Bab 15 ~ Mimpi Atau Nyata

Jujur saja ada rasa takut tinggal di rumah ini, bukan hanya rumahnya tapi daerah ini cukup menakutkan untukku. Suasana lingkungan yang sangat sepi, terutama ketika sore hari sudah jarang ada orang lewat. Apalagi rumah yang kami tempati agak jauh dari jalan besar.

Suara jangkrik dan binatang malam yang meramaikan suasana, tapi sepi dari interaksi manusia. Beberapa kali melihat penampakan ‘mereka’ yang tak kasat mata cukup membuat tubuh bergidik ngeri dan sekarang hanya ada kami bertiga yang tinggal di sini.

Terdengar dengkuran halus, aku menoleh. Ibu terlihat sudah sangat lelap. Kadang penasaran apa Dewa benar berani tidur di kamarnya hanya sendirian. Selembar foto masa lalu Ibu dan Ayah yang pernah ibu berikan sebelum aku berangkat ke sini, terus aku pandangi. Aku hanya ingin mengingat wajah Ayah.

“Aku sudah di Kalimaya, Yah,” gumamku membaca tulisan di balik foto.

Harapan Ibu agar aku bisa mengungkap siapa pembunuh Ayah, rasanya terlalu berlebihan. Mana mungkin aku berani dan memiliki kemampuan untuk melakukan itu. Melihat hantu saja aku menjerit dan kadang tidak bisa bergerak.

“Hahh. Semoga kita bertemu di dalam mimpi Yah,” ujarku lagi lalu meletakan foto di atas dada dan memejamkan mata. Tidak lupa doa sebelum tidur aku lantunkan dalam hati. Sayup-sayup aku mendengar suara garukan dari bawah ranjang, tapi rasa kantuk sudah menyerang.

“Jaka, kapan kamu ke Jakarta. Kedasih akan melahirkan.”

“Minggu depan Pak, di sini sedang banyak pasien. Ada wabah muntaber.”

“Jangan sampai anakmu lahir, baru kamu pulang.”

Pria bernama Jaka hanya tersenyum. Kedua pria -- ayah dan anak -- itu terlihat sedang bercakap di ruang tamu sambil menikmati kopi, wanita paruh baya ada diantaranya sedang menjahit sambil sesekali berceloteh menyela di tengah percakapan.

“JAKA KELUAR KAMU!”

“Loh, itu siapa yang berteriak?” tanya si Ibu.

“Biar saya yang keluar, Ibu dan Bapak di sini saja. Mungkin ada pasien darurat.”

Pria bernama Jaka pun keluar rumah, sudah ramai orang membawa obor dan senjata tajam. Tentu saja Jaka heran dan takut untuk mendekat.

“Bapak-bapak ada apa ini?”

“Halah, pura-pura. Sudah seret saja dia.”

“Tenang, dia harus tahu alasan kedatangan kita.”

Jaka menatap bergantian para lelaki yang sedang bicara. Dari raut wajah mereka terlihat tidak  bersahabat. Entah salah apa atau keperluan apa, tapi kenapa harus dengan raut wajah tidak bersahabat.

“Tukang santet berkedok mantri. Bisa-bisanya menghasut warga Kalimaya.”

“Tunggu, ini sebenarnya ada apa ya?” tanya Jaka berusaha tenang dan menangani rasa takutnya.

“Hei, Jaka. Kamu orang baru sudah berani membuat kekacauan di desa ini. Warga sakit kena teluh darimu ‘kan? “

“Teluh? Saya tidak mengerti, tidak tahu sama sekali tentang hal itu. Hari ini memang ramai yang datang ke pusat kesehatan, karena muntaber.”

“Karena teluh dari kamu.”

“Sudah seret saja.”

“Adili, jangan sampai dia hidup enak.”

Jaka pun ditarik oleh dua pria, tidak bisa mengelak karena kalah telak dengan jumlah lawan. Tidak lama dia tersungkur setelah mendapatkan pukulan di wajah dan area tubuh lainnya. Terdengar teriakan orang tua Jaka.

“Bakar rumahnya.”

“Tolong, jangan,” ucap Jaka yang tidak sanggup berdiri dengan kondisi tubuhnya sudah babak belur dan sekarang diinjak oleh salah satu pria. Tendangan dan pukulan kembali Jaka dapatkan, bahkan rumah mulai terbakar.

“Jangan!!!” Jaka hanya bisa mengulurkan tangan mengingat orang tuanya masih berada di dalam.

Orang-orang itu seperti tidak punya belas kasihan, bahkan tubuh Jaka menjadi bulan-bulanan bukan hanya dengan tangan kosong melainkan dengan senjata tajam. Ada yang menusuk kaki jaka dengan parang, memukul punggung dengan balok kayu. Darah sudah mengalir dari area tubuh yang terluka. Pandangan Jaka mulai kabur, sebagai mantri kesehatan dia sadar kalau ajalnya sudah dekat. Tatapan Jaka tertuju pada dua orang pria yang baru datang dan mendekat, dengan nafas berat Jaka mengulurkan tangan.

“Bajra ….”

Bugh. Sebuah balok kayu dihempaskan ke wajah Jaka oleh pria itu.

“Hahh.” Aku beranjak duduk dengan nafas terengah. Kejadian tadi, antara mimpi dan nyata. Terlihat begitu nyata.

“Vita kamu jangan bikin ibu kaget dong. Ibu hanya bangunkan kamu untuk subuh, kenapa kayak ketemu hantu.”

“Bu,” ujarku lalu mengusap keringat di leher dan mengambil foto yang terjatuh ke pangkuan. Foto Ayah dan wajah Ayah mirip sekali dengan mimpi tadi. “Aku … melihat bagaimana Ayah meninggal.”

“Jangan ngaco kamu. Ayo cepat turun dan sholat.”

“Aku serius Bu,” ujarku dan sudah meneteskan air mata. “Aku lihat Ayah dipukuli, kakek dan nenek ada di rumah yang terbakar.” Sambil meraung aku menyampaikan apa yang baru saja aku saksikan.

Ibu hanya diam, saat aku menceritakan kronologis yang aku saksikan. Dia diam terpaku dan kedua matanya sudah mengembun. Entah apa yang dia rasakan, mungkin membenarkan ceritaku atau baru tahu dengan jelas proses suaminya di saat itu mendapatkan siksaan.

“Dari mana kamu tahu?”

“Mereka kejam Bu, jahat. Tubuh ayah … hancur.”

“Itulah kenapa Ayahmu dimakamkan di kampung ini juga orangtuanya, karena tubuh mereka tidak utuh bahkan tidak terlihat kalau mereka … manusia.”

“Ayah,” ujarku kembali dengan isak tangis. “Bajra,” ucapku sambil mengusap kedua pipi yang basah. “Aku dengar Ayah bilang Bajra.”

 

Terpopuler

Comments

Siti Dede

Siti Dede

Apa rumah yg skrg ditempati Vita dibangun diatas tanah bekas rumah nenek kakeknya Vita?

2024-04-27

0

Zuhril Witanto

Zuhril Witanto

moga aja Vita bisa bongkar kedok bajra

2024-04-30

0

𝘛𝘢𝘯𝘵𝘪 𝘒𝘪𝘵𝘢𝘯𝘢💕💕

𝘛𝘢𝘯𝘵𝘪 𝘒𝘪𝘵𝘢𝘯𝘢💕💕

𝒎𝒖𝒍𝒂𝒊 𝒔𝒆𝒓𝒖 𝒏𝒊𝒉 👍👍👏👏

2024-04-25

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!