Part 12 ~ Ada Apa Denganku

“Vita, kenapa?”

Teriakanku bukan hanya berhasil membuat Ibu terbangun. Bapak, Dewa, Narsih dan Evan pun ikut masuk ke kamar.  Aku sudah duduk menjauh dari tepi ranjang dengan tubuh gemetar karena takut.

Sosok tadi, saat menoleh wajahnya menyeramkan. Kuku-kuku panjang dan hitam mencakar papan dipan sehingga menimbulkan bunyi. Ini sungguhan hantu, berbeda dengan sosok Ali waktu itu yang menurut Dewa bukan manusia.

“Vita, kamu kenapa?” ibu mengulang pertanyaannya.

“Vit ….” Ucap Narsih yang berdiri di belakang tubuh Evan, hanya kepalanya saja yang menyembul menatapku.

Tanganku menunjuk ke arah kolong ranjang. Dewa melangkah menuju arah yang aku tunjuk.

“Jangan, di sana ada …..”

Aku harus bilang apa, hantu atau setan. Sepertinya mereka tidak akan percaya. Dewa berjongkok lalu membungkukkan badan melihat ke bawah ranjang dan kembali berdiri dan menatapku.

“Ada apa di sana?” tanya Ibu.

“Kamu lihat juga ‘kan? Masih ada di sana, Pak Dewa juga lihat?” cecarku.

“Vita, sebaiknya kamu istirahat. Kita akan ke rumah sakit, kalau hari sudah terang.”

Pernyataan Dewa membuatku merasa aneh, seperti orang tidak waras. Aku melihatnya, sosok itu menyeringai dengan gigi tajam dan tidak beraturan. Kulit keriput dan pucat serta garis hitam di bawah mata membuat penampilan seramnya  terlihat sempurna.

Ibu membimbingku untuk beristighfar. Berkali-kali kata itu aku ucapkan sambil mengusap wajah. Berharap yang aku lihat tadi hanya halusinasi.

***

Saat ini aku dalam perjalanan ke rumah sakit. Evan dan Narsih tinggal karena pekerjaan harus tetap berjalan. Dewa yang mengemudi mobil dan Bapak duduk di sampingnya. Aku dan Ibu di kabin penumpang.

Bukan hanya hantu di kolong ranjang yang bisa aku lihat. Sosok yang berdiri di pojok kamar mandi dan menghilang saat aku masuk, juga bocah kepala botak hanya memakai celan4 d4lam berlari lewat di depan rumah.

“BIar bapak yang parkirkan, kamu antar Ibu dan Vita,” titah Bapak pada Dewa ketika kami sudah tiba di rumah sakit.

“PAk Dewa, biar saya dan Ibu saja. Pak Dewa boleh lanjut dengan proyek.”

“Tidak bisa, aku bertanggung jawab atas kecelakaan kamu. Karena terjadi saat jam kerja dan di lokasi kerja.”

Aku pun diperiksa oleh dokter, bukan hanya seorang tapi beberapa. Ada yang tidak percaya kalau kemarin aku sempat dinyatakan meninggal. Dari rekam medis atas namaku, baru dokter itu percaya. Cukup lama juga proses pemeriksaan, bahkan beberapa tes sudah aku lakukan.

Ibu sedang ke toilet, aku berbaring di brankar UGD dan dibatasi gorden memisahkan tiap brankarnya. Terdengar isak tangis dari sebelah kiri. Mungkin pasien yang kesakitan, tapi kenapa tidak ada perawat dan dokter yang menangani. Pada terdengar kesibukan di tempat ini.

“Mbak, kenapa menangis? Apa perlu saya panggilkan perawat,” ujarku pelan karena jarak kami cukup dekat.

Dia tidak menjawab dan masih terdengar isak tangis.

“Mbak ….” Aku pun turun dari brankar dan menggeser pelan gorden pembatas.

Ada perempuan berbaring miring dengan posisi membelakangi, tubuhnya berguncang karena tangisannya. Aku menoleh ke belakang berharap ada Dewa atau Ibu yang bisa bantu panggilkan dokter atau perawat.

“Mbak, anda baik-baik saja?”

“Tolong aku … ini sakit,” ujarnya.

“Hm, saya bukan … dokter. Biar saja panggil ….”

“Tolong,” ujarnya lagi sambil mengulurkan tangan, dengan posisi tidak berubah.

Aku mendekat bahkan tubuhku menempel dengan brankar yang dia tempati.

“Apa yang sakit Mbak, biar nanti saya jelaskan ke perawat atau dokter.”

“Ini,” jawabnya.

Ini bagaimana sih, sebenarnya orang ini kenapa. Apa mungkin dia phobia dengan rumah sakit, jadi menangis tidak jelas.

“Ini, maksudnya gimana Mbak.”

Perlahan tubuhnya berbalik, aku terkejut bahkan rasanya ingin berteriak tapi tidak bisa. Mendadak tubuhku kaku, mulutku hanya bisa menganga tanpa suara.

