Part 4 ~ Gangguan

“Minum dulu.”

Dewa mengulurkan gelas berisi air. Saat ini aku berada dalam ruangan pria itu. Setelah mendengar kabar kalau Ali ternyata meninggal … semalam dan waktunya tepat saat kami berinteraksi termasuk juga kejadian di lift.

Entah karena terkejut atau memang haus, gelas yang diberikan oleh Dewa pun akhirnya kosong. Masih menggenggam erat gelas tersebut dan kedua kakiku bergoyang pelan karena gugup. Menurut Ibu, aku kalau takut atau gugup sering melakukan hal yang aneh.

“Vita,” panggil Dewa dan berhasil menyadarkan lamunanku.

Ternyata Dewa duduk bersebrangan denganku, hanya terpisah meja sofa.

“Apa tidak salah pak? Semalam itu, Ali memang ada di sini. Malah dia yang ajak aku pulang,” ujarku lirih sambil menatap Dewa.

Dewa tampak mencondongkan tubuhnya dan terus menatapku sambil mengernyitkan dahi.

“Dengar Kavita! Tidak ada rekan yang mendengar masalah kamu bertemu dengan Ali semalam, jangan sampai hal ini menambah cerita mistis yang beredar. Hasil rekaman cctv tidak ada Ali, kamu sendirian saat keluar dari ruangan dan masuk ke dalam lift,” tutur Dewa dengan pelan, seakan tidak ingin didengar oleh yang lain.

Padahal kami berada agak jauh dari pintu,tentu saja obrolan kami tidak akan didengar. Lagi pula pintunya tertutup rapat. Aku menelan saliva memikirkan siapa sosok yang bersamaku semalam.

“Mungkin saja itu qorin, aku tidak tahu pasti. Jika tidak sanggup, tidak masalah kamu tidak ikut takziah.”

“Ikut Pak, saya mau ikut.,” sahutku lalu menghela pelan.

Menggunakan mobil Dewa, kami menuju tempat tinggal Ali. Dewa dan Evan, di kabin depan tentu saja Dewa sendiri yang mengemudi. AKu berada di tengah antara Narsih dan Ria. Sebelum masuk ke dalam mobil, Narsih dan Ria saling berbisik membicarakan mobil Dewa. Kapan lagi ada kesempatan ikut semobil bersama ketua tim yang biasanya bersikap acuh dan menyebalkan.

Kalau tahu aku semalam duduk di samping pak kusir yang sedang bekerja, eh duduk di samping Dewa bahkan dia mengantar pulang. Dijamin Narsih dan Ria bakal berteriak tidak percaya.

“Vit, lo kenapa sih?” tanya Ria sambil mendorong sikunya mengenai pinggangku.

“Nggak pa-pa.” Aku melihat ke depan, tepat saat Dewa menatapku melalui mirror center.

Kami sampai di kediaman Ali, parkir agak jauh dari rumahnya. Terlihat ramai mungkin kerabat dan para tetangga. Bendera kuning yang tertancap di pagar menggetarkan hatiku. Sepertinya aku tidak menyukai warna itu, ada unsur kedukaan disana.

“Ayo,” ajak Dewa karena aku hanya berdiri mematung, sedangkan yang lain sudah memasuki halaman rumah Ali.

Masih terdengar isak tangis kerabat pria itu. perwakilan keluarga memohon maaf jika semasa hidup almarhum Ali ada kesalahan yang disengaja atau pun tidak disengaja. Aku memandang jenazah yang terbujur kaku di tengah ruang keluarga.

Ketika kain penutup wajahnya dibuka, terlihat wajah pucat Ali. Berbeda dengan gayanya semalam, yang tergelak karena berhasil mengejutkanku. Aku menunduk saat air mata berhasil lolos dari kedua mata. Entah sebuah tanda atau hanya sosok lain yang menyerupai Ali, yang jelas kejadian semalam tetap aku ingat sebagai pertemuan terakhir dengan pria itu.

Terasa usapan di punggungku, jelas itu Dewa. kami sempat saling tatap ketika aku menoleh. Tidak lama kemudian, jenazah Ali dibawa ke masjid terdekat untuk dishalatkan. Dewa dan Evan pun ikut serta.

“Vit, gue lihat Pak Dewa mengusap punggung lo tadi.”

“Masa sih?” tanya Narsih.

“Lo sama Dewa ada hubungan ya, atau kalian sedang pedekate?”

Aku hanya berdecak menanggapi pertanyaan mereka. dijamin setelah ini akan masih jadi bahan ghibah, masalah dewa dan aku. 

"Eh, Evan WA nih. Kita mau ikut ke makam nggak?” tanya Narsih.

“Aku ….”

“Udah ikut aja.” Ria menarik tanganku.

***

“Vita, bawa konsep KLM ke ruanganku,” ujar Dewa saat melewati kubikelku.

“Baik Pak.”

Ria mendekat sambil menggeser kursinya.

“Balik lagi ke mode tukang perintah,” bisik Ria.

