Dia menggigit bibir merah mudahnya, menahan rasa sakit yang timbul setelah cairan itu menyebar ke seluruh pembuluh darah. Tangan kiri menekan leher dimana jarum barusan masuk, dan tangan kanannya menggenggam pistol yang diacungkan lemah kearah Pemuda didepannya. "Kamu telah mengambil keputusan yang salah," kata Aura.
"Benarkah?" Adam menurunkan pistol ditangan wanita itu perlahan, menghela napas panjang, lalu berdiri dengan senyum miring diwajahnya. "Yang jelas, sekarang kita sudah impas."
Jantung Aura seketika nyaris copot, setelah melihat sebuah Enigma melompat masuk melalui jendela dan menerkam Adam dengan buas. Punggung Adam menyentuh dinginnya lantai, berusaha menahan sosok diatasnya sambil berteriak sekuat tenaga.
Teriakan pemuda itu makin menjadi, setelah melihat kotak surat di depan matanya terbuka, mengeluarkan lidah panjang yang menjijikkan. Kedua tangan makhluk itu juga mencekik lehernya tanpa ampun.
Akan tetapi, Adam bukanlah pria yang lemah, itulah kenapa Aura sangat mengandalkannya sejak dulu. Pemuda itu menangkap lidah yang menjulur ke wajahnya, lalu menarik benda menjijikkan itu sekuat yang dia bisa seperti menarik seutas tali.
Usahanya pun berhasil, cekikan dilehernya melemah. Adam segera mendorong makhluk itu dengan bahunya, tangan kirinya tidak melepaskan lidah itu hingga ia berhasil meraih pistolnya dengan cepat dan meledakkan kotak surat itu dengan beberapa kali tembakan.
"Arggh!" Adam mengibaskan tangannya yang melepuh terkena lendir hitam dari lidah makhluk itu. Matanya berkeliling, mewaspadai serangan berikutnya yang mungkin muncul. Seperti yang dia tahu, dia baru bertemu dua Enigma, padahal suara diluar rumah terdengar begitu ramai.
Mata Adam tertuju pada Aura yang terlihat duduk kesakitan. "Hei, kau tidak apa-apa?" tanya dia dengan cemas.
Namun, tembok di belakangnya lebih dulu jebol. Asap bercampur debu memenuhi ruangan, puing-puing mengguyur punggung Adam secara tidak terduga.
Puluhan Enigma menerobos masuk, wujudnya sangat bervariasi, dari leher kebawah, wujudnya seperti manusia normal, berpakaian rapi, dan memiliki bentuk fisik yang berbeda-beda, ada pria, ada wanita, ada anak-anak. Namun pada bagian kepala, sangatlah abnormal, monitor, senter, rambu lalu lintas dan berbagai benda mati lainnya yang kini terlihat hidup.
Mungkin karena akar yang merembet di tubuh mereka, berdetak layaknya urat nadi, membuat bagian kepala mereka dapat berfungsi layaknya kepala manusia.
Ditengah reruntuhan, Adam merangkak mendekati Aura. "Hei, bertahanlah!" Dia mulai menembak Enigma yang berani mendekat.
Parah sekali, pistolnya terbilang tidak efisien, matanya berkeliling untuk mencari benda yang dapat dia gunakan sebagai senjata, tapi tidak ada apapun disana.
Satu Enigma tumbang dengan tembakan tepat sasaran. "TeNaNgLaH, KaMi AkAN MeMbUnUhMu DeNgAn CePaT." ujar Enigma kedua yang mendekat dengan ganas.
"Tidak." Adam sangat kewalahan, pelurunya menipis, mau tidak mau harus mengganti magasin, tapi...
"Tidak, jangan mendekat!" Enigma-enigma itu mulai menangkap kaki dan tangannya, kejadian yang serupa seperti saat di pesawat. Namun yang sekarang jauh lebih parah. Akar merah bergerak keatas membentuk sebilah mata pedang yang besar, di ayunkan dengan cepat, untuk membelah tubuh pemuda itu menjadi dua bagian yang terpisah.
"Jika ini memang akhirnya, maka akhiri dengan cepat." gumam Adam, menutup matanya dengan pasrah.
Adam menantikan mata pedang itu segera turun membelah tubuhnya, namun ajalnya tidak kunjung tiba.
Suara jeritan pria dewasa terdengar di kejauhan, suaranya berasal dari ruangan lain rumah ini, mungkin dari garasi. Adam membuka matanya lebar-lebar, terkejut mendengar suara barusan, namun apa yang ada dihadapannya membuat mulutnya kehabisan kata-kata.
Puluhan Enigma yang tadi menghajarnya, kini berubah menjadi hitam layaknya batu bara, tubuh mereka kaku layaknya patung, dan akar merah yang berdetak terlihat menyelimuti sebagian tubuh mereka seperti tanaman parasit.
Aura, berdiri belakang Adam dengan tatapan yang tidak biasa. Matanya merah kehitaman, uratnya terlihat mengeras di sisi matanya, tangan kanannya terulur kearah makhluk-makhluk itu.
"A-aura?" Adan segera menahan tubuh wanita itu yang seketika ambruk. Matanya terbelalak, tubuh wanita itu sangat panas. Adam menahan rasa sakit yang teramat sangat, tangannya melepuh. "Hei, Aura!"
Percuma saja wanita itu terbaring di sofa tak sadarkan diri. Adam memutar otaknya, walaupun sebenarnya tidak dapat bekerja samasekali. Dia mencari inisiatif untuk menarik bajunya agar dapat memindahkan Aura, tapi... rasa sakit saat dia menyentuhnya sungguh diluar nalar, itu sangat panas.
"K-kau monster."
Mendengar suara senapan yang di kokang dari belakangnya, Adam reflek mengangkat kedua tangan, lalu berbalik. "Pak Tama?"
Pak Tama berdiri di ambang pintu. Bajunya lusuh penuh darah, darah mengalir di wajahnya yang kotor akan debu dan keringat.
"Kalian monster!" Bentak pria dengan shotgun itu.
"Pak, dimana Dimas?"
Adam mencoba menenangkan suasana.
"Dimas? Dimas kecilku yang kau maksud!?" Pria itu mulai berderai air mata, senyuman getir terukir di setiap gerakan bibirnya saat dirinya berbicara. "Kau sungguh tidak tahu dimana Dimas? Dunia ini sungguh gila. Sungguh gila! Padahal aku sudah menyelamatkan kalian sejauh ini, tapi... ."
"Pak, tenanglah, bukan aku—"
"Kau yang membunuh anak dan istriku!" Seru pria itu saat mulai meremas pelatuk senapannnya. Namun, satu butir peluru lebih dahulu menembus tengkoraknya. Peluru yang berdesing hanya beberapa senti melewati pipi Adam, membuatnya seketika membeku.
"Aura, kau yang... "
Aura berjalan sempoyongan melewati Adam, tangannya menahan tubuhnya yang ambruk dengan berpegangan sebuah meja.
"Jangan! Jangan menyentuhku, Adam," tegas wanita yang kini mirip mumi itu tanpa menoleh. "Perkataan orang itu memang benar."
"Maksudmu... ."
Aura tersenyum hangat kearah Adam, "Dunia ini sungguh gila, bukan begitu, Adam?"
...[Karya ini merupakan karya jalur kreatif]...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 53 Episodes
Comments