kini dia berbaring miring dengan siku kirinya sebagai tumpuan. "Miko, kau masih marah dengan kakak?"
Anak laki-laki disebelahnya menggeleng pelan, dia dapat merasakan setiap hembusan napas kakaknya dipipi, karena jarak mereka yang begitu dekat.
"Lalu siapa yang membuat boneka itu?"
"Ka-karina."
Mendengar nama itu, lantas membuat dirinya mendengus kesal. Gadis itu membuka selimut, beranjak dari ranjang setelah merebut boneka itu. "Miko, sudah kakak katakan berulang kali, Karina itu wanita jahat. Jangan pernah sekalipun menerima apapun darinya, itu pesan ibu."
"Kak Dani, kembalikan!"
Miko berusaha meraih boneka itu dengan tangan mungilnya namun terlalu tinggi.
Wajah gadis bernama Dani itu merah padam. "Tidak akan! Kakak tidak ingin sesuatu yang terjadi pada ayah juga terjadi pada Miko!"
Adiknya menangis sejadi-jadinya saat Dani meletakkan boneka kuda itu diatas api. "Jika hanya boneka seperti ini, ibu juga bisa membuatnya," kata gadis itu.
"Kakak jahat!"
Pintu kamar mereka terbuka. Cahaya dari luar menerangi kedua mata mereka yang sembab saat seorang wanita dewasa masuk dengan kedua tangan diatas pinggang.
"Danika, jelaskan ke ibu kenapa adikmu menangis."
Suara wanita itu terdengar tegas, namun ketulusan terpancar dari wajahnya. Jaket lusuh dan celana jeans yang tampak robek di beberapa sisinya dapat menjelaskan bahwa dia adalah wanita pekerja keras.
"Mi-miko menerima boneka pemberian Karina," Dani tidak sanggup melihat wajah ibunya. "Bukannya ibu menyuruhku untuk terus menjauh darinya?"
Ibunya lantas duduk di depan Miko, mengusap pipinya yang basah dengan tangannya. "Berapa kali ibu harus katakan? Jangan pernah temui Karina jika Miko masih sayang sama ayah, mengerti?"
Wajah polosnya mengangguk menatap ibunya. Sedangkan Dani, kakaknya, menanti omelan dari ibunya setelah melihat mereka selesai berpelukan.
"Danika," kata ibunya dengan mengacungkan jari telunjuk kearahnya. "Bagaimana pun juga, kau tidak perlu harus sampai membakar boneka itu. Kau tahu jika bau hangusnya sempat membuat Ibumu khawatir? Lalu apa ini?" wanita itu menarik rok putrinya.
Dani memutar bola matanya, "Ini hanya untuk di tempat ini, tidak saat kita pergi keluar."
"Tidak."
"Pokoknya tidak boleh pakai rok," lanjut ibunya. "Kita tidak tahu jika sewaktu-waktu mereka datang. Sekarang pakailah celana panjangmu dan juga sepatumu. Mengerti?"
...[Breathless Dawn]...
"Tadi kau bilang kalian memiliki listrik, lalu mengapa menyalakan lilin sebanyak ini?"
"Jika kami menyalakan lampu pada malam hari, bukankah akan memancing keributan dari luar?" Erig berjalan paling depan, menjawab Adam tanpa menoleh. "Kau memang masih pemula ya, anak muda."
"Tapi keahlianmu dalam bertarung boleh juga," tutup pria itu dengan meletakkan kedua tangannya dibelakang kepala.
Mereka bertiga berjalan di sebuah lorong panjang digedung itu. Barisan lilin menyala di sepanjang jalan yang mereka lewati. Di sisi kanan dan kiri mereka juga terdapat berbagai macam lukisan, masing-masing menampilkan seni lukis yang berbeda, mulai dari rombongan kuda, hingga Gunung Fuji.
Didepan sebuah pintu yang telah dilapisi pelindung besi dan kawat berduri, Erig berhenti.
"Anggota Guildku ada dibalik pintu ini. Ada beberapa hal yang harus kalian ketahui sebelum masuk ke dalam," kata pria itu dengan serius.
Erig melipat tangannya di dada, zirah besinya nampak berkilau terpapar cahaya lilin. "Satu," katanya sambil menunduk, memperlihatkan capingnya yang tak kalah berkilau. "Lakukan apapun yang mereka katakan padamu."
"Kedua."
"Jangan lupakan nomor satu."
"Ketiga." matanya bergulir ke arah bayangan hitam yang bergerak di dinding, lalu kembali kearah mereka, terutama Adam. "Hal-hal berikutnya akan aku jelaskan nanti."
Pria itu berpaling, mengetuk pintu dengan keras.
"Seharusnya kita pergi saja."
Aura hanya setengah tersenyum mendengar perkataan Adam barusan.
Pintu akhirnya terbuka setelah suara gaduh terdengar cukup keras. Suara berisik itu terdengar dari palang besi yang mengunci pintu dari dalam. Segeralah cahaya dari dalam menerangi mereka bertiga.
"Berikan senyuman terbaik kalian," kata Erig yang melangkah masuk lebih dulu.
"Ini hanya akan seperti di hotel, tidak ada yang perlu kamu cemaskan."
Adam menghela napas, perkataan wanita disebelahnya itu ada benarnya. Adam sangat jarang berbaur dengan banyak orang, terlebih dia menghabiskan sebagian besar usianya di distrik yang sangat kumuh.
Mereka masuk, tempat ini begitu ramai. Barisan kursi telah diduduki banyak orang, beberapa kursi juga dimodifikasi menjadi sebuah kasur. Kain seprai mereka gunakan sebagai sekat, mirip seperti di hotel sebelumnya. Sedangkan pencahayaan utamanya berasal dari lilin dan lampu gantung yang tidak begitu terang.
"Saudara Erig!" pria bertubuh gemuk menghampiri orang itu dengan tangan terbuka lebar. "Apa yang kau temukan diluar sana?"
"Amal," jawab Erig menyambut tangan pria itu.
Mereka saling menepuk bahu satu sama lain layaknya teman yang akrab.
"Jadi siapa mereka?" senyuman ramah merekah diwajah pria gemuk bernama Amal.
"Setelah aku hanya mendapatkan beberapa botol anggur dan kondom kadaluarsa diluar sana. Ternyata Tuhan masih menunjukkan cahayanya." Dengan sempoyongan, Erig meneguk minumannya, lalu menunjuk mereka berdua secara bergantian. "Aku malah menemukan mereka di ruang 53-04."
"Sejauh itu sampai ke lantai 53," Amal terkejut namun dengan nada kagum. "Apa yang sebenarnya sedang dilakukan para penjaga di lantai satu."
"Istirahatlah Saudara Erig," menepuk pundaknya. "Biarkan aku yang mengantarkan mereka berkeliling."
...[Breathless Dawn]...
Aroma wangi dari teh dengan cepat menyelinap ke hidung mereka. Adam melihat bagaimana air teh dari teko mengalir terjun mengisi cangkir kecilnya yang tadi kosong.
"Jadi... ceritakan semuanya padaku," kata pria gemuk itu menatap dua orang yang duduk diseberang meja.
...[Karya ini merupakan karya jalur kreatif]...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 53 Episodes
Comments