Mati Suri
Desa Kalimaya, 1994
Tampak sekumpulan orang dengan tatapan garang dan jauh dari kata ramah, bahkan di tangan mereka memegang senjata. Meskipun hanya balok kayu, dalam situasi tertentu dianggap senjata. Agak riuh karena orang-orang itu tidak sabar untuk melakukan sesuatu.
“Sabar, kita tunggu arahan tuan Bajra dan Mbah Edam.”
“Kita habisi saja, dari pada kampung ini dapat kutukan.”
“Betul.”
“Habisi saja.”
“Bakar.”
Terlihat dua orang beda usia mendekat dan gerombolan itu langsung memberi celah
“Kenap ribut-ribut, apa kalian tidak sabar?”
“Ayo Mbah, beri kami perintah!”
“Sabar, tenang,” ujar seorang pria yang datang bersama Mbak Edam. Bajra, biasa di panggil tuan Bajra. Keturunan yang berkuasa di daerah tersebut secara turun temurun. Dengan usaha perkebunan kopi, banyaknya sawah dan toko kelontong di pasar. Sedangkan Mbah Edam adalah Ayah dari Bajra. Sesepuh wilayah tersebut, dituakan dan sangat dihormati.
“Kalian harus paham, bahwa aksi kita ini untuk menegakan keadilan dan kenyamanan desa. Sejak keluarga itu tinggal di sini, banyak sekali kejanggalan dan penyakit. Mereka penganut ilmu sesat, dukun santet dan tukang teluh. Ganjaran untuk mereka adalah pergi atau … mati.” Dengan semangat berapi-api Bajra menghasut orang-orang yang berkumpul.
“Setuju!”
“Ayo Mbah, beri kami perintah.”
“Sabar, jangan gegabah. Kalau sampai mereka menolak pergi dan ada korban jiwa, kalian akan menjadi ditunjuk sebagai saksi pihak kepolisian. Kita harus sepakat dan satu suara.”
“Siap Mbah, jangan khawatir. Demi kenyamanan desa, kita akan tutup mulut.”
Braja dan Edam saling tatap lalu tersenyum sinis.
“Demi Kalimaya,” teriak Bajra.
“Kalimaya,” teriak orang-orang serempak lalu berlari menuju sebuah rumah. Bajra dan Edam hanya menatap dari kejauhan.
Alih-alih menegakan keadilan, Bajra sudah menyusupi dua orang perusuh dan menjadi provokator. Tidak ada lagi kesempatan untuk keluarga yang baru tersebut. bahkan belum genap dua bulan tinggal di sana. Seorang mantri kesehatan bersama keluarganya, bertugas di pusat kesehatan masyarakat setempat.
Karena penjelasan serta pengarahan yang diberikan oleh petugas itu mudah diterima oleh masyarakat, akhirnya banyak pasien yang datang berobat dan konsultasi. Mbah Edam, yang biasa dipercaya dapat menyembuhkan penyakit dengan ramuan tradisional dan jampi-jampi kadang ada unsur kleniknya merasa terusik dan merugi. Membuat rencana licik untuk mengusir keluarga baru itu.
“Tolong, jangan …!”
Terdengar teriakan seorang pria yang sedang mendapatkan tendangan dan pukulan bertubi-tubi
“Jangan!” teriaknya lagi melihat rumahnya telah terbakar, sedangkan di dalam masih ada kedua orangtuanya.
“Rasakan ini!”
“Aaaa.” Pria yang sudah tidak berdaya itu merasakan kesakitan di sekujur tubuh dengan tangan terulur mengharapkan bantuan. Pandangan matanya tertuju pada Bajra dan Mbah Edam yang tertawa. Tendangan dan pukulan diterima bertubi-tubi, nyawanya pun melayang saat sebuah balok kayu menghantam kepalanya.
Kedasih, jaga anak kita.
***
Jakarta, 2022
Brak.
“Ya ampun, Ali Lo gila ya,” teriakku sambil mengusap dada. Sedangkan tersangkanya malah terkikik. Bagaimana tidak terkejut, sedang fokus membuat konsep tata lingkungan untuk tugas timnya malah dikejutkan dengan aksi teman laknat.
“Lagian lo fokus amat sih, udah jam berapa tuh!” Ali menunjuk jam dinding. “Kerja nggak tahu waktu, mau sampai jam berapa di sini? Apa nggak mau pulang? Nanti ditemani setan loh.” cecar Ali.
Aku menghela pelan, benar juga apa yang dikatakan Ali. Sudah lewat dua jam dari jam kerja berakhir dan kubikel lain sudah terlihat gelap.
“Mau bareng nggak?” tanya Ali lagi.
“Sebentar, bereskan ini dulu.”