“Ya emang begitu kali, secara dia ketua tim. Kalau aku yang jadi ketua tim, mungkin bakalan gitu juga. Ria, bawakan berkas yang kemarin. Jangan lupa es the manisnya,” ujarku dengan suara dibuat-buat agar terlihat berwibawa.

“Lo pikir gue OB,” seru Ria lalu menoyor kepalaku. “Jangan lama-lama, bentar lagi waktunya pulang. Nggak usah pake lembur, emang lo mau ditemenin sama … Ali.”

Deg.

Ucapan Ria barusan membuat kulitku meremang. Bagaimana tidak, semalam aku memang bertemu Ali dan rasanya tidak pantas menjadikan wafatnya seseorang menjadi lelucon.

Membawa laptop menuju ruang kerja Dewa lalu mengetuk pelan pintunya kemudian masuk dan duduk di depan meja pria itu. Berdiskusi mengenai konsep project KLM. Tim kami fokus pada tata lingkungan, sedangkan tim lain pembangunan resort.

Cukup lama kami berdiskusi, tidak terasa sudah lewat maghrib kalau Dewa tidak mengingatkan. Lagi-lagi aku lupa waktu.

“Keberangkatan kita tidak bisa mundur, besok kita tetap berangkat ke sana.

“Baik Pak.”

Aku sudah beranjak keluar ruangan, ternyata Ria dan yang lain sudah pulang. Menghempaskan tubuhku di kursi dan menghela pelan lalu meregangkan otot leher dengan memiringkan ke kiri dan kanan.

“Vita, mau bareng atau ….”

“Duluan saja Pak, saya mau bereskan ini dulu,” ujarku menunjuk meja kerja yang terlihat berantakan.

Dewa sempat menatap keliling ruangan lalu kembali menatapku.

“Yakin?”

“Ya … kin, Pak.” Aku menjawab terbata karena tidak mengerti maksud Dewa. Seperti ada nada kekhawatiran dipertanyaannya.

Tenang Vita, jangan kegeeran. Pak Dewa hanya peduli karena hubungan rekan kerja bukan yang lain.

“Oke.”

Aku menatap punggung Dewa yang perlahan mulai menjauh. Mematikan laptop dan memasukan ke dalam ransel. Komputer di meja kerja memang tidak aku hidupkan. Tiba-tiba lampu berkedip kedip, entah gangguan listrik atau memang lampunya rusak.

“Pas banget lagi sendiri malah kayak gini.” Aku bergegas memasukan ponsel ke dalam ransel dan hendak memakainya saat terdengar kursi bergeser.

Brak.

Pandanganku tertuju ke arah suara. Kubikel Ali. Sambil menelan saliva, berusaha tenang. Mungkin saja suara barang jatuh karena kena angin, tapi angin apa sampai menghempas barang apalagi ini dalam ruangan.

Lampu ruangan masih kedap kedip lalu … mati total. Aku sempat beristighfar, karena penerangan hanya berasal dari luar karena pintu yang tidak tertutup rapat saat Dewa keluar.

Srek.

Dengan tatapan waspada menatap sekeliling mencari sumber suara lain. Dalam hati aku mengumpat karena menolak tawaran Dewa untuk bareng keluar dari ruangan yang mulai mencekam. Bahkan ucapan Ria tadi sore membuat rasa takut semakin besar.

“Siapa?” tanyaku lirih karena terdengar suara langkah. Tidak ingin menyaksikan atau melihat penampakan secara live aku menarik ransel dan berlari menuju pintu. Kenapa di saat seperti ini koridor sangat sepi, padahal bukan hanya tim satu yang menempati lantai ini.

Bagus, lift sebelah kiri masih ada di lantai atas dan lift yang kanan masih berada di basement. Tangga darurat bukan pilihan yang tepat. Banyak adegan horor terjadi ketika memilih tangga darurat.

“Ya ampun, cepat dong,” ujarku sambil menekan tombol lift untuk turun.

Kedua lift perlahan sedang bergerak. Kakiku bergoyang karena rasa takut. Sambil mendekap ransel, pandanganku tetap ke depan. Tidak ingin menoleh meskipun terdengar suara langkah. Bahkan semakin dekat dan dekat jantungku sudah berdetak sangat cepat. Bahkan kulitnya rasanya merinding dan ….

“Aaaaaaa.”

 

Terpopuler

Comments

𝘛𝘢𝘯𝘵𝘪 𝘒𝘪𝘵𝘢𝘯𝘢💕💕

𝘛𝘢𝘯𝘵𝘪 𝘒𝘪𝘵𝘢𝘯𝘢💕💕

𝒎𝒂𝒌𝒂𝒏𝒚𝒂 𝒌𝒍 𝒅𝒊𝒕𝒂𝒘𝒂𝒓𝒊𝒏 𝑫𝒆𝒘𝒂 𝒕𝒖𝒉 𝑻𝒆𝒓𝒊𝒎𝒂 𝑲𝒂𝒗𝒊𝒕𝒂

2024-04-25

0

Zuhril Witanto

Zuhril Witanto

hantu...

2024-04-30

0

A B U

A B U

.lanjut

2024-03-20

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!