“Ini yang sakit,” ujar perempuan itu menunjuk lehernya yang tertancap pisau. Bahkan banyak darah yang masih memuncrat dan merembes mengotori pakaiannya. “Tolong mbak, ini sakit. Rasanya sakit.”

Aku hanya bisa menggelengkan kepala pelan, berusaha menggerakan tubuhku yang terasa kaku. darah yang muncrat dari luka di tubuh perempuan itu bahkan mengenai wajahku.

“Vita.”

“Aaaa.” Akhirnya aku bisa berteriak, saat seseorang menepuk bahuku.

“PAk Dewa, dia … dia terluka. Darahnya banyak sekali,” ujarku membenamkan wajah di dada Dewa.

“Dia … siapa?”

Deg.

Kenapa Dewa bertanya begitu, apa mungkin apa yang aku lihat tadi hanya halusinasi. Aku menengadah dan menatap wajahnya yang sedang menatapku.

“Apa yang kamu lihat?”

“Tidak ada,” jawabku lalu kembali ke brankar dan berbaring lagi di sana. Meskipun masih merasa takut karena penampakan tadi yang terlihat begitu nyata.

“Pak Dewa pasti melihat aku aneh ya, seperti orang tidak waras.”

“Tidak, aku tidak berpikir begitu.”

“Jadi yang aku lihat barusan benar ‘kan? Pak Dewa bisa lihat juga, termasuk sosok yang di bawah ranjang?”

“Yang di bawah ranjang aku tidak melihat, tapi sebelumnya aku memang lihat ada yang masuk ke kamar dan yang barusan …. “ Dewa menggelengkan kepalanya. “Mungkin hanya ingin berwujud di depanmu saja.”

“Sumpah pak, itu … serem banget. Nggak perlulah mereka menampakan wujud di depanku.”

“Ayo keluar, dari pada di sini nanti kamu lihat yang lebih menyeramkan. Perawat bilang, kamu boleh tunggu di sekitaran rumah sakit. Hasil pemeriksaan paling lama satu jam.”

Benar juga daripada tunggu di sini, bisa-bisa aku gila karena gangguan makhluk tak kasat mata. Aku dan Dewa berjalan di koridor, menuju taman. Kata Dewa, Ibu dan Bapak ada di kantin. Langkahku sangat pelan dan agak tertatih, rasanya punggungku sakit. Mungkin karena benturan waktu terjatuh.

Bugh.

“Maaf mbak.” Ada remaja menabrakku.

“Hm.” Tiba-tiba kepalaku terasa sakit. Bahkan aku sempat mengerang sambil memijat pelan kepala ini.

“Vita, kamu kenapa?”

Pandangan dihadapanku berubah, seperti berada di tengah keluarga.

“Tito pergi!”

“Ibu, jangan sakit ibu.”

Terlihat seperti seorang anak dan Ibunya yang saling melindungi.

“Dasar kalian tidak berguna, rasakan ini.”

“Jangan, jangan sakiti anakku.”

Seorang pria menarik Tito dan menendangnya, lalu Ibu itu ingin menengahi. Si pria yang memegang pisau menusuk ke leher sng ibu.

“Ibu ….”

“Vita.”

Panggilan Dewa membuatku tersadar. Nafasku terengah dan mencoba memahami apa yang baru saja aku lihat.

“Kamu kenapa?”

“Tito, dia Tito dan ibunya.” Dewa mengernyitkan dahi karena tidak paham.

Aku berbalik. “Tito,” panggilku.

Remaja itu menoleh.

“Bagaimana kondisi Ibumu?” aku bertanya meskipun tidak yakin, karena sosok yang aku lihat di brankar tadi adalah ibunya Tito.

“Ibu sudah dibawa ke sana.” Aku menatap arah tangan Tito menunjuk. Kamar jenazah.

Ada apa ini, ada apa denganku?

Terpopuler

Comments

𝘛𝘢𝘯𝘵𝘪 𝘒𝘪𝘵𝘢𝘯𝘢💕💕

𝘛𝘢𝘯𝘵𝘪 𝘒𝘪𝘵𝘢𝘯𝘢💕💕

𝒋𝒅 𝑽𝒊𝒕𝒂 𝒃𝒊𝒔𝒂 𝒎𝒆𝒍𝒊𝒉𝒂𝒕 𝒌𝒆𝒋𝒂𝒅𝒊𝒂𝒏 𝒔𝒃𝒍𝒎 𝒂𝒓𝒘𝒂𝒉 𝒊𝒕𝒖 𝒎𝒆𝒏𝒊𝒏𝒈𝒈𝒂𝒍

2024-04-25

0

Zuhril Witanto

Zuhril Witanto

lanjut

2024-04-30

0

A B U

A B U

wah,! dapat siksaan bisa melihat kerlipan masa lalu

2024-03-20

2

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!