File yang sedang terbuka aku simpan dan segera shutdown komputer. Terlalu fokus ternyata tidak baik, aku yakin Ria -- rekan di samping kubikel -- tadi pamit waktu mau pulang hanya saja aku yang tidak sadar. Pintu lift akhirnya terbuka, aku dan Ali memasuki kotak besi itu.
Tidak ada pikiran buruk apalagi prasangka negatif. Ali memang yang paling sering mengingatkan anggota tim ketika bekerja dan saat ini aku bersyukur meninggalkan ruangan bersamanya. Banyak cerita kalau malam di lantai tertentu sering ada gangguan. Tentu saja makhluk tak kasat mata. Terutama di lantai tiga belas. Bersyukur aku berada di lantai sebelas, jadi tidak melewati lantai tersebut.
Pernah ada kisah, di mana lift berhenti di lantai tiga belas. Namun, tidak ada seorang pun yang menunggu di depan lift. Bukan hanya itu, security shift malam pernah menemukan ruang meeting di lantai tersebut terdengar riuh seperti sedang ada pertemuan, saat pintu ruangan dibuka suasana gelap dan … sunyi.
Entahlah benar atau tidak, aku tidak mengalaminya. Jadi, percaya tidak percaya.
“Kerja ingat waktu. Jangan-jangan, makan dan ibadah juga lewat.”
“Iya, terlalu fokus nih. Tau sendiri ketua tim kita yang baru agak … menyebalkan. Masa dia mau konsep tata lingkungan untuk project KLM beres besok dan lusa akan ada visit ke lokasi.”
“Selama disana, hati-hati. Mana tahu akan ada sesuatu terjadi, misteri di masa lalu.”
“Lo jangan … astagfirullah,” ujarku karena lift tiba-tiba berhenti agak menghentak. “Li, ini kenapa liftnya begini?” aku menatap layar penunjuk lantai di mana lift berada tidak menunjukan lantai berapa, tapi hanya angka 0 kedap kedip.
“Liftnya macet,” ujarku lalu menekan tombol darurat dan alarm dan bicara sambil melompat di depan cctv lift. Berharap ada petugas yang melihat.
“Tolong!”
Terasa udara di dalam lift mulai menghangat, pendinginnya tidak berfungsi. Segera aku keluarkan ponsel dari dalam tas dan .... no signal.
“Ah, kampret. Emang harus ganti provider deh, sering banget gangguan sih,” keluhku terus mengotak atik ponsel.
Life terasa bergerak turun pelan lalu menghentak lagi membuatku kembali menjerit dan terduduk di lantai berpegangan pada pegangan stainless. Mulutku terus beristighfar, berharap lift tidak meluncur cepat dan jatuh ke basement.
“Ya Allah, tolong aku.”
Tidak lama terdengar suara, semakin kencang dengan pintu lift perlahan dibuka paksa. Aku bernafas lega, sempat mengucap syukur meskipun belum sepenuhnya aman karena masih terjebak di dalam lift.
“Mbak.”
“Mas, tolong saya.”
“Mundur Mbak.”
Perlahan pintu terbuka lebih lebar, di sangga entah dengan apa. Aku diminta keluar, salah satu petugas mengulurkan tangan. Ternyata lift berada di tengah salah satu lantai. Dua orang petugas mengulurkan tangan untuk menarik tubuhku.
“Ali, gue duluan ya.”
Aku melompat pelan dan tidak berhasil meraih tangan petugas yang masih mengulurkan tangannya.
“Ayo mbak,” ujar salah satu petugas.
Menarik nafas panjang lalu aku melompat dan kedua tanganku berhasil diraih petugas lalu tubuhku ditarik ke atas dan berhasil keluar dari lift.
“Mbak gak pa-pa?”
Kepalaku menggeleng pelan dan masih mengatur nafas.
“Oke, aman. Korban sudah keluar,” ujar petugas melalui radio HT. “Kita tutup lagi, tunggu teknisi datang.”
“Eh. Mas, temen saya,” ujarku menunjuk ke dalam lift.
“Teman?” tanya petugas lalu saling tatap.
“Iya Mas, teman saya. Tolong cepat keluarkan, kayaknya dia panik juga karena dari tadi diam saja.” Aku kembali menjelaskan posisi Ali yang tadi bersandar di dinding lift sedangkan aku berada di depan pintu.
“Cuma Mbak yang ada di lift, nggak ada orang lain mbak.”
“Ada mas, temen satu divisi dengan saya. Apa jangan-jangan pingsan.”
Salah seorang petugas memastikan apa yang aku ucapkan, bahkan sampai melongokan kepalanya lalu menggeleng menatap petugas lainnya. Aku yang tidak percaya lalu mendekat ke arah lift dan memastikan. Ternyata, di sana … kosong.
“Tadi, ada … Ali.”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 27 Episodes
Comments
mahesa wibisono
mulai
2024-10-03
0
MasWan
wah diselamatkan atau hampir dicelakakan
2024-09-03
0
Nur Bahagia
😱
2024-09-01
0